Yang dimaksud oleh salah satu pendiri kelompok seniman yang bermarkas di Rumah Buku Dunia Tera sekitar 500 meter timur Candi Borobudur itu, adalah penyair pengembara dari Magelang, Bambang Eka Prasetya.
Pada salah satu seri pergelaran bulanan Forum Kilometer Nol Borobudur beberapa waktu lalu di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera, kawan Wicahyanti itu, yakni seniman Munir Syalala (28) membuka acara malam itu dengan menyajikan pementasan yang disebutnya sebagai musikalisasi puisi.
Dengan petikan gitar akustiknya, ia menyuguhkan sejumlah puisi karya beberapa penyair dengan cara menyanyikannya. Salah satu puisi yang dibawakan dengan berlagu tersebut, berjudul "Di Negeri Kaya, Kita Punya Apa?", ciptaan Bambang Eka. Sang penyair pengembara tidak hadir pada seri pementasan Forum Kilometer Nol Borobudur tersebut.
"'Bumi kita kaya raya. Ketika belum terjumlah kandungan lembah. Hutan, sungai, dan samudera. Sepanjang Kali Elo Progo berjajar di bantaran. Kisah duka pemilik negri kaya raya. Yang jelata tetap sengsara sepanjang usia. Tetap jua tak punya apa-apa'," begitu dua bait terakhir puisi yang menjadi catatan penciptanya saat melintas bantaran Kali Elo dan Progo di kawasan Candi Borobudur.
Dengan tempo lebih cepat dan suara meninggi, Munir yang juga Koordinator Forum Kilometer Nol Borobudur tersebut, menjadikan dua bait itu sebagai refrain atas pemusikan puisi yang menjadi salah satu isi dalam buku "Antologi Puisi Tanah Air Cinta" diterbitkan oleh Penerbit Nitramaya pada 2012.
Dalam berbagai kesempatan pemanggungan, pengajar ekstrakurikuler teater di sejumlah SMP dan SMA di Magelang, serta Pondok Pesantren Pabelan Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang itu, menyajikan puisi "Di Negeri Kaya, Kita Punya Apa?" dengan berlagu.
Karya musikalisasi puisinya tersebut, menjadi terkesan akrab terdengar, terutama di kalangan penikmat seni Magelang dan sekitarnya, termasuk Wicahyanti Rejeki yang juga mengajar Bahasa Indonesia di SMP Kristen I Kota Magelang itu.
Sejumlah karya lainnya yang disuguhkan Munir, antara lain berjudul "Ketika Belajar Demokrasi", "Balada Cut Meutia", "Balada Ki Dalang", karya Wicahyanti yang telah diterbitkan dalam buku "Sang", serta sejumlah puisi karya Damtoz Andreas, yakni berjudul "Sekuntum Maulida" dan "Sekuntum Laila", yang telah menjadi bagian dari buku antologi sajak 18 penyair kontemporer Magelang, "Forum Kilometer Nol".
"'Teduh dedaunan dalam radang. Hutan terbakar. Surut segar air danau. Sebab sungaipun hilang. Dari denah kota kita. Lantas bagaimana. Kita, Laila?'," begitu sebagian bait puisi "Sekuntum Laila" yang dimainkan dalam lagu bernada dasar G melalui petikan gitar Munir.
Puisi karya sejumlah penyair terkenal Indonesia yang digarap Munir menjadi karya musikalisasi puisi, antara lain "Membaca Tanda-Tanda" (Taufik Ismail), "Aku" dan "Cintaku Jauh di Pulau" (Chairil Anwar), dan "Nyanyian Suto untuk Fatimah" (W.S. Rendra).
Sejumlah sebutan telah berkembang untuk model penyajian karya satra puisi melalui iringan musik, antara lain musikalisasi puisi, lagu puisi, dan nyanyi puisi. Begitu dikatakan oleh budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang juga pengajar mata kuliah penciptaan di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut.
"Musikalisasi puisi itu istilah banyak orang, meskipun rumit penjelasannya.Tetapi bahwa dalam puisi itu ada lagu, bahwa dalam lagu itu puitik. Yang nyanyi itu suka bunyi. Bunyi-bunyi sekarang ini milik siapa saja, puisi juga," katanya.
Munir yang juga aktif di Komunitas Teater Mendut Institute, penasihat Jaringan Teater Pelajar Magelang, dan bagian dari kelompok seniman film Koperasi Sinema Mandiri Magelang itu, mengaku mengemas suatu puisi menjadi musikalisasi puisi, setelah mencapai kesimpulan terhadap interpretasi atas karya sastra itu.
Karya musikalisasi puisi disebut seniman dengan nama asli Muhammad Munir itu, sebagai wisata batin berteater. Ia menjalani pergulatan diri secara asyik dengan ritme lagu, sastra, dan pemahaman interpretasinya yang membawanya kepada kemungkinan kecil bererang di satu telaga puisi untuk melahirkan dua karya lagu puisi.
"Karena sudah ketemu ruhnya. Pernah improvisasi di panggung, tetapi ketika sampai refrain, akhirnya sama. Kalau puisi bernada sedih biasanya 'larinya' ke nada-nada minor, kalau puisi perjuangan ke mayor. Itu ide kreatif saja," kata Munir yang bergenre musik balada itu.
Munir yang memainkan musikalisasi puisi sejak ikut ekstrakurikuler teater, ketika sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Magelang hingga lulus pada Tahun Ajaran 2005/2006 itu, menyebut menyajikan puisi dengan berlagu sebagai membuat karya sastra itu lebih mudah ditangkap maknanya.
Sejumlah seniman musikalisasi puisi disebut Munir, antara lain di Magelang ada nama Daladi, sedangkan di Yogyakarta ada Untung Basuki yang juga jebolan Bengkel Teater, sedangkan di kalangan anak sekolah saat ini tampak pula kecenderungan untuk mencoba mengeksplorasi puisi melalui sajian musik.
Pada putaran ketujuh pergelaran Forum Kilometer Nol Borobudur, Minggu (11/12) malam, Untung Basuki yang seniman lagu puisi selama sekitar 40 tahun terakhir atau sejak awal 1970-an itu hadir dan berkempatan naik pentas, termasuk berkolaborasi dengan seniman musik gergaji dari Surabaya, Iwan "Kidung Kelana" Raditya Putra, sebagai penyaji utama.
Melalui petikan gitarnya, Untung Basuki (67) menyajikan dengan enteng dan riang sejumlah nomor lagu puisi, seperti berjudul "Merapi", "Langkah Kecil", "Dari Susunan Batu dan Debu", "Simbah Penjual Jingking", "Kerinduan", "Guntur versus Bui", "Lepas-Lepas", dan "Elegi".
Sejumlah lagu puisi dibawakan dengan dukungan pemain bas gitar Joel Merzy dan vokalis Sashmytha Wulandari, sedangkan Untung Basuki bermain di ritem gitar.
Setelah bercerita pengalaman hidup sederhananya yang lucu tentang penagih hutang yang tak datang lagi ke rumahnya setelah tahu bahwa tuan rumah adalah seniman dengan karya-karyanya yang sering dibawakan para pengamen di Yogyakarta, ia libatkan penonton yang terutama kalangan penikmat seni budaya di kawasan Candi Borobudur dan Magelang itu, bersama-sama menyanyikan lagu puisi "Lepas-Lepas".
"'Tak pernah kubayangkan. Rasa bahagiaku. Tuhan. Tak pernah kurasakan isyarat dari-Mu. Tuhan. Sementara aku berjalan. Kubuang duka derita. Lepas, lepas, lepas. Lepas semua ini. Derita badan, derita jiwa. Karena kau datangkan. Dia'," demikian syair lagu puisi itu terdengar ditirukan puluhan penonton di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera Borobudur.
Lagu puisi, ujarnya, karya yang tidak populer sebagaimana ketenaran lagu-lagu pop ataupun pembacaan puisi secara konvensional. Akan tetapi, tanpa secara detail menjelaskannya, ia berujar bahwa proses penciptaan lagu puisi menggunakan cara khusus.
Untung Basuki yang bagi Sutanto Mendut sebagai salah satu guru pentingnya berkesenian di Yogyakarta ketika berumur 19 tahun itu, menyebut lagu puisi merayap di bawah.
"Dulu pernah ada pengamen datang ke rumah. Ibu saya tahu pengamen itu menyanyikan lagu karya anaknya. Pengamen itu tidak tahu kalau lagu yang dibawakan adalah ciptaan saya. Ibu saya lalu memberi makan pengamen itu," ucapnya.
Sutanto menyebut beberapa karya lagu puisi Untung Basuki sebagai cerita hidup manusia biasa dengan "kesemelehannya", maksudnya pribadi yang secara psikologis telah matang dalam pencapaian perjalanan kehidupannya.
Lagu puisi memang terkesan bukan kategori musik yang mudah melangkah ke dapur rekaman, menjadi produk industri musik yang lalu beredar luas di masyarakat dengan menghasilkan timbunan kekayaan, terutama bagi pencipta dan pelantunnya.
"Suaranya jelas, tetapi musiknya sampai sekarang bukan kategori rekaman. Meskipun tetap nikmat," kata Sutanto Mendut.
Pada salah satu seri pergelaran bulanan Forum Kilometer Nol Borobudur beberapa waktu lalu di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera, kawan Wicahyanti itu, yakni seniman Munir Syalala (28) membuka acara malam itu dengan menyajikan pementasan yang disebutnya sebagai musikalisasi puisi.
Dengan petikan gitar akustiknya, ia menyuguhkan sejumlah puisi karya beberapa penyair dengan cara menyanyikannya. Salah satu puisi yang dibawakan dengan berlagu tersebut, berjudul "Di Negeri Kaya, Kita Punya Apa?", ciptaan Bambang Eka. Sang penyair pengembara tidak hadir pada seri pementasan Forum Kilometer Nol Borobudur tersebut.
"'Bumi kita kaya raya. Ketika belum terjumlah kandungan lembah. Hutan, sungai, dan samudera. Sepanjang Kali Elo Progo berjajar di bantaran. Kisah duka pemilik negri kaya raya. Yang jelata tetap sengsara sepanjang usia. Tetap jua tak punya apa-apa'," begitu dua bait terakhir puisi yang menjadi catatan penciptanya saat melintas bantaran Kali Elo dan Progo di kawasan Candi Borobudur.
Dengan tempo lebih cepat dan suara meninggi, Munir yang juga Koordinator Forum Kilometer Nol Borobudur tersebut, menjadikan dua bait itu sebagai refrain atas pemusikan puisi yang menjadi salah satu isi dalam buku "Antologi Puisi Tanah Air Cinta" diterbitkan oleh Penerbit Nitramaya pada 2012.
Dalam berbagai kesempatan pemanggungan, pengajar ekstrakurikuler teater di sejumlah SMP dan SMA di Magelang, serta Pondok Pesantren Pabelan Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang itu, menyajikan puisi "Di Negeri Kaya, Kita Punya Apa?" dengan berlagu.
Karya musikalisasi puisinya tersebut, menjadi terkesan akrab terdengar, terutama di kalangan penikmat seni Magelang dan sekitarnya, termasuk Wicahyanti Rejeki yang juga mengajar Bahasa Indonesia di SMP Kristen I Kota Magelang itu.
Sejumlah karya lainnya yang disuguhkan Munir, antara lain berjudul "Ketika Belajar Demokrasi", "Balada Cut Meutia", "Balada Ki Dalang", karya Wicahyanti yang telah diterbitkan dalam buku "Sang", serta sejumlah puisi karya Damtoz Andreas, yakni berjudul "Sekuntum Maulida" dan "Sekuntum Laila", yang telah menjadi bagian dari buku antologi sajak 18 penyair kontemporer Magelang, "Forum Kilometer Nol".
"'Teduh dedaunan dalam radang. Hutan terbakar. Surut segar air danau. Sebab sungaipun hilang. Dari denah kota kita. Lantas bagaimana. Kita, Laila?'," begitu sebagian bait puisi "Sekuntum Laila" yang dimainkan dalam lagu bernada dasar G melalui petikan gitar Munir.
Puisi karya sejumlah penyair terkenal Indonesia yang digarap Munir menjadi karya musikalisasi puisi, antara lain "Membaca Tanda-Tanda" (Taufik Ismail), "Aku" dan "Cintaku Jauh di Pulau" (Chairil Anwar), dan "Nyanyian Suto untuk Fatimah" (W.S. Rendra).
Sejumlah sebutan telah berkembang untuk model penyajian karya satra puisi melalui iringan musik, antara lain musikalisasi puisi, lagu puisi, dan nyanyi puisi. Begitu dikatakan oleh budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang yang juga pengajar mata kuliah penciptaan di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut.
"Musikalisasi puisi itu istilah banyak orang, meskipun rumit penjelasannya.Tetapi bahwa dalam puisi itu ada lagu, bahwa dalam lagu itu puitik. Yang nyanyi itu suka bunyi. Bunyi-bunyi sekarang ini milik siapa saja, puisi juga," katanya.
Munir yang juga aktif di Komunitas Teater Mendut Institute, penasihat Jaringan Teater Pelajar Magelang, dan bagian dari kelompok seniman film Koperasi Sinema Mandiri Magelang itu, mengaku mengemas suatu puisi menjadi musikalisasi puisi, setelah mencapai kesimpulan terhadap interpretasi atas karya sastra itu.
Karya musikalisasi puisi disebut seniman dengan nama asli Muhammad Munir itu, sebagai wisata batin berteater. Ia menjalani pergulatan diri secara asyik dengan ritme lagu, sastra, dan pemahaman interpretasinya yang membawanya kepada kemungkinan kecil bererang di satu telaga puisi untuk melahirkan dua karya lagu puisi.
"Karena sudah ketemu ruhnya. Pernah improvisasi di panggung, tetapi ketika sampai refrain, akhirnya sama. Kalau puisi bernada sedih biasanya 'larinya' ke nada-nada minor, kalau puisi perjuangan ke mayor. Itu ide kreatif saja," kata Munir yang bergenre musik balada itu.
Munir yang memainkan musikalisasi puisi sejak ikut ekstrakurikuler teater, ketika sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Magelang hingga lulus pada Tahun Ajaran 2005/2006 itu, menyebut menyajikan puisi dengan berlagu sebagai membuat karya sastra itu lebih mudah ditangkap maknanya.
Sejumlah seniman musikalisasi puisi disebut Munir, antara lain di Magelang ada nama Daladi, sedangkan di Yogyakarta ada Untung Basuki yang juga jebolan Bengkel Teater, sedangkan di kalangan anak sekolah saat ini tampak pula kecenderungan untuk mencoba mengeksplorasi puisi melalui sajian musik.
Pada putaran ketujuh pergelaran Forum Kilometer Nol Borobudur, Minggu (11/12) malam, Untung Basuki yang seniman lagu puisi selama sekitar 40 tahun terakhir atau sejak awal 1970-an itu hadir dan berkempatan naik pentas, termasuk berkolaborasi dengan seniman musik gergaji dari Surabaya, Iwan "Kidung Kelana" Raditya Putra, sebagai penyaji utama.
Melalui petikan gitarnya, Untung Basuki (67) menyajikan dengan enteng dan riang sejumlah nomor lagu puisi, seperti berjudul "Merapi", "Langkah Kecil", "Dari Susunan Batu dan Debu", "Simbah Penjual Jingking", "Kerinduan", "Guntur versus Bui", "Lepas-Lepas", dan "Elegi".
Sejumlah lagu puisi dibawakan dengan dukungan pemain bas gitar Joel Merzy dan vokalis Sashmytha Wulandari, sedangkan Untung Basuki bermain di ritem gitar.
Setelah bercerita pengalaman hidup sederhananya yang lucu tentang penagih hutang yang tak datang lagi ke rumahnya setelah tahu bahwa tuan rumah adalah seniman dengan karya-karyanya yang sering dibawakan para pengamen di Yogyakarta, ia libatkan penonton yang terutama kalangan penikmat seni budaya di kawasan Candi Borobudur dan Magelang itu, bersama-sama menyanyikan lagu puisi "Lepas-Lepas".
"'Tak pernah kubayangkan. Rasa bahagiaku. Tuhan. Tak pernah kurasakan isyarat dari-Mu. Tuhan. Sementara aku berjalan. Kubuang duka derita. Lepas, lepas, lepas. Lepas semua ini. Derita badan, derita jiwa. Karena kau datangkan. Dia'," demikian syair lagu puisi itu terdengar ditirukan puluhan penonton di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera Borobudur.
Lagu puisi, ujarnya, karya yang tidak populer sebagaimana ketenaran lagu-lagu pop ataupun pembacaan puisi secara konvensional. Akan tetapi, tanpa secara detail menjelaskannya, ia berujar bahwa proses penciptaan lagu puisi menggunakan cara khusus.
Untung Basuki yang bagi Sutanto Mendut sebagai salah satu guru pentingnya berkesenian di Yogyakarta ketika berumur 19 tahun itu, menyebut lagu puisi merayap di bawah.
"Dulu pernah ada pengamen datang ke rumah. Ibu saya tahu pengamen itu menyanyikan lagu karya anaknya. Pengamen itu tidak tahu kalau lagu yang dibawakan adalah ciptaan saya. Ibu saya lalu memberi makan pengamen itu," ucapnya.
Sutanto menyebut beberapa karya lagu puisi Untung Basuki sebagai cerita hidup manusia biasa dengan "kesemelehannya", maksudnya pribadi yang secara psikologis telah matang dalam pencapaian perjalanan kehidupannya.
Lagu puisi memang terkesan bukan kategori musik yang mudah melangkah ke dapur rekaman, menjadi produk industri musik yang lalu beredar luas di masyarakat dengan menghasilkan timbunan kekayaan, terutama bagi pencipta dan pelantunnya.
"Suaranya jelas, tetapi musiknya sampai sekarang bukan kategori rekaman. Meskipun tetap nikmat," kata Sutanto Mendut.