Makanya predator baru terus bermunculan. Residivis pun tak jera mengulangi kebejatannya. Kondisi ini tentu kian meresahkan masyarakat.

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pun setuju ketika menterinya mengusulkan pengebirian saraf libido bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

Kasus kekerasan terhadap anak, termasuk di dalamnya pemerkosaan terhadap bocah di bawah umur, dari hari ke hari memang kian marak. Di Jawa Tengah saja pada 2014 tercatat ada 1.826 kasus kekerasan terhadap anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat sepanjang 2010-2014 atau lima tahun terakhir tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak, 58 persen di antaranya kekerasan terhadap anak.

"Ini kejahatan luar biasa," kata Arist Merdeka Sirait, Ketua KPAI.

Ancaman dijebloskan ke bui selama bertahun-tahun seperti diatur dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak tampaknya tidak melemahkan syahwat para residivis dan pelaku baru. Oleh karena itu kasus demi kasus terus bermunculan. Tidak hanya di metropolitan, di perdesaan pun kasus demikian merajalela, termasuk di lembaga pendidikan dasar!

Pendek kata, pemerintah, orang tua, dan pembela hak-hak anak sudah menganggap saat ini sudah berada di lampu merah atau darurat kekerasan seksual terhadap anak.

"Presiden setuju adanya pemberatan hukuman bagi pelakunya (pemerkosa anak, red)," kata Mensos Khofifah dalam keterangan tertulis, Selasa (20/10).

Karena merupakan extraordinary crime, ujar Arist, penanganannya pun harus luar biasa. Pengebirian saraf libido alias membekukan nafsu berahi pelaku dianggap sebagai ikhtiar yang bisa bikin predator anak "ngeper" alias berpikir ulang untuk menjalankan aksi biadabnya.

Tentu ada yang menolak rencana pembekuan saraf syahwat seksual para pemerkosa ini. Kalangan pro-HAM menilai kebijakan tersebut melanggar HAM. Namun, pandangan ini dianggap hanya melihat dari sisi pelaku, sedangkan nasib korban yang mengalami trauma sepanjang hidup, malah dinomorduakan.

Oleh karena itu, pemberatan hukuman, antara lain dengan pengebirian, diyakini bakal mampu mengerem kasus pemerkosaan.

Di luar upaya kuratif berupa pemberatan hukuman, dari sisi hulu seharusnya juga dikendalikan. Internet dengan beragam konten, termasuk pornografi, begitu mudah diakses.

Terpapar konten pornografi yang demikian intens dan masif diyakini memberi andil besar terhadap meningkatnya kasus kekerasan dan pemerkosaan.

Siapa saja yang memiliki telepon pintar pribadi dengan amat mudah mengakses konten pornografi. Kadang, tanpa diminta, tautan laman berkonten pornografi juga muncul begitu saja di surel atau akun media sosial pribadi.

Konten media, teks, audio, dan visual bukanlah material di ruang kedap. Konten tersebut bisa memicu melesaknya saraf libido dan menciptakan imajinasi imitatif untuk dipraktikkan dalam dunia nyata.

Pemerintah melalui Kementerian Kominfo beberapa tahun lalu memblokir situs-situs berkonten pornografi dan kekerasan. Namun, kemajuan teknologi informasi yang amat sangat cepat terlalu berat bila hanya dihadapi dengan pemblokiran.

Pemerintah, mungkin, tidak bakal bisa menutup seluruh akses seperti itu. Yang lebih realistis dilakukan adalah menguatkan nilai-nilai kemanusian, moral, dan agama kepada seluruh anggota keluarga.

Terasa klise, memang. Namun, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan. Setidaknya sampai saat ini. ***









Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024