Nilai tukar saat ini dalam kisaran Rp14.100 untuk satu dolar AS dirasa kelewat tinggi. Pemerintah sebelumnya mematoknya Rp12.600.

Kendati rupiah saat ini sudah di atas Rp14.000, tidak ada jaminan bahwa dalam waktu dekat ini bakal stabil atau menguat hingga kisaran Rp13.000-an. Bank Indonesia memang melakukan intervensi terukur untuk menjaga rupiah agar tidak meluncur lebih dalam lagi.

Akan tetapi sejauh ini nilai kurs rupiah tetap membikin banyak pelaku usaha was-was. Ketergantungan akan bahan baku impor menjadikan industriawan gampang tertekan karena mereka memang harus membayar dalam dolar AS.

Bagi industri yang produknya diekspor, menguatnya dolar ini merupakan keuntungan. Namun, di tengah situasi perekonomian global yang melesu, banyak pula eksportir yang mengeluh karena volume ekspornya menurun.

Kian terbukanya sekat bisnis antarnegara menjadikan gejolak di satu negara akan dengan cepat merembet ke negara lain. Apalagi bila yang mengalami krisis ekonomi adalah negara ekonomi kuat, seperti AS atau China.

Memburuknya kurs rupiah kini mulai menampakkan wajah seramnya. Sejumlah industri di Jawa Tengah dikabarkan mulai mengurangi jam kerja, bahkan ada yang merumahkan pegawainya.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kudus, Hamidin, menegaskan industri garmen paling terpukul di tengah melemahnya rupiah belakangan ini karena mereka menggunakan bahan baku impor antara 40-60 persen.

Keterangan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Jawa Tengah menyebutkan saat ini tercatat1.350 tenaga kerja dari sektor garmen, tekstil, dan plastik dirumahkan. PHK terjadi di 23 perusahaan yang tersebar di 11 kabupaten/kota di provinsi ini.

PHK terhadap buruh sebanyak itu tidak bisa dipandang remeh karena hampir bisa dipastikan kejadian serupa juga melanda provinsi lain. Jika tanpa penanganan cepat dan tepat, gelombang PHK bakal terjadi lebih besar.

Apalagi sampai saat ini belum ada tanda-tanda tren menguatnya dolar AS terhadap mata uang dunia termasuk rupiah segera mereda. Itu berarti kalangan industri harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk belanja bahan baku impor. Harga barang yang dipasarkan di dalam negeri juga bakal naik.

Bila kondisi itu terus berlanjut, daya beli konsumen bakal ikut melemah. Padahal krisis ekonomi global pada 2008 memberi pengalaman bahwa pasar domestiklah yang menjadi penyelamat Indonesia dari badai krisis tersebut.

Kita berharap Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten, dan kota segera membuat kebijakan untuk menguatkan keberadaan usaha skala mikro, kecil, dan menengah. Di ketiga sektor inilah kita berharap roda ekonomi nasional terus berputar. Karena sektor-sektor ini penyerap tenaga kerja terbanyak.

Saatnya pemerintah menurunkan sekoci-sekoci penyelamat. Kita berharap bahwa pemerintah memang punya perahu penyelamat itu sebelum badai lebih besar menghadang.

Bukannya kita anti-usaha skala raksasa. Itu lebih karena pemilik usaha skala besar dan konglomerasi jauh lebih paham bagaimana mengatasi ketika krisis menghadang dengan kekuatan dan askes modal, SDM, teknologi, dan jaringannya.

Kita juga berharap pemerintah segera mempercepat pengucuran anggaran agar proses tetesan ke bawah bisa mempercepat perputaran ekonomi. Kendala-kendala yang bersifat administratif hendaknya disingkirkan. Proses administratif berbelit -- tanpa mengurangi prinsip prudensial -- hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Alhasil, penanggung kerugian terbesar adalah rakyat banyak. Padahal, menyadur twit Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo,"Rakyat adalah majikan. Pejabat hanya mandat." ***




Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024