Mereka yang para perantau untuk berdagang di Kota Solo kemudian berinisiatif membangun langgar di Jayengan.

"Ide atau inisiatif mendirikan langgar Jayengan ini oleh H. Moh Arajad, salah satu saudagar asal Martapura," kata Ketua Pengurus Masjid Darussalam Solo H. Rosyidi Muchdlor.

Arajad, katanya, melanjutkan gagasan dari 10 saudagar sebelumnya yang sudah merintis pembangunan tempat ibadah tersebut.

Langgar Jayengan yang dibuat oleh para perajin batu mulia tersebut, semula berupa bangunan terbuat dari anyaman bambu, kemudian dikembangkan menjadi bangunan dari batu pada era 1930-an.

Para saudagar batu mulia asal Martapura yang sudah berhasil berdagang di Solo, kemudian melakukan pembangunan masjid dengan bentuk tembok seperti sekarang ini. Masjid itu, sejak zaman dahulu merupakan tempat pertemuan pada saudagar di Kota Solo.

Mereka berkumpul dan bersilaturahim di tempat tersebut. Terutama saat Bulan Puasa, disajikan menu makanan dan minuman untuk mempercepat buka puasa (takjil) berupa bubur samin setiap berbuka puasa. Hal itu diperkirakan mulai pada era 1965-an.

Pada zaman dahulu, bubur samin dibagikan untuk para santri yang berbuka puasa bersama di masjid tersebut.

"Pertama memasak bubur samin yang memiliki rasa khas itu, hanya sekitar lima hingga 10 kilogram beras. Namun, kebutuhan bubur samin terus berkembang dan kini mencapai puluhan kilogram beras sebagai bahan baku utamanya," kata Muchdlor.
Tradisi buka puasa bersama dengan bubur samin di Masjid Darussalam mulai 1985 berkembang untuk dibagikan kepada masyarakat umum.

Bubur samin, katanya, bukan hanya dibagikan khusus untuk mesyarakat miskin, tetapi berbagai kalangan agar semua bisa merasakan kenikmatan rasa bubur asal Banjarmasin itu, dalam menyemarakkan bulan suci Ramadan.

"Tradisi itu, kini terus berlangsung setiap bulan Ramadan untuk masyarakat umum, untuk santap berbuka puasa. Kegiatan ini juga sebagai ajang silaturahim masyarakat dari berbagai daerah mereka yang datang ke masjid ini," katanya.
Pada Ramadan 1436 Hijriah, pihaknya menyediakan sekitar 1.000 porsi bubur samin dengan bahan baku 48 kilogram beras setiap hari. Sekitar 800 porsi untuk masyarakat umum, sedangkan sekitar 200 porsi lainnya untuk para santri yang menjalani buka puasa bersama di masjid tersebut.

"Kami membagikan bubur samin ini, setiap hari menjelang buka puasa. Ratusan orang warga dari berbagai daerah dengan membawa tempat sendiri melakukan antre untuk mendapatkan bubur samin yang rasanya lezat itu," katanya.

Anggaran untuk tradisi membagikan bubur samin setiap hari selama Ramadan, berasal dari masyarakat dari berbagai daerah dan warga sekitar masjid.

"Mereka datang ke masjid ini, untuk memberikan bantuan dan ajang silaturahim kepada warga Banjarmasin lainnya. Bantuan juga dari masyarakat umum," katanya.

Muchdlor menjelaskan untuk tradisi membagikan bubur samin selama Ramadan tersebut, membutuhkan total anggaran sekitar Rp60 juta dengan bahan baku berupa beras sekitar 1,44 ton.


Antre
Ratusan orang dengan masing-masing membawa tempat bubur yang umumnya berupa rantang harus antre dengan sabar untuk mendapatkan bubur samin.

Mereka umumnya mulai antre sejak pukul 16.00 WIB hingga menjelang buka puasa.

Setelah mendapatkan bubur samin secara gratis itu, sebagian mereka kemudian membawanya pulang ke rumah masing-masing, sedangkan sebagian lain menyantap bersama-sama di masjid tersebut, saat buka puasa.

Bahkan, para santri di Masjid Darussaman juga mengajak masyarakat lain berbuka puasa bersama di tempat itu dengan bubur samin, dilengkapi lauk pauk dan sambal.

Mereka yang berbuka puasa di masjid itu, juga mendapatkan segelas kopi susu dan kurma. Menu kopi susu dan kurma juga menjadi bagian tradisi buka puasa bersama di tempat ibadah itu.

Seorang warga Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Nyonya Nanik (50), mengaku datang jauh-jauh dari rumahnya untuk ikut antre mendapatkan bubur samin yang disebutnya tidak ada yang menjual di daerah setempat.

"Kami setiap bulan Ramadan pasti datang ke Masjid Darussalam Solo ini untuk antre bubur samin," katanya.

Ia mengaku merasakan enaknya menyantap bubur samin yang makanan khas Banjarmasin itu. Makanan itu, rasanya juga gurih dan baunya harum karena dimasak dengan rempah-rempah dan minyak samin warna kuning. Ia menyebut minyak samin berasal dari Arab.

"Saya sejak 1970-an sudah mendatangi di Masjid Darussalam untuk mendapatkan bubur samin ini. Orang kalau sudah merasakan bubur samin sekali dipastikan akan kangen ingin mencicipi lagi dengan datang ke masjid ini saat buka puasa," katanya.

Salah seorang pengurus Masjid Darussalam yang juga juru masak bubur samin, Salman (55), mengaku setiap hari rata-rata memasak bubur samin dengan menghabiskan sekitar 48 kilogram beras.

"Untuk dibagikan secara gratis kepada masyarakat umum menjelang berbuka puasa," katanya.

Aneka bumbu untuk memasak bubur samin, antara lain lada, jahe, santan, daging sapi, serta diberikan sedikit minyak samin yang berasal dari Arab itu.

Ia mengaku bubur samin memang rasanya lezat, gurih, serta baunya khas.

Setiap kali memasak bubur samin untuk kepentingan buka puasa di masjid tersebut, ia dibantu empat orang. Mereka bertugas mengaduk bahan baku menjadi bubur hingga matang. Setiap kali memasak bubur itu, mereka membutuhkan waktu antara dua hingga tiga jam.

Tradisi bubur samin telah menjadi ciri khas suasana berbuka puasa Ramadan di Masjid Darussalam.

Tak heran jika tradisi itu sudah kondang dan menjadi daya tarik masyarakat untuk berkumpul dan memadati masjid tersebut sejak menjelang saat berbuka puasa. Mereka pun dengan gembira dan bersabar mengantre untuk mendapatkan bubur samin.

Bahkan, ada warga dari tempat yang lebih jauh lagi, seperti dari Yogyakarta, datang ke masjid tersebut untuk menikmati tradisi berbuka puasa dengan menu bubur samin.

"Masyarakat yang sudah merasakan bubur samin, mereka akan datang kembali karena rasanya yang khas itu, 'ngangeni' (membuat kangen, red.)," kata Salman.

Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024