Buaya muara yang berjenis kelamin betina itu dievakuasi petugas BKSDA Jateng dari sebuah kolam di hotel tersebut, Rabu, dan selanjutnya dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan, Kabupaten Kebumen, untuk ditangkarkan.

Salah seorang petugas BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang, Dedy Supriyanto, mengatakan, buaya muara merupakan salah satu satwa yang dilindungi.

"Akan tetapi kalau hasil penangkaran, F2 dan seterusnya itu sudah milik privat, tidak dilindungi. Kalau yang ini, bukan hasil penangkaran," katanya.

Ia mengatakan, setiap warga negara mempunyai hak untuk menangkarkan satwa tetapi harus memenuhi mekanisme atau prosedur yang berlaku, salah satunya terkait tempat penangkaran.

Menurut dia, tempat yang disediakan oleh pemilik hotel untuk buaya muara itu sebenarnya cukup memenuhi syarat untuk penangkaran tetapi masih perlu sedikit polesan.

Oleh karena pemilik hotel ingin menangkarkan buaya, kata dia, pihaknya akan membantu dalam proses perizinan sesuai prosedur meskipun untuk sementara buaya itu dibawa ke Lembaga Konservasi Jembangan.

Selain itu, lanjut dia, satwa yang akan ditangkarkan juga harus berpasangan sehingga tidak mungkin hanya seekor betina atau pejantan saja.

"Beberapa bulan lalu, pemiliknya memang berniat untuk menyerahkan buaya itu kepada kami namun baru hari ini terlaksana," katanya.

Koordinator Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Cilacap-Pemalang, Rakhmat Hidayat, mengatakan, pihaknya sebelumnya mendapat laporan dari masyarakat terkait keberadaan buaya muara itu di Hotel Moro Seneng.

Menurut dia, pihaknya segera menghubungi pemilik hotel untuk mengonfirmasi masalah buaya muara itu.

"Kebetulan Pak Hengki (pemilik hotel, red.) taat hukum sehingga beliau bersedia menyerahkan kepada kami. Selanjutnya, buaya itu akan kami serahkan ke Lembaga Konservasi Jembangan yang berada di bawah Kementerian Lingkungn Hidup dan Kehutanan," katanya.

Selain buaya muara, kata dia, pihaknya rencananya akan mengevakuasi kijang (Muntiacus) dan landak (Hystrix brachyuran) yang juga dipelihara pemilik hotel itu.

Akan tetapi, lanjut dia, evakuasi terhadap kijang dan landak itu batal dilakukan karena pemiliknya siap mengajukan izin penangkaran.

"Setiap warga negara punya hak untuk mengajukan penangkaran dalam rangka pengawetan serta pemanfaatan jenis tanaman dan satwa liar," jelasnya.

Sementara itu, pemilik Hotel Moro Seneng, Hengki Siswo Riyanto, mengaku tidak tahu jika memelihara buaya harus memiliki izin.

"Itu tidak terpikirkan karena buaya ini titipan. Harusnya sudah dari dulu kita urus izin," katanya.

Menurut dia, buaya muara itu sebenarnya titipan dari Kepala Divisi Hukum Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Polisi Mochammad Iriawan saat yang bersangkutan masih menjabat Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto sekitar tahun 2007-2008.

"Saat itu, ada lulusan SPN asal Tegal yang memberikan buaya muara itu sebagai rasa terima kasih. Oleh karena di SPN tidak ada tempatnya, Pak Iwan (panggilan akrab Mochammad Iriawan, red.) menitipkan buaya ini kepada saya karena kebetulan saya senang pelihara satwa," jelasnya.

Bahkan setiap kali bertemu, kata dia, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat itu selalu menanyakan buaya tersebut meskipun tidak ada niat untuk mengambilnya kembali.

Terkait satwa lain yang dipeliharanya, dia mengaku memelihara dua pasang landak, seekor kijang, seekor babi hutan, seekor siamang, ayam, kambing, dan beberapa ekor anjing.

"Kalau kijangnya sudah lepas tapi kadang terlihat di sini," katanya.

Ia mengaku ingin mengajukan izin penangkaran agar satwa-satwa itu khususnya yang tergolong langka dapat berkembang biak sehingga tidak punah.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : hernawan
Copyright © ANTARA 2024