Harga beras terus naik. Semua bumbu dapur juga naik. Harga gula pasir, minyak goreng, hingga elpiji ukuran 3 kilogram juga melesat akibat ketidakseimbangan pasokan dengan permintaan. Di Sragen, Jawa Tengah, dikabarkan menembus Rp27.000/tabung dari harga pasaran Rp17.000/tabung elpiji ukuran 3 kg.
Di tengah terus melejitnya harga kebutuhan pokok, kondisi makroekonomi negeri ini juga ikut meredup. Kurs rupiah terhadap dolar AS, Selasa (9/6) siang sudah menembus Rp13.400-Rp13.500. Tidak ada jaminan nilai rupiah tidak akan anjlok lagi terhadap dolar AS dan mata uang asing lainnya. Kalau dolar terus menguat, itu sinyal kuning bagi industri yang komponen produknya berisi barang impor.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sama juga meluncur di bawah ambang psikologis Rp5.000. Proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dipastikan di bawah target awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pertumbuhan ekonomi pada 2015 diperkirakan sedikit di atas 5 persen dari proyeksi 5,6 persen.
Daya serap anggaran APBN dan APBD provinsi dan kabupaten hingga Juni rata-rata masih di bawah 25 persen. Padahal, duit APBN/APBD merupakan stimulus yang mangkus untuk memacu pertumbuhan ekonomi domestik.
Pengalaman pada krisis ekonomi dunia pada 2008 yang dibarengi dengan runtuhnya sejumlah institusi bisnis raksasa di negara adidaya, menjadi pelajaran terbaik bagi Indonesia. Permintaan yang kuat dari sektor domestiklah yang kala itumenjadikan perekonomian Indonesia tidak kelimpungan seperti beberapa negara. Bahkan pada saat itu Indonesia masih mencatat pertumbuhan positif.
Kabar menyedihkan belakangan ini juga terdengar bahwa sejumlah pabrik dan sektor usaha mengurangi jam kerja bahkan malah merumahkan para pegawainya. Kalau sampai ini terjadi, berarti permasalahan yang dihadapi Presiden Joko Widodo memang berat.
Tanpa ada kebijakan yang mampu menyasar langsung pada proses pemulihan kondisi ekonomi, dikhawatirkan keadannya akan bertambah parah. Kalau para menteri kabinet sekarang dinilai tidak becus bekerja, secepatnya diganti dengan yang lebih kompeten.
Laporan merosotnya penjualan sepeda motor dan mobil pada triwulan I 2015 menjadi indikator tambahan terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Secara satiris, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai kondisi Indonesia saat ini kurang jelas, ekonomi tidak jelas, PSSI tidak jelas nasibnya, hanya batu akik yang paling jelas. "Di tengah masyarakat yang terimpit berbagai tekanan, batu akik menjadi penghibur sekaligus penggerak ekonomi rakyat," katanya awal pekan ini.
Akan tetapi, rakyat tidak bisa terus-menerus dicekoki dan dihibur oleh batu akik. Rakyat juga tidak bisa terus-menerus dihibur dengan penampilan sederhana para pemimpin negeri ini, namun mereka tidak membuat kebijakan propertumbuhan dan pemerataan. Terasa miris setiap membaca laporan yang menyebutkan indeks Gini terus naik, yang berarti kesenjangan ekonomi penduduk kian lebar. Saat ini indeks Gini sudah di atas 0,41. Kian rendah koefisien Gini maka ketimpangan makin kecil. Begitu pula sebaliknya.
Kita tidak ingin memperdebatkan prioritas pertumbuhan dan pemerataan karena pengalaman di negara lain menunjukkan pertumbuhan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pemerataan melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Namun, bila perekonomian sampai terpuruk maka tidak ada lagi kue pertumbunan yang bisa dibagi. Yang bisa dibagi hanyalah pemerataan kemiskinan!
Oleh karena itu, selagi kondisi perekonomian Indonesia belum terantuk ke lubang yang lebih dalam, pemerintah harus secepatnya memberi respons berupa kebijakan ekonomi yang mampu menggerakkan perekonomian domestik. Pilihannya cukup beragam, termasuk menaikkan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) atau mempercepat pengucuran anggaran proyek-proyek yang dibiayai APBN/APBD.
Rakyat tentu menginginkan terus berkembangan infrastruktur dan pelayanan publik jauh lebih nyaman dan bisa mendorong lahirnya titik-titik pertumbuhan ekonomi baru. Jangan sampai persoalan administrasi menjadi ganjalan abadi tersendatnya kucuran anggaran pemerintah. Harus dicari terobosan administratif agar aturan main yang ada tidak malah membuat gentar kuasa pengguna anggaran (KUA).
Kita tidak ingin pejabat berintegritas yang ingin membuat terobosan demi efisiensi dan menomorsatukan kebutuhan publik malah bolak-balik ke kantor polisi. ***
Di tengah terus melejitnya harga kebutuhan pokok, kondisi makroekonomi negeri ini juga ikut meredup. Kurs rupiah terhadap dolar AS, Selasa (9/6) siang sudah menembus Rp13.400-Rp13.500. Tidak ada jaminan nilai rupiah tidak akan anjlok lagi terhadap dolar AS dan mata uang asing lainnya. Kalau dolar terus menguat, itu sinyal kuning bagi industri yang komponen produknya berisi barang impor.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sama juga meluncur di bawah ambang psikologis Rp5.000. Proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dipastikan di bawah target awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pertumbuhan ekonomi pada 2015 diperkirakan sedikit di atas 5 persen dari proyeksi 5,6 persen.
Daya serap anggaran APBN dan APBD provinsi dan kabupaten hingga Juni rata-rata masih di bawah 25 persen. Padahal, duit APBN/APBD merupakan stimulus yang mangkus untuk memacu pertumbuhan ekonomi domestik.
Pengalaman pada krisis ekonomi dunia pada 2008 yang dibarengi dengan runtuhnya sejumlah institusi bisnis raksasa di negara adidaya, menjadi pelajaran terbaik bagi Indonesia. Permintaan yang kuat dari sektor domestiklah yang kala itumenjadikan perekonomian Indonesia tidak kelimpungan seperti beberapa negara. Bahkan pada saat itu Indonesia masih mencatat pertumbuhan positif.
Kabar menyedihkan belakangan ini juga terdengar bahwa sejumlah pabrik dan sektor usaha mengurangi jam kerja bahkan malah merumahkan para pegawainya. Kalau sampai ini terjadi, berarti permasalahan yang dihadapi Presiden Joko Widodo memang berat.
Tanpa ada kebijakan yang mampu menyasar langsung pada proses pemulihan kondisi ekonomi, dikhawatirkan keadannya akan bertambah parah. Kalau para menteri kabinet sekarang dinilai tidak becus bekerja, secepatnya diganti dengan yang lebih kompeten.
Laporan merosotnya penjualan sepeda motor dan mobil pada triwulan I 2015 menjadi indikator tambahan terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Secara satiris, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai kondisi Indonesia saat ini kurang jelas, ekonomi tidak jelas, PSSI tidak jelas nasibnya, hanya batu akik yang paling jelas. "Di tengah masyarakat yang terimpit berbagai tekanan, batu akik menjadi penghibur sekaligus penggerak ekonomi rakyat," katanya awal pekan ini.
Akan tetapi, rakyat tidak bisa terus-menerus dicekoki dan dihibur oleh batu akik. Rakyat juga tidak bisa terus-menerus dihibur dengan penampilan sederhana para pemimpin negeri ini, namun mereka tidak membuat kebijakan propertumbuhan dan pemerataan. Terasa miris setiap membaca laporan yang menyebutkan indeks Gini terus naik, yang berarti kesenjangan ekonomi penduduk kian lebar. Saat ini indeks Gini sudah di atas 0,41. Kian rendah koefisien Gini maka ketimpangan makin kecil. Begitu pula sebaliknya.
Kita tidak ingin memperdebatkan prioritas pertumbuhan dan pemerataan karena pengalaman di negara lain menunjukkan pertumbuhan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pemerataan melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Namun, bila perekonomian sampai terpuruk maka tidak ada lagi kue pertumbunan yang bisa dibagi. Yang bisa dibagi hanyalah pemerataan kemiskinan!
Oleh karena itu, selagi kondisi perekonomian Indonesia belum terantuk ke lubang yang lebih dalam, pemerintah harus secepatnya memberi respons berupa kebijakan ekonomi yang mampu menggerakkan perekonomian domestik. Pilihannya cukup beragam, termasuk menaikkan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) atau mempercepat pengucuran anggaran proyek-proyek yang dibiayai APBN/APBD.
Rakyat tentu menginginkan terus berkembangan infrastruktur dan pelayanan publik jauh lebih nyaman dan bisa mendorong lahirnya titik-titik pertumbuhan ekonomi baru. Jangan sampai persoalan administrasi menjadi ganjalan abadi tersendatnya kucuran anggaran pemerintah. Harus dicari terobosan administratif agar aturan main yang ada tidak malah membuat gentar kuasa pengguna anggaran (KUA).
Kita tidak ingin pejabat berintegritas yang ingin membuat terobosan demi efisiensi dan menomorsatukan kebutuhan publik malah bolak-balik ke kantor polisi. ***