"Pada Februari lalu Kemenkumham minta bantuan pada UI untuk meneliti atau menyisir semua pasal dalam draf RKUHP untuk melihat apa yang menjadi kelemahan dalam setiap pasal, dan hasilnya hampir semua pasal ada komentar atau catatannya dari kami," ujar salah satu anggota tim dosen Bidang Studi Hukum Pidana FH UI Eva Achjani Zulfa di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, banyak kelemahan dalam KUHP yang digunakan saat ini baik dari banyaknya versi, ketidaksesuaian dengan situasi masa kini, hingga pasal-pasal yang usang atau mati sehingga akan menyulitkan proses penegakan hukum.
"KUHP kan kalau dilihat dari sejarahnya merupakan sisa-sisa pemikiran dari abad 18 ke 19, Belanda saja sudah mengganti (KUHP) lebih dari delapan kali sementara kita belum pernah melakukan perubahan apapun," tuturnya.
Selain itu, banyaknya versi KUHP yang beredar membuat beberapa sanksi dalam rumusan KUHP berbeda antara kitab satu dan lainnya.
Hal itu disebabkan karena versi KUHP yang dibuat resmi oleh pemerintah tidak pernah ada, bahkan KUHP versi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan versi UU Nomor 1 Tahun 1946 pun berbeda.
"Ini membuat kita mengalami kesulitan ketika bicara sanksi pidana karena KUHP kita punya beberapa versi," ujarnya.
Kelemahan lain, kata Eva, adalah tentang kualifikasi tindak pidana yang sama sekali tidak pernah "dicolek" atau disebutnya sudah usang karena tidak pernah digunakan sebagaimana fungsinya misalnya Pasal 504 KUHP tentang Pengemisan, Pasal 506 KUHP tentang Penggelandangan, dan Pasal 282 KUHP tentang Pornografi.
"Kita harus berpikir, dalam konteks kekinian pasal-pasal tersebut masih perlu dipertahankan tidak? Misalnya kenapa harus ada pasal dalam KUHP tentang pornografi padahal kita sudah punya UU sendiri yang mengatur itu?" katanya.
Yang tidak kalah penting untuk diatur dalam RKUHP adalah sanksi denda. Banyaknya versi KUHP yang ada mengakibatkan jumlah sanksi denda di setiap versi berbeda, versi lama masih menyebutkan denda Rp25 sementara versi baru yaitu versi 1960 jumlah dendanya dikalikan 10 menjadi Rp250.
Perbedaan jumlah sanksi denda ini perlu diluruskan dan disesuaikan dengan kondisi saat ini agar tidak menimbulkan kerancuan hukum.
"Misalnya pada kasus nenek Minah, kita andaikan kakao yang dia curi itu nilainya Rp1.000 di pasaran, padahal kalau mau memakai Pasal 364 KUHP nilai benda yang dicuri harus di bawah Rp250. Zaman sekarang apa yang bisa dicuri dengan nilai di bawah Rp250?" kata Eva.
Untuk itu, menurut dia, beberapa koreksi yang dilakukan timnya atas draf RKUHP sangat penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly menyatakan pihaknya sudah menyerahkan draf RUU KUHP kepada Presiden Jokowi. Hal itu diungkapkan oleh Yasona dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM pada Rabu (8/4).
"Sudah diserahkan kepada Presiden dua pekan lalu dan sekarang di Setneg," kata Yasona.
Dalam rapat kerja tersebut salah satu kesimpulannya adalah Komisi III DPR RI mendesak Menkumham untuk segera mengajukan draf dan naskah akademik tentang RUU KUHP sesuai dengan kesepakatan Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham tertanggal 21 Januari 2015.
Menurut dia, banyak kelemahan dalam KUHP yang digunakan saat ini baik dari banyaknya versi, ketidaksesuaian dengan situasi masa kini, hingga pasal-pasal yang usang atau mati sehingga akan menyulitkan proses penegakan hukum.
"KUHP kan kalau dilihat dari sejarahnya merupakan sisa-sisa pemikiran dari abad 18 ke 19, Belanda saja sudah mengganti (KUHP) lebih dari delapan kali sementara kita belum pernah melakukan perubahan apapun," tuturnya.
Selain itu, banyaknya versi KUHP yang beredar membuat beberapa sanksi dalam rumusan KUHP berbeda antara kitab satu dan lainnya.
Hal itu disebabkan karena versi KUHP yang dibuat resmi oleh pemerintah tidak pernah ada, bahkan KUHP versi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan versi UU Nomor 1 Tahun 1946 pun berbeda.
"Ini membuat kita mengalami kesulitan ketika bicara sanksi pidana karena KUHP kita punya beberapa versi," ujarnya.
Kelemahan lain, kata Eva, adalah tentang kualifikasi tindak pidana yang sama sekali tidak pernah "dicolek" atau disebutnya sudah usang karena tidak pernah digunakan sebagaimana fungsinya misalnya Pasal 504 KUHP tentang Pengemisan, Pasal 506 KUHP tentang Penggelandangan, dan Pasal 282 KUHP tentang Pornografi.
"Kita harus berpikir, dalam konteks kekinian pasal-pasal tersebut masih perlu dipertahankan tidak? Misalnya kenapa harus ada pasal dalam KUHP tentang pornografi padahal kita sudah punya UU sendiri yang mengatur itu?" katanya.
Yang tidak kalah penting untuk diatur dalam RKUHP adalah sanksi denda. Banyaknya versi KUHP yang ada mengakibatkan jumlah sanksi denda di setiap versi berbeda, versi lama masih menyebutkan denda Rp25 sementara versi baru yaitu versi 1960 jumlah dendanya dikalikan 10 menjadi Rp250.
Perbedaan jumlah sanksi denda ini perlu diluruskan dan disesuaikan dengan kondisi saat ini agar tidak menimbulkan kerancuan hukum.
"Misalnya pada kasus nenek Minah, kita andaikan kakao yang dia curi itu nilainya Rp1.000 di pasaran, padahal kalau mau memakai Pasal 364 KUHP nilai benda yang dicuri harus di bawah Rp250. Zaman sekarang apa yang bisa dicuri dengan nilai di bawah Rp250?" kata Eva.
Untuk itu, menurut dia, beberapa koreksi yang dilakukan timnya atas draf RKUHP sangat penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly menyatakan pihaknya sudah menyerahkan draf RUU KUHP kepada Presiden Jokowi. Hal itu diungkapkan oleh Yasona dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM pada Rabu (8/4).
"Sudah diserahkan kepada Presiden dua pekan lalu dan sekarang di Setneg," kata Yasona.
Dalam rapat kerja tersebut salah satu kesimpulannya adalah Komisi III DPR RI mendesak Menkumham untuk segera mengajukan draf dan naskah akademik tentang RUU KUHP sesuai dengan kesepakatan Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham tertanggal 21 Januari 2015.