Penyelenggara BWCF telah merancang tema kegiatan pada 12-15 November 2014 di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, sejak setahun yang lalu, yang artinya sebelum hiruk pikuk pesta demokrasi sepanjang 2014.

"Tema itu sudah kita umumkan saat BWCF kedua, tahun lalu," kata Direktur Samana Foundation Yoke Darmawan, dalam jumpa pers di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Minggu (9/11) sore.

Hadir pada kesempatan itu, Dirut PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas, budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut, dan kurator BWCF 2014 Seno Joko Suyono.

Samana Foundation yang penyelenggara BWCF untuk ketiga kalinya pada 2014, adalah lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya dan berkaitan dengan sejarah Nusantara, didirikan oleh Yoke (profesional konsultasi manajemen), Seno Joko Suyono (redaktur budaya Tempo), Dorothea Rosa Herliany (penyair), Wicaksono Adi (penulis esai seni-budaya), dan Imam Muhtarom (penulis dan editor buku).

BWCF pertama pada 2012 dengan tema "Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara", kedua pada 2013 "Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonialisme dan Poskolonialisme", dan ketiga pada 2014 "Ratu Adil: Kekuasaan dan Pemberontakan di Nusantara".

Seno juga menyebut penyelenggaraan kegiatan dengan berbagai rangkaiannya, terbebas dari kepentingan politis kekuasaan baru Indonesia saat ini.

Pembahasan tema "Ratu Adil: Kekuasaan dan Pemberontakan di Nusantara", secara bersama-sama dengan pendekatan multidisiplin keilmuan untuk kepentingan kenusantaraan.

"Bicara tentang kenusantaraan, digodok bersama-sama. Bahkan kami sudah menyiapkan berbagai pemikiran untuk mengangkat tema-tema lainnya, untuk penyelenggaraan selama tiga atau empat tahun ke depan ini," katanya.

Ia patahkan spekulasi kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI untuk periode lima tahun ke depan, 2014-2019, dengan sambutan dan pengharapan seluas samudra dari rakyat, baik di dalam maupun luar negeri, sebagai kehadiran Ratu Adil.

Alam pikiran ihwal Ratu Adil ternyata tidak hanya hadir dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa sejak lampau yang mendasarkan kepada ramalan Jayabaya, akan tetapi juga masyarakat di berbagai daerah yang disebutnya sebagai "sudut-sudut" lainnya di Nusantara, bahkan ada pula dalam catatan sejarah kebudayaan Yunani Kuno.

"Tidak politik. Ide independen, tentang kenusantaraan," kata Seno yang juga kurator BWCF itu.

Agenda seminar selama tiga hari yang dipusatkan di ruang pertemuan di dekat kaki Candi Borobudur dalam festival itu, antara lain dengan pembicara Daud Aris Tanudirjo (Sejarah Ratu Adil pada Jawa Kuno: dari Kediri ke Penanggungan), Peter B.R. Carey (Diponegoro, Ratu Adil dan Tata Kuasa dalam Masyarakat Jawa), Setyo Wibowo (Perbandingan Ratu Adil Nusantara dengan Ratu Adil Yunani Kuno), Sri Margana (Ratu Adil: Kekuasaan dan Kraton).

Selain itu, Mukhlis PaEni (Ratu Adil dan Pergerakan Sosial di Nusantara: Kasus Sulawesi Selatan), Otto Syamsudin (Ratu Adil dan Pergerakan Sosial Nusantara; Kasus Aceh), Jean Couteau (Ratu Adil dan Pergerakan Sosial Nusantara: Kasus Bali), Enos H. Rumansara (Ratu Adil dalam Pergerakan Sosial di Nusantara: Kasus Siak, Papua).

Selain itu, Bambang Purwanto (Kuasa dalam Nalar Nusantara Modern), Budiawan (Ideologi dan Sejarah Pemberontakan Kiri di Nusantara), dan Al-Makin (Fenomena Kemunculan Berbagai Nabi Palsu dan Pergerakan Islam di Nusantara).

"Ini adalah pesta pemikiran, banyak peneliti dengan kajian multidisipliner tentang Ratu Adil di Nusantara, berkumpul di Candi Borobudur. Ratu Adil sebagai kerinduan masyarakat atas kebahagiaan. Dengan pemimpin yang baru dengan harapan masyarakat sejahtera, harapan hadirnya zaman bahagia dari abad ke abad. Ratu Adil menjadi gerakan milenialisme, universal, mesianistik, dan eskatologis," katanya.

Para peserta BWCF 2014 yang berjumlah sekitar 250 orang, antara lain kalangan penulis, sejarawan, arkeolog, jurnalis nasional, rohaniwan, budayawan, dan penyair itu, juga diagendakan menghadiri pesta kesenian dengan label "Panggung Ratu Adil".

"Panggung Ratu Adil" di Padepokan Wargo Budoyo, di kawasan Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, berupa pembacaan puisi, pentas Komunitas Lima Gunung (performa "Lakon Lakuning Laku" Gejayan, "Roro Putih" Warangan, dan "Klono Bronto" Mantran), serta penampilan penyanyi Trie Utami dengan iringan Band Lamalera.

Selain itu, "Panggung Ratu Adil" di Padepokan Tjipto Boedaja di kawasan Gunung Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, berupa pembacaan puisi, pentas Komunitas Lima Gunung (performa "Sayuk Rukun" Bangun Budoyo, "Topeng Saujana" Keron, "Grasak Putih" Petung, dan wayang orang, Tutup Ngisor), monolog "Ratu Adil" oleh Ine Febriyanti dan Putu Fajar Arcana, penampilan Sanggar Topeng Panji Asmara dan Purbasari, Cirebon.

Agenda lainnya, berupa pameran sketsa tentang Borobudur karya budayawan Romo Mudji Sutrisno di Pendopo Manohara, dekat Candi Borobudur, pidato kebudayaan oleh budayawan Mohammad Sobary dan penyair Danarto, peluncuran sejumlah buku, antara lain "Ratu Adil Segera Datang (Otto Sukanto C.R.), "Sumelang Gandring" (Zhaenal Fanani), "Kulminasi" (Imam Muhtarom), dan "Kematian Kecil Kartosoewirdjo" (Triyanto Triwikromo)

Selain itu, pemutaran film dokumenter "Senyap" karya Joshua Oppenheimer, diskusi buku, loka karya tentang "Tubuh, Kekosongan, dan Pemberontakan" oleh Guru Besar Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Gunawan Raharja, serta penyerahan penghargaan "Sanghyang Kamahayanikan" kepada sejarawan Peter B.R. Carey yang sepanjang hidupnya meneliti kekuasan Jawa, terutama sejarah Perang Jawa (1825-1830) dengan tokoh besar Pangeran Diponegoro.

"Ini forum unik," katanya.

Dirut PT TWCBPRB Lailly Prihatiningyas yang merespons positif BWCF 2014 juga menyebut rangkaian agenda pesta pemikiran dikemas dengan cara indah.

"Pesta pemikiran dengan cara musyawarah yang dikemas secara indah dan menyenangkan," katanya.

Candi Borobudur yang warisan peradaban dunia dibangun sekitar abad ke-8 masa pemerintahan Dinasti Syailendara itu, telah menorehkan catatan diri sebagai saksi pasang surut pemberontakan Nusanatara.

Kepentingan pelestarian atas Candi Borobudur, katanya, bukan sebatas hal-hal yang fisik akan tetapi juga nilai-nilai tak bendawi.

"Candi Borobudur ada nilai-nilai tentang kuasa, pemberontakan, dan Ratu Adil. BWCF menyentuh visi itu, berupaya menggali," kata Tyas yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.

Ia mengemukakan usaha-usaha membuka catatan sejarah melalui diskusi bersifat konstruktif, bukan untuk membuka luka lama.

"Mengorek-ngorek luka bukan untuk mengungkit-ungkit, tetapi untuk tidak melakukan hal yang sama pada masa yang akan datang. BWCF mengumpulkan rekonstruksi, menggali nilai-nilai kebaikan dan Candi Borobudur 'center of learning' (pusat pembelajaran) yang tidak pernah 'asat' (kering, red.)," katanya.

Kalau impian-impian tentang Ratu Adil yang bertebaran di sudut-sudut Nusantara dikumpulkan, tentu harapannya kemudian menjadi impian bersama sebangsa dan setanah air. Ratu Adil menjadi spirit usaha-usaha mewujudkan harapan bersama itu, Indonesia yang makmur, sejahtera, dan bahagia.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025