Iko--sapaan akrab Fransisca Fitri--melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Jumat, menegaskan, "Undang-Undang Perkumpulan lebih mendesak segera dibentuk oleh pemerintahan Jokowi-JK untuk mengatur organisasi yang dibentuk oleh kumpulan orang."

Pernyataan Iko yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) itu dibenarkan oleh Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri.

Iko menjelaskan bahwa UU Perkumpulan itu memiliki kerangka hukum yang tepat untuk mengatur kumpulan orang daripada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang memang cacat sejak awal pembentukannya.

Dengan demikian, lanjut Iko, menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) UU Ormas juga tidak relevan dilakukan oleh pemerintah baru nanti.

Ronald dan Iko menyatakan hal itu terkait dengan sikap saling lempar tanggung jawab mengenai pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Hal itu, menurut mereka, sebagai bukti dan akibat UU No. 17/2013 tentang Ormas sudah keliru sejak awal.

Saling lempar tanggung jawab antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kasus tersebut, menurut Ronald, semakin membuktikan kepada publik bahwa UU Ormas memang telah cacat sejak awal.

"Undang-Undang Ormas merupakan bentuk kekeliruan DPR dan pemerintah dalam menghadirkan kerangka hukum. Pasalnya, pertimbangan UU Ormas sebagai instrumen pencegah kekerasan ormas sudah dijawab oleh beberapa peraturan terkait, seperti KUHP," paparnya.


Pengendalian Ormas

Dalam pesan singkatnya, tertulis bahwa Kementerian Dalam Negeri berkukuh bahwa pemerintah butuh UU Ormas baru untuk mengendalikan ormas yang mengganggu dan melakukan kekerasan, seperti terbaca dalam Risalah Rapat Kerja Gabungan DPR dan pemerintah pada hari Senin, 30 Agustus 2010.

"Sikap ngotot ini," kata Ronald, "konsisten ditunjukkan sepanjang pembahasan RUU Ormas di DPR RI."
Oleh karena itu, kata Iko menambahkan, publik sulit memahami mengapa Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi justru melepas tanggung jawab ketika kasus kekerasan yang dilakukan ormas terjadi.

Ia menjelaskan bahwa UU Ormas memberikan kewenangan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, untuk menindak organisasi yang melakukan kekerasan.

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar (Pasal 61), menurut dia, bisa diberikan terhadap ormas yang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial (Pasal 58 Angka 2 Huruf d).

"Jika sanksi penghentian sementara tersebut tidak dipatuhi, Pemerintah dapat membubarkan organisasi tersebut dengan mencabut surat keterangan terdaftarnya (Pasal 67)," katanya.

Sebelumnya, Iko mengemukakan bahwa pembubaran organisasi tidak menyelesaikan akar kekerasan oleh kelompok karena orang-orangnya akan dengan mudah mendirikan kembali organisasi dengan nama lain.

"Pendekatan pidana lebih tepat untuk menindak para pelaku kekerasan di dalam organisasi tersebut," kata Iko.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024