Sindiran itulah yang beberapa kali disampaikan budayawan sekaligus pendidik Prof. Eko Budihardjo yang wafat pada Selasa (22/7) di RSUP dr. Kariadi Semarang.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang Eko yang meninggal dunia dalam usia 70 tahun itu memang sering menyampaikan kegelisahannya atas ulah politikus tanpa pijakan idealisme kuat dan hanya memburu kekuasaan.
Politikus bermasalah tersebut bukan hanya monopoli Indonesia. Kata Eko, di Australia, sepak terjang politikus mirip dengan kanguru, meloncat ke sana ke mari tanpa tujuan jelas kecuali mencari celah kekuasaan.
Di Indonesia, sudah jamak para politikus berpindah-pindah partai. Itu bukan karena dia tidak lagi sejalan dengan ideologi partai sebelumnya, tetapi karena peluang mendapatkan kekuasaan di partai baru lebih menggoda.
Kalau kekuasaan memang diabdikan untuk kepentingan orang banyak, menurut Guru Besar (emiritus) Arsitektur Undip, tentu cara mendapatkannya tidak sampai menimbulkan kegaduhan berkelanjutan. Apalagi sampai menjadikan orang lain sebagai korban.
Kegelisahan Eko mungkin bertambah dalam andai ia menyaksikan wajah-wajah politikus pasca-Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014. Kemenangan sudah menjadi tujuan, bukan sebagai pijakan yang "legitimate" untuk memperbesar ladang pengabdian.
Ketika berbicara dalam suatu forum diskusi di Undip beberapa tahun lalu, pria kelahiran Purbalingga pada 9 Juni 1944 itu menyatakan, satu orang politikus merupakan masalah, namun bila semua politikus dibuang, itu solusi.
Dalam negara demokrasi, tentu tidak mungkin meniadakan kaum politikus. Hanya, Eko ingin mengingatkan kepada para politikus bahwa kekuasaan itu hanya diabdikan untuk masyarakat, bukan untuk mengelabuhi apalagi untuk memperkaya diri.
Selama dua periode memimpin Undip (1998-2006), Eko memang selalu melakukan pendekatan persuasif kepada mahasiswa, dosen, dan pejabat struktural. Oleh karena itu, ia sangat dekat dengan aktivis mahasiswa.
Rektor Undip Prof. Sudharto Prawata Hadi menganggap almarhum sosok yang mampu merangkul semua kalangan sehingga sepanjang hidupnya ia nyaris tidak punya seteru.
Kalau pun mengkritik, ia bisa menyampaikan dengan gaya bercanda sehingga orang atau kelompok yang dikritik tidak sakit hati, namun pesan pentingnya tetap tercapai. Oleh karena itu, koleganya tersebar mulai dari orang awam, politikus, ilmuwan, budayawan, hingga pejabat tinggi.
Sebagai pendidik, penerima berbagai penghargaan itu bukan hanya seorang dosen yang sukses mendidik para mahasiswa. Ia juga sukses mengantarkan dua putrinya -- hasil pernikahannya dengan Dr. Sudanti -- sebagai perempuan terdidik dengan profesi yang terhormat.
Pendekatan Cinta
Menjelang peringatan perayaan ulang tahun ke-70 yang dibarengi dengan peluncuran tujuh buku sekaligus di Gedung Prof. Soedarto Tembalang Semarang, Eko bercerita betapa dosen di zaman ia menjadi mahasiswa Teknik Arsitektur UGM Yogyakarta memiliki kekuasaan besar seperti dewa.
Ia mengisahkan seorang dosen yang setiap habis ujian kenaikan tingkat hanya menghasilkan mahasiswa-mahasiswa kecewa karena nyaris tidak ada yang lulus pada mata kuliah tersebut. Ia termasuk korban dari arogansi dosen "killer" tersebut.
Para mahasiswa kemudian protes ke jurusan agar dosen tersebut bisa mengubah penilainnya. Namun, ternyata dosen tersebut tidak mau mengubah nilai lima menjadi enam agar lulus.
"Kalau mau mengubah nilai lima menjadi lulus, silakan. Akan tetapi saya tidak akan mengubah nilai lima menjadi enam atau di atasnya," kata Eko menirukan argumen dosen yang dianggapnya bergaya majikan tersebut.
Oleh karena itu, ketika menjadi dosen di Undip, Eko berjanji tidak akan menyulitkan mahasiswa dengan memberi nilai rendah sepanjang ia sudah menunjukkan keseriusannya kuliah.
"Bisa masuk Undip saja itu sudah menunjukkan mereka mahasiswa yang pintar. Jadi kalau prestasi belajar mereka jelek, yang salah bukan mahasiswa, melainkan dosennya," kata Eko yang bulan lalu dinobatkan oleh Kompas sebagai pendidik berdedikasi.
Oleh karena itu, kata Eko, ia nyaris tidak pernah memberi nilai C, apalagi D, kepada mahasiswanya. "Rata-rata saya kasih A, minimal B. Imbalannya, setelah lulus dan bekerja, mereka selalu ingat saya. Bahkan banyak di antara mereka yang mengajak saya untuk terlibat dalam proyek yang mereka kerjakan," kata Eko di Ruang Jurusan Teknik Arsitektur Undip, Mei lalu.
Sebagai ilmuwan, Eko senantiasa berpesan kepada dosen junior agar tidak hanya mengajar tapi harus mau menulis karya ilmiah. Kalau belum bisa, menelitilah. Kalau juga belum bisa, membacalah. Bila tetap tidak bisa, mendengarlah. Bila tetap tidak bisa, tidurlah. Bila melakukannya dengan cinta, katanya, seseorang akan meraih semua kebaikan.
Ia memang meyakini kekuatan cinta (the power of love) sehingga ketika memimpin bermacam organisasi, mulai dari ketua kaum manula di Semarang hingga Ketua Komisi Kebudayaan Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang masih dijabatnya, ia selalu menekankan pendekatan cinta.
Dengan cinta pula ia kini menghadap Sang Pencipta. Selamat jalan Prof. Eko. ***
Mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang Eko yang meninggal dunia dalam usia 70 tahun itu memang sering menyampaikan kegelisahannya atas ulah politikus tanpa pijakan idealisme kuat dan hanya memburu kekuasaan.
Politikus bermasalah tersebut bukan hanya monopoli Indonesia. Kata Eko, di Australia, sepak terjang politikus mirip dengan kanguru, meloncat ke sana ke mari tanpa tujuan jelas kecuali mencari celah kekuasaan.
Di Indonesia, sudah jamak para politikus berpindah-pindah partai. Itu bukan karena dia tidak lagi sejalan dengan ideologi partai sebelumnya, tetapi karena peluang mendapatkan kekuasaan di partai baru lebih menggoda.
Kalau kekuasaan memang diabdikan untuk kepentingan orang banyak, menurut Guru Besar (emiritus) Arsitektur Undip, tentu cara mendapatkannya tidak sampai menimbulkan kegaduhan berkelanjutan. Apalagi sampai menjadikan orang lain sebagai korban.
Kegelisahan Eko mungkin bertambah dalam andai ia menyaksikan wajah-wajah politikus pasca-Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014. Kemenangan sudah menjadi tujuan, bukan sebagai pijakan yang "legitimate" untuk memperbesar ladang pengabdian.
Ketika berbicara dalam suatu forum diskusi di Undip beberapa tahun lalu, pria kelahiran Purbalingga pada 9 Juni 1944 itu menyatakan, satu orang politikus merupakan masalah, namun bila semua politikus dibuang, itu solusi.
Dalam negara demokrasi, tentu tidak mungkin meniadakan kaum politikus. Hanya, Eko ingin mengingatkan kepada para politikus bahwa kekuasaan itu hanya diabdikan untuk masyarakat, bukan untuk mengelabuhi apalagi untuk memperkaya diri.
Selama dua periode memimpin Undip (1998-2006), Eko memang selalu melakukan pendekatan persuasif kepada mahasiswa, dosen, dan pejabat struktural. Oleh karena itu, ia sangat dekat dengan aktivis mahasiswa.
Rektor Undip Prof. Sudharto Prawata Hadi menganggap almarhum sosok yang mampu merangkul semua kalangan sehingga sepanjang hidupnya ia nyaris tidak punya seteru.
Kalau pun mengkritik, ia bisa menyampaikan dengan gaya bercanda sehingga orang atau kelompok yang dikritik tidak sakit hati, namun pesan pentingnya tetap tercapai. Oleh karena itu, koleganya tersebar mulai dari orang awam, politikus, ilmuwan, budayawan, hingga pejabat tinggi.
Sebagai pendidik, penerima berbagai penghargaan itu bukan hanya seorang dosen yang sukses mendidik para mahasiswa. Ia juga sukses mengantarkan dua putrinya -- hasil pernikahannya dengan Dr. Sudanti -- sebagai perempuan terdidik dengan profesi yang terhormat.
Pendekatan Cinta
Menjelang peringatan perayaan ulang tahun ke-70 yang dibarengi dengan peluncuran tujuh buku sekaligus di Gedung Prof. Soedarto Tembalang Semarang, Eko bercerita betapa dosen di zaman ia menjadi mahasiswa Teknik Arsitektur UGM Yogyakarta memiliki kekuasaan besar seperti dewa.
Ia mengisahkan seorang dosen yang setiap habis ujian kenaikan tingkat hanya menghasilkan mahasiswa-mahasiswa kecewa karena nyaris tidak ada yang lulus pada mata kuliah tersebut. Ia termasuk korban dari arogansi dosen "killer" tersebut.
Para mahasiswa kemudian protes ke jurusan agar dosen tersebut bisa mengubah penilainnya. Namun, ternyata dosen tersebut tidak mau mengubah nilai lima menjadi enam agar lulus.
"Kalau mau mengubah nilai lima menjadi lulus, silakan. Akan tetapi saya tidak akan mengubah nilai lima menjadi enam atau di atasnya," kata Eko menirukan argumen dosen yang dianggapnya bergaya majikan tersebut.
Oleh karena itu, ketika menjadi dosen di Undip, Eko berjanji tidak akan menyulitkan mahasiswa dengan memberi nilai rendah sepanjang ia sudah menunjukkan keseriusannya kuliah.
"Bisa masuk Undip saja itu sudah menunjukkan mereka mahasiswa yang pintar. Jadi kalau prestasi belajar mereka jelek, yang salah bukan mahasiswa, melainkan dosennya," kata Eko yang bulan lalu dinobatkan oleh Kompas sebagai pendidik berdedikasi.
Oleh karena itu, kata Eko, ia nyaris tidak pernah memberi nilai C, apalagi D, kepada mahasiswanya. "Rata-rata saya kasih A, minimal B. Imbalannya, setelah lulus dan bekerja, mereka selalu ingat saya. Bahkan banyak di antara mereka yang mengajak saya untuk terlibat dalam proyek yang mereka kerjakan," kata Eko di Ruang Jurusan Teknik Arsitektur Undip, Mei lalu.
Sebagai ilmuwan, Eko senantiasa berpesan kepada dosen junior agar tidak hanya mengajar tapi harus mau menulis karya ilmiah. Kalau belum bisa, menelitilah. Kalau juga belum bisa, membacalah. Bila tetap tidak bisa, mendengarlah. Bila tetap tidak bisa, tidurlah. Bila melakukannya dengan cinta, katanya, seseorang akan meraih semua kebaikan.
Ia memang meyakini kekuatan cinta (the power of love) sehingga ketika memimpin bermacam organisasi, mulai dari ketua kaum manula di Semarang hingga Ketua Komisi Kebudayaan Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang masih dijabatnya, ia selalu menekankan pendekatan cinta.
Dengan cinta pula ia kini menghadap Sang Pencipta. Selamat jalan Prof. Eko. ***