Semarang (ANTARA) - Pembelajaran IPAS materi sistem pencernaan di kelas V SDN Mangunsari 01 semula berjalan satu arah, siswa mencatat lalu mengerjakan soal menjodohkan organ dan fungsi. Rata-rata nilai hanya 66,9, kemudian 11 dari 16 siswa belum mencapai KKTP 75. Rendahnya keaktifan terlihat dari minimnya pertanyaan, sedikitnya inisiatif untuk unjuk diri, dan kendala belajar yang kerap tidak tersampaikan.
Sebagai respon yang praktis dan berorientasi kelas, guru menjalankan inisiatif pembelajaran dengan pendekatan STEAM yang dipadukan bahan ajar Augmented Reality. Fokus utamanya adalah perbaikan mutu belajar harian yang nyata di kelas. STEAM memadukan sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika agar belajar lebih kolaboratif, kreatif, dan kontekstual.
Bahan ajar AR menampilkan organ pencernaan dalam bentuk tiga dimensi, disertai petunjuk belajar mandiri, metode, batasan, dan cara evaluasi yang tersusun sistematis. Siswa dapat mengeksplorasi konsep sesuai kecepatannya, baik individu maupun tim. Capaian belajar dipantau melalui data nilai dan observasi proses, sehingga guru cepat mengetahui bagian yang perlu dikuatkan.
Dalam pelaksanaan, guru juga menerapkan metode MIKiR dari Tanoto Foundation. MIKiR terdiri dari Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi. Mengalami terjadi ketika siswa mengeksplorasi sistem pencernaan melalui AR serta percobaan sederhana agar konsep menjadi nyata. Interaksi tampak pada kerja kelompok kecil, diskusi dengan LKPD, penyusunan rencana alat peraga, dan kolaborasi saat perakitan.
Komunikasi diwujudkan melalui presentasi rancangan dan uji coba alat peraga, termasuk memberi serta menerima masukan dengan santun. Refleksi dilakukan bersama guru untuk meninjau proses, mengaitkan temuan dengan kebiasaan makan bergizi, lalu menutup dengan tes individu agar setiap siswa memahami capaian diri.
Kelas bergerak dengan alur proyek yang ringkas. Dimulai dari pertanyaan pemantik, bagaimana tubuh mengolah makanan yang kita konsumsi. Siswa menyampaikan pemahaman awal, lalu meninjau kembali konsep melalui AR. Kelompok kecil dibentuk, linimasa disepakati, dan rencana alat peraga sistem pencernaan disusun dengan bantuan LKPD.
Rujukan belajar diperkaya, AR, Youtube, dan mesin pencari, kemudian ide dirapikan dalam bahan presentasi Canva. Pembuatan alat peraga dikerjakan secara kolaboratif dengan pemantauan sederhana oleh guru. Presentasi dan uji coba dilakukan untuk menilai fungsi alat serta kejelasan penjelasan. Sesi refleksi mengaitkan proyek dengan kebiasaan makan bergizi di rumah, diakhiri tes individu agar guru mendapatkan potret capaian setiap siswa.
Hasilnya tampak jelas. Rata-rata nilai naik menjadi 78,1 pada tahap pertama penerapan, lalu meningkat lagi menjadi 85,3 pada tahap berikutnya. Ketuntasan kelas bertumbuh dari 68,75 persen menjadi 81,25 persen. Kemampuan berpikir kritis ikut terdongkrak, sebagian besar siswa bergerak ke indikator 3 sampai 5, yang berarti mampu menjelaskan proses secara runtut, mengaitkan dengan konsep ilmiah, serta mengusulkan solusi kontekstual. Di kelas, siswa tidak lagi pasif, mereka merancang, menganalisis, dan membuat alat peraga sistem pencernaan, lalu mengomunikasikan temuannya dengan percaya diri.
Suara penerima manfaat menggambarkan dampaknya. Dina Iftita, wali murid, menyampaikan bahwa pendekatan STEAM membuat anaknya lebih semangat, bahkan termotivasi memanfaatkan barang bekas di rumah untuk membuat produk.
Alya Qamira, siswa kelas V, menyebut pengalaman membuat alat peraga sebagai tantangan yang menyenangkan. Muhammad Hafis Aditya menuturkan bahwa proyek yang semula terasa sulit menjadi kegiatan yang asyik, timnya mencari inspirasi di Youtube, kemudian menentukan alat dan bahan yang dibutuhkan.
Beberapa kunci keberhasilan dapat dicatat. Visualisasi konkret lewat AR membuat konsep abstrak menjadi dekat dengan keseharian. Proyek yang relevan menautkan sains dengan pengalaman hidup, tidak berhenti pada definisi. Kolaborasi yang terstruktur menjaga ritme kerja tim serta menumbuhkan tanggung jawab.
Umpan balik yang membangun mendorong komunikasi, argumentasi, dan sikap saling menghargai. Ada pula catatan penguatan, perencanaan pembelajaran perlu matang agar unsur seni tetap berfokus pada pemecahan masalah, bukan dekorasi semata, serta dukungan sarana prasarana yang memadai, gawai untuk AR, koneksi internet yang stabil, dan bahan proyek yang aman serta mudah diperoleh. Pendampingan literasi digital membantu siswa memilih sumber terpercaya dan menggunakan konten secara etis.
Model ini mudah direplikasi pada tema IPAS lain atau lintas mata pelajaran dengan menyesuaikan proyek dan bahan ajar AR serta mempertahankan prinsip MIKiR. Sekolah dan pemangku kepentingan dapat mendorong pelatihan singkat bagi guru, penyediaan perangkat sederhana, serta forum berbagi praktik baik antarsekolah.
Praktiknya, mulailah dari pertanyaan yang dekat dengan kehidupan siswa, gunakan AR untuk membuka konsep yang sulit, ikat pemahaman melalui proyek nyata, tetapkan rubrik penilaian yang menimbang konsep, proses, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas, lalu sediakan ruang refleksi yang mengaitkan pelajaran dengan kebiasaan hidup sehat.
*Guru SDN Mangunsari 01, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang

