Pati (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menyatakan dukungannya terhadap upaya pelestarian tradisi Meron atau mi'roj (kemenangan) yang digelar sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo.
"Pagelaran tradisi tahunan ini tentunya juga bagian dari merawat budaya lokal yang perlu dijaga di tengah kemajuan zaman. Apalagi tradisi ini berakar dari perjalanan Kerajaan Mataram dan sejarah panjang Kabupaten Pati," kata Bupati Pati Sudewo saat menghadiri tradisi "Meron" di Desa Sukolilo, Pati, Sabtu.
Jika grebeg itu tidak diperkenankan, kata dia, karena milik keraton, maka di sini lahirlah nama "meron" sebagai kekayaan budaya Kabupaten Pati, tidak hanya milik Kecamatan Sukolilo, tetapi juga milik Kabupaten Pati.
Lebih lanjut, Sudewo mengajak masyarakat untuk memetik nilai luhur dari tradisi "meron" dalam kehidupan sehari-hari. Karena perayaan ini bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga memperkuat persatuan, menumbuhkan semangat gotong royong, serta menggerakkan perekonomian rakyat.
"Dengan adanya perayaan 'meron', kita dipersatukan, bisa kumpul, bisa membangun persatuan dan kesatuan, bisa menjaga kedamaian, bisa bergotong royong, dan juga dengan meron ini bisa menghidupkan perekonomian," tegasnya.
Puncak acara peringatan Maulid Nabi di Sukolilo ini dipusatkan di Masjid Agung Baitul Yaqin dan disaksikan ribuan warga dari Sukolilo maupun daerah sekitarnya. Tradisi tersebut ditandai dengan arak-arakan belasan gunungan "meron" yang melambangkan ajaran Islam dan budi pekerti mulia, sesuai dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awwal.
Setiap gunungan Meron berasal dari rumah perangkat desa, mulai kepala desa hingga modin, untuk kemudian ditempatkan berurutan di sepanjang jalan menuju Masjid Agung. Gunungan terdiri dari tiga tingkatan, masing-masing memiliki makna filosofis tentang kewiraan, keislaman, penghormatan, semangat, hingga iman, Islam, dan ikhsan.
Usai prosesi, gunungan dibagikan kepada warga sekitar sebagai simbol kebersamaan dan keberkahan. Tradisi ini dipercaya memiliki makna tersendiri bagi tiap perangkat desa, sehingga warga setempat turut menjaga agar gunungan tetap kokoh hingga akhir prosesi.
Baca juga: Kantor Imigrasi Pati siap buka layanan di Pulau Karimunjawa Jepara

