Solo (ANTARA) - Diskusi pemberantasan korupsi yang digelar oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Marak) di Solo, Jawa Tengah, Jumat membahas pasang surut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu pembicara Prof Dr Adi Sulistiono yang juga Guru Besar Fakultas Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengatakan marwah KPK ibarat mati suri.
Menurut dia, hal itu terjadi seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 19/2019, KPK menjadi lembaga yang digunakan untuk kepentingan penguasa.
"Dulu kekhasan KPK menangani kasus korupsi kepolisian jenderal. Saat itu dilakukan penangkapan dan memperoleh apresiasi tinggi, dampaknya investor tertarik masuk ke Indonesia. Dulu zaman Pak SBY pemberantasan korupsi marak, investor banyak masuk ke Indonesia hingga pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 7 persen," katanya.
Menurut dia, saat ini kondisinya tidak demikian. Bahkan, ia menilai KPK seperti mati suri karena ketuanya dijabat politik aktif.
"Bagaimana mungkin KPK yang dijabat polisi aktif akan menangani korupsi di Kepolisian. Padahal dulu KPK itu menangani kasus-kasus penegak hukum, seperti Polisi, Kejaksaan, partai politik dan sebagainya," katanya.
Belakangan, ia melihat upaya pemberantasan korupsi diambil alih Kejaksaan Agung. Bahkan banyak kasus-kasus besar yang dibongkar Kejaksaaan Agung.
Ia menilai hal ini ada campur tangan Kepala Negara yang tertuang dalam Asta Cita.
"Asta Cita yang ketujuh memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Kalau kita melihat gejala belakangan ini nampaknya politik hukum Presiden sudah mulai nampak. Kalau tidak (campur tangan presiden) pak Jaksa Agung tidak mungkin melakukan langkah-langkah yang progresif," katanya.
Oleh karena itu, ia mengatakan ke depan perlu ada amandemen KPK, di mana fungsi KPK difokuskan untuk menangani korupsi aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim.
"KPK lebih baik ke depan difokuskan menangani korupsi pada penegak hukum, polisi, jaksa, hakim yang dulu sebenarnya sudah dilakukan," katanya.
Pembicara lain yang juga aktivis LSM anti korupsi Alif Basuki mengatakan korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya. Bahkan, ia pesimistis penanganan korupsi di Indonesia akan selesai.
Menurut dia, korupsi terjadi sejak zaman kerajaan, zaman kemerdekaan, reformasi hingga sekarang ini.
"Penahanan korupsi di era zaman kerajaan itu juga mengalami pasang surut, bentuknya tidak jauh beda, misalnya penyalahgunaan pajak atau upeti. Pada masa dulu kerajaan bahwa pejabat kerajaan biasa memungut upeti yang itu melebihi porsi sebenarnya sehingga kalau dikorelasikan dengan hari ini itu tidak beda," katanya.
Selain korupsi, yang juga ada sejak zaman dulu adalah suap. Ia mengatakan di zaman kerajaan, suap terjadi pada pengurusan izin.
Ia mengatakan di masa kini masalah korupsi masih menjadi masalah serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun upaya pemberantasan terus dilakukan, praktik korupsi masih terus terjadi di berbagai sektor dan tingkatan.
Menurut dia, korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan memperburuk kesenjangan sosial.
Terkait hal itu, pemberantasan korupsi membutuhkan sinergi dan kolaborasi antara seluruh elemen penegakan hukum, pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
"Dengan komitmen bersama, upaya pemberantasan korupsi akan lebih efektif dan dapat mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi," katanya.

