Magelang (ANTARA) - Dalam jurnal pribadi, penulis budaya Bre Redana bercerita tentang tokoh aku yang merindukan cahaya menemaninya sepanjang malam. Tidak jelas apakah aku dan cahaya suatu nama tertentu, tetapi dipastikan saja dalam cerita itu mereka pelaku utama.
Meski latar belakang tempat cerita itu di Bangkok, nuansa Jawa nyaris tak terlepas. Cahaya memastikan aku yang dunia wadak tak memahami banyak kegiatan dunia cahaya. Hanya atas kehendak langit yang oleh Bre dikategorikan sebagai wangsit, cahaya muncul. Makhluk wadak tak bisa menghendaki cahaya muncul.
Akan tetapi, cahaya memastikan aku telah merumuskan kemunculannya sebagai pengetahuan nilai budaya dan kearifan lokal tentang ndaru. Wujudnya kelebatan cahaya berwarna kebiruan yang dalam budaya manusia Jawa dianggap adikodrati, sebagai simbol kekuasaan.
Nampaknya ada macam-macam sebutan untuk kemunculan ndaru, cahaya khusus itu, dalam kebudayaaan kekuasaan Jawa. Seorang pemimpin muda Padepokan Warga Budaya Gejayan di kawasan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Singgih Arif Kusnadi (33) menyebut hal tersebut sebagai ilu. Hingga saat ini, ilu masih dipercaya kemunculannya oleh warga kawasan setempat, semisal saat pemilihan kepala desa.
Pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung yang juga budayawan Magelang Sutanto Mendut hendak memudahkan pengertian umum tentang ndaru sebagaimana cerita Bre itu, sebagai pulung. Pulung berperan penting memberikan legitimasi nilai kultural-supranatural diperoleh seseorang sehingga menjadi berwibawa atas suatu hegemoni.
Dalang muda dari Grabag, Kabupaten Magelang, Sih Agung Prasetyo menyebut jagat pedalangan memiliki kekayaan cerita terkait dengan pulung sebagai kekuatan perbawa bagi para tokoh wayang. Ada pemahaman dalam masyarakat Jawa bahwa dunia wayang cermin jagat kehidupan lengkap manusia baik secara kodrati maupun adikodrati.
Pulung sebagai keberuntungan atau anugerah khusus, disebut dia, turun kepada tokoh utama dalam cerita wayang sehingga menjadikan sosok itu memiliki pengaruh terkuat. Mirip-mirip dengan pengertian pulung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Tentu saja, para ahli budaya dan bahasa Jawa memiliki rumusan pengertian dan pemahaman lebih detail atau ilmiah dalam perspektif nilai tradisi budaya atas sebutan-sebutan cahaya khusus, seperti ilu, wahyu, wangsit, atau pulung itu.
Dalam pandangan Sutanto Mendut, agaknya tak ada manusia bisa memastikan telah beroleh pulung karena ia turun dengan sendirinya kepada manusia yang laik. Bre yang tahun ini memperoleh Penghargaan Sastra dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk novelnya terbaru berjudul "Kidung Anjampiani", mengemukakan hanya oleh titah langit maka cahaya muncul.
Hanya dukun peramal mungkin berani memastikan seseorang telah kageman (mengenakan pakaian atau bertahktakan) pulung, sebagai sugesti untuk orang lain mengakui suatu hegemoni. Sosok kandidat penguasa yang rendah hati barangkali tak tega atau bahkan malu mengklaim kageman pulung.
Pencarian manusia terhadap pulung seakan-akan menjadi suatu jalan kesia-siaan, tetapi Sutanto menyebut manusia rendah hati hanya bisa maneges (menegas) tentang kelayakan diri kageman pulung. Hasil yang secara wadak tak kalah penting dari jalan maneges, antara lain, berupa rekam jejak tokoh, pemuka, pemimpin, elite, atau kandidat.
Panggung
Para pengamat politik maupun politikus mengakui adanya panggung depan dan panggung belakang dalam segala dinamika perpolitikan, termasuk untuk suatu pesta demokrasi berupa pemilihan umum.
Panggung depan mungkin boleh dikatakan sebagai segala ihwal yang bisa ditangkap secara kasat indera publik, sedangkan panggung belakang sebagai strategi dan siasat yang dibangun elite politik. Di luar itu, barangkali masuk sebutan isu politik, ujaran, atau bahkan hoaks.
Sejarawan Gregorius Moedjanto (1938-2007) kepada mahasiswanya mengemukakan tentang konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa masa lampau yang antara lain bersumber dari kekuatan adikodrati. Kekuatan tersebut sebagai salah satu sumber kewibawaan kekuasaan di berbagai tataran masyarakat dari tingkat bawah hingga kerajaan.
Antara lain, ia mencontohkan tentang legenda Nyai Roro Kidul dan penguasa mitologi Gunung Merapi dalam alam budaya Jawa yang melegitimasi wibawa penguasa Keraton Yogyakarta. Dengan pencapaian hubungan antara laut di selatan dan gunung itu di utara keraton, hal tersebut memperkuat legitimasi sang raja. Bahkan, ada garis lurus imajiner antara Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, Tugu Yogya, dan Gunung Merapi yang menjadi bagian kuat dari nilai budaya dan hegemoni dalam masyarakat setempat.
Demikian pula dengan kepemilikan macam-macam pusaka yang bukan sekadar sebagai senjata untuk berperang dan menjaga keselamatan diri dari marabahaya, akan tetapi juga menjadi bagian dari panggung belakang penting yang memberikan kageman perbawa kepemimpinan atas seseorang sebagai penguasa.
Sumber-sumber lainnya, seperti peristiwa alam yang dianggap berskala besar dan pulung, juga menjadikan seseorang dianggap kageman perbawa hegemoni itu.
Pada era modern politik kekuasaan sebagaimana salah satu praktiknya berupa pesta demokrasi sekarang ini, seakan makin tak lagi dikenal peranan panggung belakang berupa daya-daya adikodrati bersumber dari kisah turun-temurun, silsilah, pulung, perbawa pusaka-pusaka tradisional, dan pengalaman bersama masyarakat tradisional terkait dengan kekuasaan.
Masyarakat yang makin rasional dan modern menghadirkan praktik pesta demokrasi dengan semestinya semakin masuk akal pula, salah satunya berbasis data. Bahkan hanya kandidat yang rasional memiliki akses terkuat meraih tampuk kekuasaan.
Kalau masih ada kandidat menyatakan kepercayaan kepada pulung untuk kekuasaan yang hendak diraih, mungkin ia akan dianggap penganut paham tidak rasional atau bahkan percaya klenik. Boleh dipastikan, ia terjauhkan dari masyarakat rasional sekarang.
Publik zaman sekarang mungkin akan lebih bisa berterima, bila ia mengklaim kageman amanah dari Penguasa Jagat Raya yang turun melalui suasa-suara dikonversi menjadi angka-angka pemilih.
Ukuran-ukuran kageman telah berubah dari adikodrati terkesan irasional menjadi nalar modern yang rasional, bisa berupa survei keterpilihan, rekam jejak, jenjang pendidikan formal, karier, pengalaman berkuasa, atau berbagai alasan ilmiah lainnya, seperti visi, misi, serta program kerja yang ditawarkan.
Meski demikian, kerja maneges kandidat penguasa era sekarang tetap membutuhkan bangunan perbawa dari bayang-bayang pencitraan, pemanfaatan masif jagat maya, dan intensitas bermedia sosial secara responsif dengan dukungan pemengaruh serta pendengung.
Demikian pula maneges lainnya, dengan menghadirkan pentingnya peranan tim sukses, partai politik pengusung, pendukung di berbagai lapisan ring, relawan, dan tim survei bayaran, untuk bekerja keras di lapangan riil mengantar sang jago dikerubungi angka suara pemilih sebanyak-banyaknya sehingga dinyatakan menang pesta demokrasi.
Wibawa pulung diakui publik atas penguasa zaman tradisional telah berubah menjadi perbawa angka suara pemilih yang diraih kandidat penguasa era modern.
Hingga saat ini, perbawa angka-angka tersebut masih sayup-sayup berkelebatan nun jauh di langit. Dengan segala siasat sebagaimana rekayasa hujan dengan teknologi modern, pada waktunya angka-angka itu turun menjadi kageman amanah bagi yang terpilih dalam pemilihan rasional.
Lalu ke mana pulung itu pada zaman sekarang? Masih dianggap ada atau tidak ada, nampaknya ia telah bertransformasi untuk suatu perbawa bagi yang memang layak kageman.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pulung masih berkelebat di langit pesta demokrasi