Jakarta (ANTARA) - Dosen IPB University dari Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Husnawati mengungkapkan pengaruh rasa lapar terhadap perilaku seseorang yang menjadi gampang marah.
"Marah merupakan respons emosional yang kuat yang muncul ketika tubuh merasa menghadapi ancaman atau bahaya. Pada kondisi tersebut, sumbu hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) di otak akan teraktifkan, dan memicu respons melawan atau lari (fight or flight)," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Husnawati mengatakan bahwa kombinasi rasa lapar dan amarah merupakan respons emosional yang rumit yang melibatkan interaksi biologi, kepribadian, dan isyarat lingkungan.
“Sistem limbik di otak adalah pusat dari segala emosi baik itu marah, takut, dorongan seksual, dan lainnya. Di sini emosi diterjemahkan secara biokimia dan diberi label sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian memicu dikeluarkannya hormon senang atau hormon stres,” katanya.
Pada beberapa orang, kata Husnawati, rasa lapar dapat dianggap sebagai ancaman bagi tubuh, sehingga muncullah kondisi “hangry” atau rasa marah yang muncul ketika seseorang mengalami lapar.
"Rasa lapar yang berkepanjangan membuat tubuh menjadi stres, dan dikeluarkanlah hormon kortisol yang merupakan hormon stres," katanya.
Husnawati mengatakan kondisi stres yang dirasakan tubuh menyebabkan penurunan kadar hormon serotonin yang memiliki peran penting dalam mengatur suasana hati. “Kadar serotonin yang rendah sangat berkaitan dengan munculnya rasa marah dan kecenderungan ke arah perilaku kekerasan,” ujarnya.
Di sisi lain, berdasarkan kepribadian dan pengaruh lingkungan, perilaku emosi karena makanan terbentuk sejak masa kanak-kanak, dan sangat terkait dengan pengalaman masa kecil.
Menurut teori psikosomatis, kata Husnawati, rasa emosional yang muncul karena lapar merupakan respons terhadap perasaan negatif, seperti stres, kecemasan, kekecewaan, dan perasaan kesepian.
"Seseorang yang tinggal di lingkungan yang memperebutkan makanan sebagai usaha untuk bertahan hidup, akan sangat mudah mengalami 'hangry'," katanya.
Husnawati menambahkan tingkat kesadaran emosional seseorang juga memengaruhi munculnya “hangry”. Orang yang kesadaran emosionalnya lebih berkembang, akan sadar bahwa rasa lapar dapat terwujud sebagai emosi negatif, sehingga mereka bisa mengontrolnya dan cenderung tidak menjadi “hangry”.
“Pada umat muslim, ada fase di mana seseorang diajarkan untuk mengelola emosi dari rasa lapar, yaitu saat berpuasa," katanya.
Dokter yang juga bertugas di Unit Kesehatan IPB University ini mengatakan ketika seseorang berpuasa, selain mengatur dan mengaktifkan metabolisme tubuh yang jarang dipakai, seperti pengaturan pergantian kerja hormon insulin dan glukagon, puasa juga berfungsi untuk mengajarkan tubuh bahwa rasa lapar yang terjadi pada waktu pendek di bawah 20 jam bukanlah ancaman atau bahaya bagi tubuh.
“Sehingga orang-orang yang terbiasa berpuasa akan merespons rasa lapar dengan emosi yang netral atau malah positif,” katanya.
Oleh karena itu, kata Husnawati, rasa lapar yang menyebabkan munculnya kemarahan hanya terjadi pada orang-orang yang menganggap lapar sebagai ancaman bagi dirinya, dan adanya faktor kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Berita Terkait
Mahasiswa KKN-T IPB kolaborasi Kemenko PMK bebaskan stunting di Banyumas
Minggu, 28 Juli 2024 14:18 Wib
Pemkot Pekalongan minta IPB maksimalkan pengembangan potensi lokal
Selasa, 25 Juni 2024 7:43 Wib
Peringkat UNS ungguli Undip dan IPB versi THE Asia
Rabu, 8 Mei 2024 21:37 Wib
Membangun ekosistem biomassa menuju energi yang ramah lingkungan
Sabtu, 9 Maret 2024 9:00 Wib
IPB dan PLN Group gandeng Bumdes kembangkan ekosistem biomassa di Cilacap
Kamis, 7 Maret 2024 15:52 Wib
Dirkeu LKBN ANTARA raih gelar Doktor Manajemen Bisnis
Kamis, 21 Desember 2023 17:23 Wib
Presiden Jokowi: Jangan takut dengan kecerdasan buatan
Jumat, 15 September 2023 13:13 Wib
Sekolah Vokasi UNDIP dan IPB kembangkan pendidikan vokasional
Jumat, 17 Maret 2023 16:28 Wib