Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia pada Rabu (22/5) membatasi akses ke media sosial serta aplikasi pesan, terutama untuk foto dan video, demi mengurangi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian setelah kericuhan terjadi di beberapa lokasi di Jakarta.
Setelah beberapa hari susah diakses, Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Sabtu siang akhirnya menyatakan media sosial sudah bisa digunakan lagi. Warganet pun bisa menggunakan media sosial seperti sedia kala.
Baca juga: Akses media sosial pulih sepenuhnya
Media sosial yang menjadi tempat berkomunikasi, mencari informasi terbaru dan terkini, kenyataannya juga digunakan oleh warganet untuk menyebarkan berita palsu, hoaks dan ujaran kebencian.
Sejauh ini, sejumlah penyelenggara media sosial telah berupaya aktif mencegah hoaks di platform mereka. Ini cara mereka untuk mengenali dan menahan agar berita bohong tidak menyebar.
Twitter
Platform mikrobolog ini mengakuisisi perusahaan rintisan Smyte pada 2018 lalu untuk mengenali ujaran kebencian, spam dan isu keamanan. Twitter mengupayakan percakapan yang organik di platform mereka.
Pada akhir 2018, Twitter secara global menangguhkan 70 juta akun yang dianggap sebagai akun manipulatif. Menjelang pemilu di sejumlah negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, Twitter memperbarui sejumlah aturan mereka agar percakapan yang sehat tetap terjadi dan aktivitas akun palsu dapat dikurangi.
Twitter pada April lalu mengumumkan mereka memperkuat aturan mereka, mencakup untuk akun peniru atau akun yang dibuat untuk menggantikan akun yang sudah ditangguhkan
Mereka mengembangkan machine learning untuk mengidentifikasi konten yang tidak sesuai dengan kebijakan mereka, termasuk akun spam dan akun bot.
Twitter juga memiliki tim yang terdiri dari penutur bahasa asli untuk memahami konteks lokal, baik untuk aspek sosial dan politik, untuk dapat memahami percakapan publik di Twitter.
Platform ini juga masih memberlakukan sistem flagging atau pelaporan langsung dari pengguna untuk konten atau akun yang bermuatan negatif.
Facebook
Facebook, sebagai media sosial yang paling sering digunakan di Indonesia, turut berbenah menjelang pemilu dalam memberantas akun palsu. Facebook melihat ada masalah yang lebih kompleks dari akun palsu, yaitu akun atau perilaku yang tidak otentik dan terorganisir.
Akun tidak otentik yang terorganisir sebagai sekumpulan orang atau laman yang menciptakan pemahaman yang kurang tepat kepada publik, baik mengenai apa yang mereka lakukan maupun identitas mereka.
Jumlah aktor jahat seperti ini dalam piramida komunikasi media sosial sangat sedikit, namun mereka memiliki teknik manipulasi yang canggih dalam mengolah opini mereka ke publik.
Akun tidak otentik lebih sulit dikenali dibandingkan akun palsu sehingga Facebook perlu investigasi lanjutan untuk mendeteksi akun-akun seperti itu. Akun tidak otentik, menurut Facebook, harus ditangani karena dapat mempengaruhi narasi politik dan menciptakan pemahaman yang kurang tepat bagi publik.
Facebook sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah organisasi di Indonesia untuk menjadi mitra pengecek fakta (fact checker) untuk mengidentifikasi hoaks. Jika konten ditandai sebagai hoaks oleh fact checker, Facebook akan mengurangi distribusi konten tersebut.
Sementara untuk WhatsApp, sejak awal tahun ini Facebook sudah membatasi jumlah pesan yang dapat diteruskan (forward) untuk mengurangi penyebaran berita bohong di platform pesan instan tersebut. Pengguna juga bisa melaporkan akun atau grup WhatsApp melalui fitur "report" atau "laporkan" dalam aplikasi tersebut.
Google
Google Indonesia sebelum pemillu juga sudah menyiapkan sejumlah langkah agar platform mereka tidak menjadi tempat penyebaran hoaks menjelang pesta demokrasi.
Google menggandeng pengecek fakta cekfakta.com untuk menampilkan artikel berita di Google News, terutama untuk berita-berita yang berkaitan dengan pemilu.
Baca juga: Kominfo catat 30 hoaks tersebar di 1.932 laman selama ricuh 21-22 Mei