Magelang (ANTARA) - Ketika kunjungan ke Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang akhir pekan lalu, Calon Presiden nomor urut 01, Joko Widodo berdialog diselingi canda di hadapan publik dengan seorang santri.
Selembar kertas diberikan santri bernama Bisri Mustofa itu kepada Jokowi dengan salah satunya bertuliskan "Jangan lupa bahagia". Jokowi pun meluncurkan sejumlah pertanyaan untuk menggali maksud tulisan yang terkesan datar-datar saja, namun bermakna cukup dalam itu.
Bagi santri remaja dengan panggilan Bisma itu, setidaknya ada sejumlah alasan atas tulisannya, yakni terkait dengan bahagia karena sejak 2014 telah ditetapkan Hari Santri setiap 22 Oktober, bahagia karena manusia terlahir di dunia, dan bahagia karena menjalani kehidupan religius.
Namun, pembaca tulisan pendek "Jangan lupa bahagia" bertepatan dengan puncak tahun politik ini, boleh jadi tersentak kesadarannya tentang pesta demokrasi yang harus dijalani secara bahagia pula. Terlebih menjelang hari pemilihan, 17 April mendatang, di mana saat ini telah memasuki masa kampanye terbuka.
Dengan suhu politik makin panas, perbedaan kecenderungan pilihan makin tajam, kian marak hoaks, semakin riuh ujaran kebencian dan hujatan saling merendahkan antarkubu pendukung, bisa-bisa yang terjadi malah pesta demokrasi membuat sedih, prihatin, "ngelus" dada, dan lupa atau bahkan membuat bahagia hengkang.
Pemilihan umum untuk memilih pemimpin terbaik di antara yang baik, atau bahkan diperspektifkan memilih sosok terbaik di antara para kandidat yang buruk. Franz Magnis Suseno mengemukakan pemilu untuk menghadang figur pemimpin buruk agar jangan berkuasa.
Pemahaman tentang pentingnya suara rakyat dalam pemilu, supaya mereka yang berhak memberikan suaranya, tidak memutuskan golput (golongan putih). Satu suara pemilih sebagai bagian penting bagi kekuatan penentu kepemimpinan pemerintahan, serta arah lebih baik bagi kehidupan bersama berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan pemilu, digaungkan harapan agar berlangsung dalam suasana aman, lancar, dan damai, di mana pemilih memberikan suaranya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semua elemen bangsa bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan.
Jajaran komisioner pemilihan, antara lain menyiapkan segala sesuatu dengan berbagai tahapannya demi kelangsungan pemilu, sedangkan personel pengawasan dengan jajarannya melaksanakan berbagai tugas pengawasan agar pemilu tetap berjalan di relnya.
Begitu juga dengan pemerintah berperan dalam tugas bagi kelangsungan pemilihan, termasuk menyangkut penganggaran dan menjaga netralitas aparatur, sedangkan pihak keamanan mewujudkan pemilu dengan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat yang tetap kondusif.
Siapa penjamin ajang lima tahunan demokrasi menjadi pesta yang bahagia? Pilkada DKI Jakarta yang sarat dengan praktik politik identitas beberapa waktu lalu kiranya tetap menjadi catatan penting, supaya tidak terjadi dalam pemilu tahun ini dan yang akan datang.
Ihwal pesta demokrasi yang membahagiakan bukan hanya milik pihak pemenang pemilu, namun milik semua kalangan masyarakat dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Setelah pemilu, baik kubu kalah maupun menang, tetap saja sebagai warga yang harus melanjutkan kehidupan bersama dalam kesatuan bangsa dan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, tanggung jawab dan peranan mewujudkan pemilu yang tidak menyingkirkan nilai-nilai bahagia, menjadi milik setiap warga negara, warga bangsa.
Bahkan, termasuk warga yang saat ini belum berhak memberikan suara pilihan pun, berkesempatan bahagia karena meraih waktu puncak terbaik untuk menjalani pendidikan politik sejak dini, bagi kepentingan kehidupan demokrasi Indonesia yang makin dewasa.
Jaminan pemilu tahun ini yang membahagiakan ada di tangan-tangan bernurani setiap warga. Generasi yang harus melewati pemilu tahun ini, mengemban amanah menarasikan pemilu bahagia kepada generasi bangsa pada masa mendatang.
Bayangkan saja, kalau kelak setiap generasi penerus bangsa harus bertutur sedihnya pemilu tahun ini karena masifnya hoaks, kentalnya ujaran kebencian, dan kumuhnya sikap saling menjatuhkan antarkubu pendukung. Tentu, itu hal yang bertolak belakang dari kisah bahagia.
Sejarah memang mempunyai nilai kearifan. Pengalaman dan kisah buruk menjadi pelajaran hidup supaya tidak terulang. Kita diharapkan tidak merepotkan generasi mendatang dengan pekerjaan memilah, memverifikasi, dan memvalidasi narasi sedih atas pemilu tahun ini untuk perjalanan hidup berbangsa dan bernegara kelak.
Namun, sejarah juga memancarkan pesan kegemilangan bagi kehidupan masa mendatang dengan mengapitalisasi pengalaman dan narasi kemuliaan-kejayaan, guna mewujudkan kehidupan bahagia pada masa mendatang. Dan kita ingin menjadikan diri ini sebagai generasi yang menorehkan monumen inspirasi bahagia atas pesta demokrasi.
Puncak pesta demokrasi tahun ini makin dekat. Tulisan dari santri itu inspiratif, historis, dan visioner. Pesan "Jangan lupa bahagia", jangan dilupakan!
Berita Terkait
Yoyok Sukawi: Dua adalah angka perjuangan Prabowo di Pilpres
Selasa, 24 September 2024 10:41 Wib
Penjabat Gubernur Jateng sebut pilkada lebih rawan ketimbang pilpres
Kamis, 27 Juni 2024 8:54 Wib
Survei : Elektabilitas Siti Atikoh ungguli Taj Yasin
Kamis, 20 Juni 2024 23:16 Wib
Ini tanggapan Gibran usai putusan MK
Senin, 22 April 2024 20:32 Wib
Tim Prabowo-Gibran berharap MK tolak gugatan PHPU Pilpres
Senin, 22 April 2024 8:39 Wib
Anies-Muhaimin doakan hakim MK sebelum baca putusan sengketa Pilpres
Senin, 22 April 2024 8:38 Wib
Empat menteri hadir di MK untuk memberikan keterangan pada sidang lanjutan perkara PHPU
Jumat, 5 April 2024 8:51 Wib
Dini sebut menteri tak perlu izin presiden untuk penuhi panggilan MK
Selasa, 2 April 2024 9:49 Wib