Presiden Abdel Fattah al-Sisi menandatangani sebuah undang-undang pada Minggu (16/8) yang akan memperluas kekuasaan pengawasan pemerintah.
Langkah itu menurut kritikus akan memberangus perbedaan pendapat, bahkan kini banyak mendulang kritik dari masyarakat.
Aktivis hak asasi manusia telah menuduh rezim pimpinan Sisi semakin represif.
"Kami prihatin bahwa beberapa langkah-langkah hukum baru anti terorisme Mesir bisa memiliki dampak merugikan yang signifikan pada hak asasi manusia dan kebebasan fundamental," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri John Kirby.
Kirby menegaskan kembali bahwa Washington tetap berdiri bersama dengan Mesir dalam perang melawan teror.
Ia juga menggaungkan komentar yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri John Kerry pada dialog strategis di Kairo awal bulan ini, tempat Kerry menyerukan telah menemukan keseimbangan antara kontra terorisme dan hak asasi manusia.
"Mengalahkan terorisme memerlukan jangka waktu panjang, strategi komprehensif yang membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat, termasuk dengan memungkinkan mereka yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk mengekspresikan pandangan mereka secara damai dan melalui partisipasi dalam proses politik," tambah Kirby.
Undang-undang baru tersebut datang setelah serangkaian serangan terhadap militer dan polisi oleh militan "Sinai Province", kelompok lokal yang berafiliasi dengan ISIS.
Setelah beberapa bulan penuh gejolak, Washington dan Kairo tampaknya telah memulihkan kembali hubungan mereka dengan dimulainya kembali bantuan militer Amerika Serikat pada Maret lalu sebesar 1,3 miliar AS per tahun yang sebagian besar untuk memerangi terorisme.