Pameran oleh enam pelukis yang pada masa lalu bergabung dalam komunitas Pelukis Muda Borobudur itu, yakni Suitbertus Sarwoko, Robertus Sutopo, Hatmojo, Wahudi, Widoyo, dan Yogi Setyawan itu. Pameran berlangsung pada 13 April hingga 31 Mei 2014 di Rumah Seni Lukis Banyu Bening Borobudur, persis di depan Pintu VII PT Taman Wisata Candi Borobudur.
Sekitar 13 karya baru dan 12 karya lama dipajang pada pameran di tempat yang dikelola oleh salah satu di antara pelukis itu, Sarwoko. Berbagai karya baru, mereka buat antara 2012-2014, sedangkan karya lama pada dekade 1980-1990.
Sejumlah karya baru, antara lain berjudul "Water is Life" (Sarwoko), "Wise and Loyal" (Sutopo), "Menjaga Keseimbangan Alam" (Hatmojo), "Jendra Hayuningrat" (Wahudi), "Asu Gedhe Menang Kerahe, Asu Tuwo Menang Jegogane, Kakehan Asu Rusak Negarane" (Yogi Setyawan), dan "Bulan Madu" (Widaya).
Beberapa karya lama mereka, antara lain berjudul "Tandur" (Sutopo), "Relief" (Widaya), "Potret Mbah Darmotioso" (Wahudi), "Ada Yang Masih Tersisa" (Sarwoko), dan "Cermin Diri" (Yogi Setyawan). Seorang anggota mereka pada masa lalu, yang saat ini menjadi staf PT Taman Wisata Candi Borobudur, A.G. Adiwinarto, juga memajang karyanya pada 1991, berjudul "Persembahan".
Pameran dibuka oleh pemilik galeri Syang Art Space Kota Magelang L. Ridwan Muljosudarmo, antara lain dihadiri para seniman, pemerhati budaya, penikmat seni, seperti Sutanto Mendut, Ariswara Sutama, Umar Chusaeni, Deddy PAW. Selain itu, dimeriahkan performa tari tunggal oleh penari kawasan Candi Borobudur Eko Sunyoto dan pentas musik oleh grup "Suara Lare" Borobudur.
Pameran bersama, pernah mereka lakukan dalam formasi komunitas Pelukis Muda Borobudur pada 22-28 Mei 1996 di Bentara Budaya Yogyakarta. Maesto pelukis H. Widayat menorehkan catatannya dalam pameran mereka bertajuk "Ragam Pelukis Muda Borobudur" ketika itu. Dalam pameran "Reuni", catatan Widayat (almarhum) kala itu, dihadirkan kembali melalui katalog.
"Melihat karya-karya mereka hasilkan, dapat saya katakan bahwa mereka secara menyeluruh, mempunyai bakat seni yang dapat diharapkan, bahwa nantinya mereka akan menjadi seniman-seniman andal yang dapat ikut mengisi menyemarakkan dunia seni rupa Indonesia di kemudian hari," demikian penggalan catatan Widayat.
Pesan Widayat ketika itu, mereka antara lain harus terus menerus berkarya, banyak membaca buku tentang riwayat seniman besar dunia dan mempelajari karyanya, rajin mengunjungi berbagai pameran seniman yang bergengsi dan diakui, serta menyimak berbagai kritik seni.
Selain itu, Sang Maestro juga berpesan kepada mereka untuk menyimpan karya-karya itu, baik berupa sket di atas secarik kertas maupun karya lukis di kanvas, diberi tanda tangan dan tahun pembuatan karena kelak menjadi dokumentasi yang tidak ternilai harganya.
Sarwoko menyatakan, sejak akhir era 1990-an hingga saat ini, mereka yang berpameran bersama "Ragam Pelukis Muda Borobudur" itu, kemudian meniti kehidupan masing-masing dengan tetap tidak melepas diri dari dunia seni rupa.
Ketika itu, total jumlah anggota Pelukis Muda Borobudur mencapai belasan orang, khususnya yang tinggal di kawasan Candi Borobudur. Beberapa lainnya, kemudian meniti jalan hidup di luar seni lukis.
Catatan perjalanan berkarya oleh enam pelukis itu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam pameran dengan para pelukis di berbagai kota, telah semakin panjang. Demikian pula, masing-masing telah menerima berbagai penghargaan atas karya-karya mereka selama ini.
Yogi menyebut pameran "Reuni" sebagai muara hati enam pelukis. Komunitasnya pada masa lalu, telah menjadi pembuka catatan sejarah berkomunitas para pelukis kawasan Candi Borobudur.
"Kami mendapatkan muara hati melalui pameran ini, kami harapkan makin membangkitkan semangat untuk terus berkarya," katanya.
Di depan karyanya pada 1987 berjudul "Tandur" yang dipajang di Rumah Seni Lukis Banyu Bening Borobudur itu, Sutopo bertutur panjang lebar tentang gereget pelukis muda waktu itu dalam membangun kebersamaan dan berkarya.
Pelukis muda Borobudur juga memperoleh dukungan untuk menekuni dunia berkesenian, seperti dari maestro pelukis Widayat, budayawan Ariswara, dan kebersamaan berkarya seni dengan Sutanto Mendut.
Para seniman dan budayawan itu, katanya, sering bertandang ke sekretariat Pelukis Muda Borobudur yang saat ini menjadi Rumah Seni Lukis Banyu Bening Borobudur itu, untuk berdiskusi dan berdialog tentang berkesenian, terutama seni lukis.
Selain itu, katanya, anggota kelompok itu juga bergelora untuk berkarya bersama-sama secara "on the spot" pada era 1993-1994, antara lain di Bukit Dagi, dekat Candi Borobudur, melukis pemandangan kawasan Candi Borobudur dari Desa Ngadiharjo dan Majaksingi.
"Kami manfaatkan apa saja yang ada untuk berkarya, pakai kertas bekas dari Balai Konservasi Borobudur, hanya dengan cat air juga pernah. Yang penting berkarya. Pak Widayat pernah berpesan, 'Yang penting nyoret, tidak usah berpikir 'payu' (laku, red.)," katanya.
Kalau mereka bersama-sama menggelar pameran lagi dalam tajuk "Reuni", tentu terngiang memori masing-masing tentang gereget kebersamaan masa lalu dan semangat untuk meniti kehidupan kesenimanan melalui karya mereka terus menerus.
"Pameran ini 'ngumpulke balung pisah' (Mengumpulkan tulang yang terpisah, red.). Kami masih ada dan terus berkarya," kata Sarwoko.
Budayawan Borobudur Ariswara Sutama selain mengapresiasi pameran bersama mereka lagi itu, juga bertutur tentang masa muda mereka dalam meniti kehidupan sebagai pelukis, termasuk kebiasaan mereka datang ke rumahnya di dekat pagar PT TWCB.
Ketika itu, mereka disebut Ariswara yang penulis buku "Temples of Java" itu, sebagai seniman muda yang sederhana dengan beretiket yang terpuji.
"Pameran kali ini menunjukkan bahwa mereka membuktikan keberanian terus menerus berkarya dan mengolah hidup kesenimanannya. Kelak, juga akan muncul generasi muda seniman yang andal dari Candi Borobudur," katanya.
Pameran "Reuni" mereka itu, diharapkan menggugah kalangan muda kawasan Candi Borobudur untuk secara tangguh, menekuni panggilan merenangi jagat seni rupa.
Apalagi di dekat mereka berada, adalah Candi Borobudur, warisan peradaban dunia dengan kekayaan nilai kemanusiaan yang universal. Ia adalah sumber inspirasi yang tak bakal kering untuk ditimba, menjadi karya besar seni rupa.