Ia memutuskan hadir menjadi pembicara seminar tentang seni pertunjukan di sekolah swasta di dekat alur Kali Pabelan, Kecamatan Sawangan yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi. Sungai itu, sejak akhir 2010 hingga saat ini menjadi salah satu jalur aliran banjir lahar dari puncak Merapi.
"'Iki gek kon ngomong tentang kesenianku. Nggo pendidikan SMP Santa Maria. Aku ra isa melu rapat, tapi wis ijin ro sing ngundangi'," katanya dalam bahasa Jawa "ngoko", melalui layanan pesan singkat yang kira-kira maksudnya bahwa dia sedang menjadi pembicara seminar pertunjukkan di sekolah itu sehingga tidak bisa mengikuti rapat komunitas.
Sekolah itu, bukan tempat Sujono--nama lengkap Jono--mereguk salah satu jenjang pendidikan formal pada masa lalunya. Akan tetapi, Jono tinggal di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, relatif tak jauh dari sekolah tersebut.
Dia saat ini memimpin Sanggar Saujana Keron, tempat para pemuda dan seniman petani menghidupi dunia kesenian kontemporer dusun, penguat kehidupan harian warga setempat sebagai petani hortikultura di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu. Jono juga sebagai pencipta wayang gunung, berwujud aneka satwa, yang beberapa bulan lalu dipentaskan perdana di Bentara Budaya Jakarta.
Jono yang juga perupa ikut terlibat dalam pengembangan seni budaya yang menjadi kegiatan unggulan dalam pembelajaran secara integral yang diselenggarakan oleh pengelola sekolah di bawah Yayasan Perkumpulan Dharmaputri tersebut.
Dia menjadi satu di antara tujuh pelaku dan institusi yang menerima penghargaan dari sekolah itu, berupa "Stamasa Award", bertepatan dengan Lustum Ke-7 SMP Santa Maria Sawangan (Stamasa), yang saat ini dipimpin oleh L. Sutikno.
Enam lainnya peraih penghargaan itu, Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang dipimpin Sitras Anjilin dengan basis kesenian wayang orang, Ki Hadi Susanto, dalang wayang kulit yang tinggal di Dusun Talaman, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, karena tekun melatih anak-anak muda menjadi pewaris jagat pakeliran.
Selain itu, Peguyuban Seni Jimat Kalimasada Dusun Nglulang, Desa Krogowanan yang dipimpin Ari Wibowo. Peguyuban yang mengembangkan tarian tradisional, terutama topeng ireng itu, juga mewariskan tarian tersebut kepada anak-anak Sekolah Santa Maria Sawangan.
Penghargaan juga diberikan kepada Desa Krogowanan karena masyarakat dengan dukungan pemerintah desa, bertekun dalam menghidupi kesenian tradisional. Desa itu, sejak akhir 2013 dipimpin oleh Sugiyono yang juga alumnus sekolah itu pada tahun 1983. Tiga anaknya, saat ini juga menempuh pendidikan di sekolah tersebut.
Dia memang mendaku bahwa wilayah setempat sebagai "Desa Budaya" karena cukup banyak ragam kesenian tradisional dan tradisi budaya yang hingga saat ini terus dihidupi oleh masyarakatnya di berbagai dusun.
Sekolah itu, juga memberikan "Stamasa Award" kepada Sekolah Dasar Negeri 1 Butuh, Kecamatan Sawangan yang saat ini dipimpin oleh Sri Hendratmo karena dinilai konsisten membina anak didiknya dalam menghidupi kesenian tradisional, seperti tari gareng ngamuk, topeng edan, payung bondan, gambyong, topeng ireng, dan kuntulan.
Penghargaan juga diberikan kepada Lembaga Pelatihan Jurnalistik Bernas (LPJB) Yogyakarta pimpinan Y.B. Martantoro karena hingga saat ini bertekun dengan program pelatihan dan pendampingan terhadap para peminat dunia kepenulisan di media massa, termasuk para siswa sekolah tersebut.
"Stamasa Award" berupa trofi berwarna kuning keemasan adalah karya Ismanto yang juga lulusan SMP Santa Maria Sawangan. Dia hingga saat ini bertekun secara autodidak sebagai perupa dan pematung di kawasan Gunung Merapi di Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Hadir pada kesempatan penyerahan penghargaan bertepatan dengan peringatan 35 tahun sekolah itu, antara lain budayawan Magelang, Sutanto Mendut, Kepala Seksi Kesenian Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang Jumali, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kecamatan Sawangan Sumardi, seorang petinggi Komunitas Lima Gunung Magelang Riyadi, para suster pengelola yayasan pendidikan itu, siswa, alumnus, dan pemuka masyarakat setempat.
Rangkaian kegiatan peringatan itu telah berlangsung sejak Sabtu (18/1), sedangkan puncaknya pada hari Senin (20/1), antara lain ditandai dengan pemberian "Stamasa Award", misa kudus secara konselebrasi, pentas wayang kulit pakeliran padat dengan lakon "Wiratha Purwa" oleh dalang muda, Ki Bayu Setiawan. Ki Bayu alumnus sekolah itu pada tahun 1996 dan salah satu murid pedalangan Ki Hadi Susanto.
Selain itu, peluncuran buku "Mengolah Seni, Menggali Potensi", berupa kumpulan tulisan para guru dan karyawan sekolah tersebut.
Jumali menyebut keakraban anak-anak setempat dengan dunia kebudayaan dan kesenian terus berkembang, antara lain melalui peran penting sekolah itu.
"Sekolah berupaya dengan sungguh-sungguh mengimbangi materi pelajaran yang akademis dengan kesenian," katanya.
Sugiyono menyebut peran penting sekolah itu dalam pelestarian seni budaya karena memang sejak dahulu kala berkembang berbagai kesenian tradisional, seperti jatilan, pedalangan, dan reog.
Pihak sekolah juga menyadari bahwa di lingkungan sekitarnya sejak dahulu berkembang subur khazanah kebudayaan dan kesenian tradisional.
Hingga saat ini, pimpinan sekolah melibatkan para guru dan pemuka kelompok kesenian tradisional di sekitarnya dalam membuka ruang dan waktu untuk anak didik belajar berkesenian, seperti gamelan, rebana, kulintang, tarian topeng ireng, gambyong, jatilan, dan tarian kontemper desa.
Pada berbagai pementasan kesenian di dusun-dusun dan hajatan masyarakat setempat, pihaknya mendapat kesempatan unjuk kemampuan berolah seni yang dihidupi di sekolahnya.
"Seniman rakyat dengan para tokohnya cukup banyak yang alumnus dari SMP ini," kata Sutikno yang juga alumnus sekolah itu, yang sebelumnya bernama SMP Farming.
Jumlah siswa sekolah itu pun cenderung mengalami peningkatan dari 147 anak pada lima tahun lalu, menjadi 213 siswa pada tahun 2013.
Tim akreditasi sekolah, pada akhir tahun lalu juga menilai bahwa sekolah tersebut selain mengutamakan pendidikan akademik, juga mementingkan para muridnya mengembangkan diri dalam olah kesenian.
Pihaknya menyadari bahwa budaya daerah menjadi sumber kecerdasan dan kearifan. Untuk itulah, sekolah di kawasan tepi alur Kali Pabelan tersebut menguatkan peran pendidikan untuk anak-anak.
"Kami menyadari bahwa di lingkungan sekolah ini, masyarakat menghidupi kekayaan budaya lokal dan kesenian tradisional. Untuk itulah, kami menguatkan eksistensi sekolah ini," kata Sutikno.