Jenazah Slamet Gundono yang lahir 19 Juni 1966 sebelum dibawa ke Slawi terlebih dahulu disemayamkan di pendapa Taman Budaya Jawa Tengah di Kentingan Solo untuk diberikan penghormatan terakhir oleh para seniman dan budayawan dari Solo dan Yogyakarta.

Setelah selesai diberikan penghormatan dan tata cara adat jenazah Slamet Gundono yang juga terkenal sebagai dalang sintren itu pada pukul 17.00 WIB dengan kendaraan darat diberangkatkan menjuu Slawi.

Seniman dan budayawan Bambang Murtiyoso mengatakan dengan ditinggalnya dalang kondang Slamet Gundono merasa kehilangan, karena almarhum mempunyai potensi yang luar biasa.

"Slamet Gundono itu memang dalang serba bisa dan mempunyai kreativitas yang luar bisa dan suaranya juga bagus," kata dosen almarhum ketika masih kuliah di Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu.

Ia mengatakan Slamet Gundono ketika kuliah memang sudah menonjol dibandingkan dengan mahasiswa lainnya, utamanya pada suaranya yang mengekspresikan nada rendah sampai tinggi.

Almarhum Slamet Gundono ini juga mempunyai latar belakang dari teater, sehingga dalam meragakan wayang juga bisa mengekpresikan wayang terbut dari "barang mati bisa seperti hidup dan ini kelebihannya yang tidak semua dalang memilikinya," katanya.

Pengamat budaya MT Arifin mengatakan almarhum selain menjadi dalang wayang suket juga merupakan dalang sintren yang merupakan keturunan dari kakeknya yang dulu juga merupakan dalang sintren.

"Dalang Sintren ini tidak semua orang bisa melakukan dan almarhum Slamet Gundono merupakan tokoh di daerahnya yang sekaligus merupakan dalang sintren yang terakhir saat ini. Untuk itu wajar kalau warga daerahnya menghendaki jenazah alamrhun untuk dimakamkan di tempat kelahirannya, karena budaya sintren di sana masih kuat," kata dia.

Ia mengatakan Slamet Gundono banyak membuiat kejutan dalam seni pedalangan, yakni sempat membuat kejutan pada pentas Greget Dalang di Solo beberapa tahun lalu dalang ikut menari di atas panggung.

"Seketika itu almarhum Slamet Gundono mendapat protes karena dalang yang tampil dan ikut menari di atas panggung melanggar pakem (aturan) yang ada dan untuk jalan tengahnya sekarang ini mengundang pelawak-pelawak yang menari di panggung," katanya.

Ki Mantep Sudarsono yang terkenal dengan sebutan dalang Oye juga mengakuinya bahwa almarhum merupakan dalang serba bisa. "Slamet Gundono itu tidak hanya bisa mendalang dengan media wayang suket, tetapi dengan gaya lainnya juga mahir apalagi dengan gaya tradisional juga tidak kalah dengan dalang-dalang senior lainnya," katanya.

Butet Kertanegara yang membacakan biografi singkat Gundono sebelum diberangkatkan mengatakan bahwa almarhum lulus dari ISI Surakarta tahun 1999, dengan karya-karya seninya di antaranya Wayang Suket, Wayang Lindur, Wayang Air dan bahkan dalam pentas yang sempat menjadi gempar oleh para penonton ketika membawa wayang dengan cerita "Pandawa Lima Gugur".

Almarhum dalam membawakan cerita ini yang mematikan semua Pandawa Lima mendapat protes keras dari komunitas wayang kulit. "Ya ini kelebihan almarhum seperti ini," kata Butet sambil menambahkan bahwa dalam mewnggeluti karya-karya seni tradisional ini Slamet Gundono juga mendapat penghargaan dari Pemerintah Belanda dan Kementerian Pendidikan Nasional.

Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Yuning Rejeki dan dua anak, yaitu Nandung Albert Slamet Saputra (9) dan Bening Putriaji (3,5) yang tinggal di rumahnya Mojosongo, Solo.

Pewarta : Joko Widodo
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024