Di belakangnya, berdiri laki-laki mengenakan kaos berkerah yang juga Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang Arwoko Suryohadi, didampingi seorang pegiat IBI setempat Diana Nursidah.

Di tempat tidur pasien, di rumah praktik kebidanan di kawasan Kecamatan Tempuran itu, duduk seorang perempuan yang menyamar dengan nama Yanti. Seorang pegiat IBI lainnya, Wiwit Purwaningsih, duduk di kursi ruang itu, menyamar sebagai pengantar pasien.

Dengan diselimuti suasana kaget, bidan MSR seketika menyebut, "Bu Kus, Mbak Diana", setelah membuka pintu ruang praktiknya. Mereka kemudian menyapa dengan bahasa tubuh, berupa "cipika-cipiki".

"'Kok Ibu mriki' (Kok Ibu ke sini, red.)," kata bidan itu yang kemudian dijawab seketika oleh Kuswanti dengan suara bernada tegas, "'Iyo, pancen aku mrene' (Ya, memang saya ke sini, red.)".

Sri Kuswanti yang juga Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinkes Kabupaten Magelang itu lalu menunjuk dua perempuan di ruang praktik bidan MSR itu, adalah bidan.

"'Kae' (Mereka, red.) anak-anakku," katanya yang membuat seketika itu juga bidan MSR menjadi terperanjat lagi.

Ilegal
Kabar bahwa MSR melakukan praktik ilegal kebidanan, termasuk dugaan melayani aborsi, di rumahnya di tepi Jalan Raya Magelang-Purworejo Kilometer 12, Kabupaten Magelang, telah diterima dari sejumlah pihak oleh para petinggi IBI Kabupaten Magelang.

Bidan MSR bekerja di satu klinik bersalin swasta di Kota Magelang dan tidak tercatat sebagai anggota IBI Kabupaten Magelang. Dia juga disebut Kuswanti tidak memiliki izin praktik kebidanan mandiri di rumah tinggalnya.

Tiga hari sebelum tim IBI setempat melakukan penyamaran itu pada Jumat (13/12), bidan Diana dengan mengaku sebagai Yanti, beralamat di Sleman, dan mahasiswa Fakultas Psikologi, berkomunikasi melalui telepon seluler dengan MSR.

Dia memperkirakan sudah kenal MSR, karena beberapa tahun silam, sama-sama bertugas di Puskesmas Rawat Inap Grabag, Kabupaten Magelang.

Dalam komunikasi mereka, selain penyamar menyatakan bingung karena dua bulan terlambat menstruasi, juga terjadi tawar menawar tarif aborsi dari Rp2 juta menjadi Rp1,5 juta.

Masuk pesan pendek ke telepon seluler Diana pada Kamis (12/12) yang isinya tentang alamat MSR, dan kemudian diperoleh informasi bahwa waktu kedatangan Yanti ke rumah bidan itu pada Jumat (13/12) pagi.

Para pengurus IBI setempat pun berembuk di gedung milik organisasi para bidan Kabupaten Magelang itu, di Jalan Soekarno-Hatta, Kilometer 2, Desa Bumirejo, Kecamatan Mungkid.

Mereka memutuskan bahwa peranan pasien Yanti digantikan oleh bidan Dinar Sani, sedangkan bidan Wiwit menyamar sebagai pengantar pasien dengan mobil Toyota Avanza warna perak, bernomor polisi "AB" (Yogyakarta), milik bidan Sri Wahyuni yang juga pengurus IBI Kabupaten Magelang.

Saat bidan Dinar dan Wiwit tiba di depan rumah MSR, terlihat seorang perempuan memegangi perut didampingi seorang perempuan lainnya, meninggalkan tempat itu berboncengan sepeda motor.

Dua bidan penyamar itu sempat diberi tahu oleh mereka, bahwa MSR sedang menjemput anaknya di sekolah, tak jauh dari rumah tersebut. Mereka kemudian duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan MSR.

Tim lainnya yang terdiri atas Kuswanti, Arwoko, dan Diana, menunggu di rumah tinggal dan sekaligus tempat praktik mandiri seorang bidan senior setempat, Sumaryati, yang jaraknya relatif dekat dengan rumah MSR.

Sebentar kemudian, MSR tiba di rumahnya, kemudian menyilakan Yanti masuk ruang praktik. Bidan Wiwit dengan cepat menelepon Kuswanti, meminta mereka bergerak ke rumah MSR.

Ia kemudian mengikuti Dinar yang menyamar dengan nama Yanti, masuk ruang praktik itu, sambil sembunyi-sembunyi merekam peristiwa tersebut melalui telepon selulernya, sekenanya.

Ketika MSR akan memberikan tindakan penanganan terhadap pasien, Yanti berkelit meminta penjelasan terlebih dahulu. Si bidan pun menjelaskan bahwa penanganan dengan obat untuk aborsi akan membuat pasien mengalami perdarahan selama sekitar dua hari dengan reaksi obat antara enam hingga delapan jam.

Yanti menunjukkan kebimbangannya kepada MSR dengan alasan bahwa Senin depan harus menjalani ujian akhir semester di kampusnya. Kalau selama ujian mengalami perdarahan, hal itu akan menjadi masalah yang mencemaskannya.

Bidan Wiwit berdiri mendekati Yanti untuk menanyakan sikap mantapnya aborsi. Seketika itu juga, ia melirik melalui sela-sela tirai jendela kaca ruang praktik. Terlihat bahwa Kuswanti, Arwoko, dan Diana berjalan di halaman rumah dan kemudian mengetuk pintu ruang praktik bidan MSR.

Dibina
Mereka semua kemudian duduk di kursi ruang tamu itu. Kedua mata bidan MSR berkaca-kaca, sedangkan raut wajah tegang menghinggap, seakan tak mau reda.

Kuswanti dan Arwoko memberikan peringatan keras kepada MSR, atas praktik kebidanan yang dijalankan, antara lain karena yang bersangkutan tidak memiliki izin dan juga melayani permintaan aborsi.

"Banyak laporan yang masuk ke saya, memberi tahu apa yang terjadi di sini. Ini tidak boleh terjadi lagi," kata Kuswanti.

Pada kesempatan itu, ia juga meminta MSR mengurus perizinan terlebih dahulu jika hendak praktik kebidanan agar sesuai dengan ketentuan.

Sebelum penyamaran itu, Kuswanti juga mengaku telah memberi tahu ketua IBI Kota Magelang terkait kasus bidan MSR dan mencari konfirmasi tentang kebenaran kabar bahwa MSR bekerja di salah satu klinik bersalin swasta di kota itu.

Beberapa waktu lalu, katanya, seorang polisi juga meneleponnya terkait dengan kasus itu.

"'Sik to, takbinane ndisik' (Tunggu dulu, kami bina dulu, red.)," katanya ketika menceritakan tentang sebagian jawabannya melalui telepon kepada polisi itu.

Di hadapan MSR, Arwoko menyatakan dengan suara tegas bahwa praktik kebidanan oleh yang bersangkutan sebagai menyalahi ketentuan. Ia meminta MSR menghentikan praktiknya karena ilegal.

"'Njih, njih, punika ingkang kantun," kata MSR. Kalimat itu, maksudnya bahwa si bidan tersebut akan menghentikan praktik ilegalnya.

Beberapa jam sebelum suara azan, penanda waktu shalat Jumat, siang itu berkumandang, tim penyamaran IBI meninggalkan tempat tersebut.

Jurus para bidan menghentikan praktik ilegal itu, bukan sinetron.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025