Sekitar pukul 02.00 WIB, komunitas petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, selesai mementaskan wayang orang untuk merayakan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura, yang dikenal dengan sebutan "Suran Tutup Ngisor". Pementasan yang mereka sebut sebagai wayang sakral itu, telah menjadi tradisi komunitas setempat sejak padepokan berdiri pada 1937.

Padepokan yang terletak sekitar enam kilometer di barat daya puncak Gunung Merapi, di perbatasan Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, didirikan oleh tokoh spiritual dan penganut kejawen Romo Yoso Soedarmo (1885-1990).

Wayang sakral tersebut, dengan lakon "Lumbung Tugu Mas". Pementasan mereka bertepatan dengan hari ke-15 (bulan purnama) Sura yang pada 2013 jatuh pada Minggu (17/11) malam hingga Senin (18/11) dini hari.

Ceritanya tentang proyek luhur keluarga Pandawa, didukung para dewa dari khayangan, membangun "Lumbung Tugu Mas" dengan pusat pengisahan tentang turunnya Dewi Sri sebagai lambang kesuburan. Hal itu, terkait dengan kehidupan pertanian masyarakat di kawasan Gunung Merapi.

"Lakon ini diciptakan Romo Yoso, sesungguhnya suatu doa masyarakat Merapi untuk kehidupan yang tenteram melalui pertanian kami," kata pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Sitras Anjilin, sebelum pementasan yang mulai Minggu (17/11) sekitar pukul 22.00 WIB hingga Senin (18/11) sekitar pukul 02.00 WIB.

Sitras (52) adalah bungsu di antara tujuh anak laki-laki Romo Yoso. Enam kakaknya adalah Darto Sari (1925-2013), Danuri (86), Damirih (82), Cipto Miharso (75), Sarwoto (60), dan Bambang Tri Santoso (57).

Sebelum babak akhir selepas tengah malam, adegan wayang sakral yang melibatkan sekitar 80 tokoh pewayangan itu, ditandai dengan cerita turunnya para dewa dari khayangan untuk memberikan berbagai pusaka masing-masing kepada keluarga Pandawa, sebagai kekuatan untuk membangun "Lumbung Tugu Mas".

Semar yang malam hingga dini hari itu diperankan oleh Cipto Miharso, sedangkan Gareng (Sarwoto), Petruk (Bejo), dan Bagong (Prihatin), memimpin doa melalui pembakaran kemenyan dan darasan doa secara kejawen. Di hadapan mereka Puntodewo (Hari) dan Prabu Kresno (Suwonto).

"Tumuruna para dewa lan batara, paring sabda, teguh, lan sedyo mulya. Mugi kasembadan sedaya gegayuhan, kangge gesang tentrem ayem' (Turunlah para dewa, memberikan sabda untuk keteguhan menjalankan cita-cita mulia. Semoga terwujud segala kehendak baik, untuk hidup masyarakat yang tenteram dan damai, red.)," demikian sepenggal mantera didaraskan Semar sambil membakar kemenyan di tungku.

Setelah para dewa dan dewi menyerahkan pusaka mereka kepada keluarga Pandawa, Sri Kembang atau Dewi Sri (Karti) diiringi sejumlah perempuan sebagai para pelaku tokoh Sri Monca Warna, juga dikisahkan turun ke taman di Kerajaan Amarta.

Itulah yang nampaknya menjadi wujud terbangunnya "Lumbung Tugu Mas", yang kemudian dikisahkan pada babak akhir pentas wayang sakral itu, hendak direbut oleh para raksasa, namun berhasil dipertahankan oleh keluarga Pandawa.

Suasana pendopo padepokan kembali terasa sunyi, selesai pentas itu. Para penabuh gamelan, waranggana, dan dalang Sitras Anjilin meninggalkan tempat itu. Para pemain wayang pun melepas berbagai kostum pementasan mereka di ruang ganti, di lantai dua padepokan tersebut. Beberapa orang yang umumnya para tamu dari luar kota dengan sejumlah warga padepokan berbincang-bincang di tempat itu, hingga suasana pagi terbuka.

Mendung masih menutup langit di kawasan padepokan sehingga puncak Gunung Merapi tak tampak dari dusun itu. Sepanjang pementasan wayang sakral pada puncak tradisi "Suran" yang ke-76 kalinya itu, memang diwarnai dengan hujan gerimis.

"'Tabuh pinten?' (Jam berapa? red.)," tanya seorang anggota keluarga padepokan yang malam itu memainkan tokoh Abimayu, Widyo Sumpeno, saat menerima kabar melalui telepon selulernya dari seseorang, bahwa Gunung Merapi menyemburkan awan panas dengan asap sulvataranya pukul 04.53 WIB.

Sitras Anjilin yang menerima kabar serupa melalui telepon selulernya juga terdengar suaranya dengan nada tenang mengatakan, "Ya terima kasih infonya".

Saat peristiwa itu, beberapa warga Dusun Candi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, keluar rumah masing-masing, lalu berkumpul di tanah lapang dusun setempat untuk mengamati situasi puncak Merapi dari tempat tersebut.

Namun, kata seorang warga setempat, Anton Wijayanto, umumnya masyarakat setempat tetap tenang menyikapi peristiwa Merapi yang terdengar sebagai gemuruh itu. Mereka kemudian melakukan aktivitas seperti hari biasa.

Petugas pengamatan Gunung Merapi di Pos Babadan, Kecamatan Dukun, sekitar 4,4 kilometer barat daya puncak Merapi, Purwono, membenarkan terjadinya erupsi freatik dari puncak gunung tersebut.

"Terjadi guguran, kalau dari sini tidak kelihatan karena tertutup awan, tetapi dari tempat yang lebih rendah, terlihat asap warna hitam membumbung, ke arah timur (Kabupaten Boyolali, red.)," katanya.

Fase erupsi besar Gunung Merapi yang terakhir, terjadi pada akhir 2010 disusul dengan banjir lahar secara intensif melalui berbagai sungai yang aliran airnya berhulu di gunung berapi itu hingga pertengahan 2011. Ancaman banjir lahar masih terjadi hingga saat ini, apalagi musim hujan, karena masih terdapat sekitar 58 juta meter kubik endapan material vulkanik Merapi, pascaerupsi 2010.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut bahwa erupsi freatik kategori kecil Merapi pada Senin (18/11) pagi, ditandai dengan semburan asap tebal disertai abu vulkanik dengan ketinggian sekitar 2.000 meter.

Semburan asap itu hingga sejauh dua kilometer ke arah timur dan tenggara. Erupsi itu dipicu gempa tektonik lokal Gunung Merapi. Kejadian serupa yang terakhir pada 22 Juli 2013.

"Angin ke timur dan tenggara, terjadi hujan pasir dan abu cukup tebal di Boyolali, hujan abu hingga Kartosuro dan barat Kota Solo," demikian siaran pers Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho.

Sebagai langkah lanjutan, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta melakukan evaluasi status aktivitas vulkanik Gunung Merapi yang sejak beberapa waktu terakhir di level terendah, yakni "Aktif Normal".

"Saat ini aktivitas gunung pulih kembali, sedang dilakukan evaluasi di BPPTKG Yogyakarta," katanya.

Masyarakat petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor pun seakan mengalirkan terus rangkaian agenda kebudayaan berupa tradisi "Suran" mereka, yang antara lain berupa kirab jatilan berkeliling dusun itu sebagai tolak balak dan berbagai pementasan kesenian tradisional.

"Rangkaian acara 'Suran' tetap jalan," kata Widyo Sumpeno.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025