Nawawi, petani garam asal Desa Purworejo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang, Jumat, mengaku bahwa prakiraan cuaca sangat memberi pengaruh kepada para petani garam.

"Saya hampir setiap dua minggu sekali meminta informasi ke BMKG dan kemarau tahun ini pendek sehingga kami harus menahan hasil panen. Kalau kemarau panjang, kami harus cepat menjual hasil panen," katanya.

Nawawi mengaku bahwa para petani garam di Rembang baru mulai menggarap tambak pada akhir Agustus setelah Lebaran dan pada bulan September hasil panen hanya berkisar 5 ton per hektare per hari.

"Jika kemarau panjang, biasanya pada bulan September satu hektare bisa menghasilkan 10 ton hingga 12 ton," katanya.

Untuk harga garam, tambah Nawawi, saat ini berkisar Rp320--Rp360 per kilogram dan hanya sebagian petani yang mampu menghasilkan garam super dengan harga Rp400--Rp450 per kilogram.

Pemilik tambak garam di Kaliori, Sunar, mengatakan garam super diperoleh pada lapisan pertama atau kedua pada panen pertama, namun bila cuaca sampai diwarnai hujan tiga hari, maka petani akan menghentikan produksi garam.

Setelah tambak diguyur hujan, katanya, tambak membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan untuk mengondisikan lahan agar siap digenangi air untuk membuat garam.

Ia menambahkan petani garam di Rembang saat ini sebagian besar juga sudah mengandalkan pasokan air melalui kincir angin, menggantikan pompa air yang boros energi dan membutuhkan tenaga lebih banyak.


Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024