Ketupat itu ditatanya di atas meja makan yang juga digunakan untuk menyimpan berbagai perlengkapan dapur termasuk lauk yang hendak dia masak.

Kasmah merupakan salah satu warga Desa Ujungbarang, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang terpaksa merayakan Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah di tenda pengungsian.

Di tenda-tenda pengungsian yang berlokasi di Dusun Cipancur, Desa Ujungbarang, terdapat 69 keluarga atau 196 jiwa yang menjadi korban bencana tanah longsor di Dusun Ciawar pada bulan November 2012.

"Abdi atos henteu betah di dieu, kesel, nanging kumaha deui (saya sebenarnya sudah tidak betah di sini, capai, tapi bagaimana lagi, red.)," kata Kasmah dalam bahasa Sunda.

Kendati demikian, dia tetap berusaha bertahan tinggal di tenda pengungsian sambil merawat ibundanya, Dasta (75), yang sakit sejak dua hari lalu.

Dia mengaku tidak berani kembali ke rumahnya di Dusun Ciawar karena takut bencana longsor itu datang lagi.

Dia juga mengaku sedih karena harus berlebaran di tenda darurat tanpa adanya persiapan apapun.

"Kanggo lebaran, abdi nyieun ketupat jeung lauk wae (untuk Lebaran, saya hanya menyiapkan ketupat beserta lauk saja, red.)," katanya.

Kondisi yang sama juga diakui Sumirah (40) karena dia tidak bisa menyiapkan kue lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bahkan, dia sering kali merasa sedih jika teringat peristiwa yang terjadi 10 bulan lalu.

Saat bencana tanah longsor terjadi pada Jumat malam, 24 November 2012, dia bersama dua anaknya harus mengungsi sendirian karena suaminya, Warmin (40), bekerja di Serang, Banten.

"Waktu itu, saya bingung mau ke mana lagi karena jalan menuju pusat Dusun Ciawar maupun ke Dusun Cipancur tertutup longsor. Bahkan, saya hanya bawa pakaian seadanya sambil gendong si kecil (anak keduanya, red.)," katanya.

Terkait persiapan menyambut lebaran, dia mengaku pasrah karena harus merayakan Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah di tenda pengungsian bersama suami dan anak-anaknya.

Sementara itu, Warmin mengharapkan rencana relokasi bagi korban tanah longsor di Dusun Ciawar dapat segera terealisasi sehingga mereka bisa hidup tenang.

"Sebenarnya rumah kami tidak rusak, tapi kondisi tanahnya tidak mungkin untuk dijadikan tempat tinggal, sehingga kami takut untuk kembali ke sana," kata dia yang baru beberapa hari mudik dari Serang.

Pengungsi lainnya, Darsih (30) mengatakan bahwa suaminya, Riswanto (37), sedang bekerja pada proyek galian kabel telepon di Purwokerto sehingga saat bencana itu datang, dia harus mengungsi sendirian bersama anaknya yang masih berusia empat tahun.

Dia mengharapkan bisa segera menempati rumah di lokasi baru seperti yang dijanjikan Pemerintah Kabupaten Cilacap.

"Saya sudah tidak betah tinggal terlalu lama di sini karena kalau malam terasa dingin, siang sangat panas, apalagi kalau hujan serba repot, sehingga anak sering sakit. Tapi bagaimana lagi, sampai sekarang belum ada kejelasan relokasi," katanya.

Kendati demikian, dia mengaku bersyukur karena bantuan dari Pemkab Cilacap untuk para pengungsi selalu mengalir.

Bahkan, kata dia, beberapa hari lalu ada bantuan berupa bahan makanan dan perlengkapan untuk menyambut lebaran.

"Alhamdulillah, bantuan terus mengalir. Kamari aya bantuan sinjang kanggo lebaran(kemarin ada bantuan berupa kain sarung untuk lebaran, red.)," katanya.

Salah seorang anak pengungsi, Surwitri (13) mengaku sedih karena harus berlebaran di tenda pengungsian, sehingga tidak bisa menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut lebaran.

Bahkan, kata dia, lebaran kali ini tanpa ada kue-kue karena semuanya disiapkan apa adanya.

"Saya kangen sama rumah, tapi bagaimana lagi, rumah itu tidak mungkin bisa ditempati lagi. Saya ingin segera mendapatkan rumah baru agar lebih nyaman," kata dia yang terlihat berkaca-kaca.

Kepala Dusun Cipancur Widiantoro mengatakan bahwa jumlah pengungsi dari Dusun Ciawar sebanyak 69 keluarga yang terdiri 196 jiwa dari 56 rumah yang terancam bencana tanah longsor.

Menurut dia, rumah-rumah tersebut sebenarnya tidak semuanya mengalami kerusakan, namun kondisi tanahnya tidak memungkinkan untuk ditempati karena berdasarkan penelitian Badan Geologi Bandung, lapisan tanahnya sudah keropos.

"Para pengungsi itu tinggal di tenda-tenda pengungsian yang tersebar di tujuh lokasi," katanya.

Terkait masalah relokasi, dia mengatakan bahwa segala sesuatunya sebenarnya sudah siap termasuk dana untuk pembangunan rumah dan perataan tanah bakal lokasi baru.

Menurut dia, tanah untuk relokasi tersebut diperoleh hasil tukar guling antara Pemkab Cilacap dengan Perhutani.

Akan tetapi, kata dia, hingga sekarang surat perintah kerja (SPK) penebangan pohon belum dikeluarkan oleh Perhutani dan Kementerian Kehutanan.

"Kami masih menunggu SPK itu, semoga relokasi dapat segera terealisasi. Kasihan para pengungsi ini karena sudah terlalu lama tinggal di tenda-tenda pengungsian," katanya.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025