Sebagian di antaranya mengenakan jas hujan dari plastik transparan untuk melindungi jubah mereka dari guyuran air hujan. Kondisi tersebut terlihat pada perayaan Tri Suci Waisak 2557 BE/2013 di pelataran barat Candi Borobudur, Sabtu malam.

Di sekeliling altar utama berada di atas panggung, ribuan umat Buddha duduk di atas hamparan karpet dengan khusuk mengikuti prosesi peringatan Waisak.

Pelaksanaan Waisak tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang biasanya dalam penutupan acara Waisak dilepaskan ratusan lampion di kompleks Candi Borobudur, namun kali ini hal tersebut tidak bisa dilakukan karena kondisi cuaca tidak mendukung.

Acara yang dihadiri antara lain, Wakil Bupati Magelang, Zainal Arifin, Gubernur Jawa Tengah Bibit waluyo, dan Menteri Agama Suryadarma Ali ini sejak acara dibuka hingga penutupan terus diguyur hujan.

Para biksu maupun umat Buddha yang tidak membawa payung atau pelindung lainnya, mereka harus rela berbasah kuyup.

Sejumlah pengunjung termasuk para fotografer yang ingin mengabadikan keindahan lampion yang beterbangan di atas candi Buddha terbesar di dunia tersebut tidak bisa terwujud.

"Kami agak kecewa, jauh-jauh ke sini sebenarnya ingin menyaksikan keindahan lampion yang diterbangkan dengan nyala api, ternyata acara itu ditiadakan karena kondisi hujan," kata Bramantyo asal Yogyakarta.

Ia yang telah dua kali menyaksikan perayaan Waisak di Borobudur itu, mengatakan, biasanya para biksu dan umat Buddha setelah ritual pradaksina atau berjalan mengelilingi candi Borobudur kemudian mereka melepas lampion yang di dalamnya ada pelitanya.

Hujan deras yang mengguyur kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya tersebut tidak menghalangi umat Buddha untuk mengikuti puncak acara Waisak tersebut.

Maha Biksu Duta Vira Mahastavira dalam pesan Waisaknya, mengatakan hujan yang mengguyur merupakan berkah.

"Walaupun berkah dari langit amerta tirta atau hujan turun kita tetap merayakan perayaan Waisak dengan membangkitkan kekuatan kemauan penuh gairah dan semangat sehingga hujan tidak membubarkan kita," katanya.

Ia menghimbau agar setiap umat dan masyarakat tidak boleh mengeluh dalam kehidupan.

Ia mengatakan, peringatan Waisak kalau hanya disikapi secara budaya tradisi perayaan saja sungguh nilai artinya menjadi kecil, harus disikapi dengan meningkatkan kesadaran dan kebijaksanaan sebagai manusia yang diberi kesempatan seluas luasnya oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memilih sikap perbuatan.

Peristiwa Waisak, katanya, merupakan satu bukti nyata di setiap hati manusia mempunyai kekuatan kemauan.

"Sang Buddha mengatakan, beruntung kita dilahirkan sebagai manusia karena sebagai manusia mempunyai empat kekuatan, yakni kekuatan kemauan, ketekunan , pengamatan, dan kekuatan batin," katanya.

Ia menuturkan, kesadaran diri muncul dari batin dan digerakkan dengan kemauan diri. Dengan ketekunan, seseorang akan menjadi sukses. Pengamatan diperlukan untuk membedakan sesuatu yang baik dan buruk. Kekuatan batin, akan membuat seseorang untuk lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Dengan semangat Waisak, kami berharap semua makhluk beruntung dan berbahagia," katanya.

Menteri Agama Suryadarma Ali mengatakan, perayaan Waisak untuk memeperingati tiga peristiwa penting bagi umat Buddha, yakni kelahiran Sidarta Gautama, pencapaian puncak kebuddhaan, dan wafatnya Sidarta Gautama setelah meraih puncak penggembaraan spiritualnya.

Melalui peristiwa agung tersebut, diharapkan dapat menjadi momentum bagi umat Buddha untuk introspeksi diri atas sikap dan perilaku selama ini dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.

"Setiap kali memperingati hari raya keagamaan selalu mengingatkan kita menapaki hidup yang bermanfaat bagi orang banyak yang selalu berbuat yang terbaik bagi keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa dan negara.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hal pentin yang perlu ditumbuhkembangkan saat ini adalah bagaimana setiap umat beragama benar-benar menghayati dan mengimplementasikan ajaran agama yang dipeluknya, terlebih kaitannya dengan pembinaan nilai-nilai moral sebagai unsur mutlak membangun karakter bangsa.

"Kita semua menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang toleran dengan kemajemukan di dalamnya, di antara umat beragama tidak ada yang saling membenci, justru sebaliknya seluruh umat beragama dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis," katanya.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025