Lukisan tentang fabel itu, satu di antara belasan karya berbagai ukuran yang dipamerkan di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sejak 14 Mei hingga 7 Juni 2013.
Pembukaan pameran tunggal Damtoz itu oleh budayawan Komunitas Lima Gunung Magelang Sutanto Mendut, beberapa hari menjelang puncak Waisak yang jatuh pada 25 Mei 2013.
Pameran itu boleh jadi mengusung harapan untuk menjadi satu perenungan bersama tentang kehidupan atas perjalanan manusia, baik sebagai personal maupun sosial. Perenungan yang mungkin tak hanya bermanfaat untuk umat Buddha yang akan masuk di puncak Waisak 2013, akan tetapi juga untuk siapa saja.
Beberapa pementasan kesenian juga mewarnai pembukaan pameran tersebut, antara lain tampilan dua musik puisi "Candi Mendut" dan "Membaca Tanda-Tanda Zaman" oleh Munir Syalala dan Budi, pembacaan puisi "Candi Mati Yang Hidup Di Desaku" oleh penyair remaja Atika, dan pembacaan "Prosa Lirik Tentang Binatang, Tumbuhan, dan Air" oleh penyair kenamaan Indonesia, Dorothea Rosa Herliany.
Selain itu, tarian "Kembang Payung" oleh dua mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta Siti Rifaatul Mahmudah dan Siti Nurkhasanah, tarian "Geculan Bocah" oleh anak-anak Sanggar Warga Budaya Gejayan, Gunung Merbabu, serta pentas wayang kulit dan golek durasi pendek dengan judul kontemporer "Katresnan" (Cinta Kasih) oleh dalang muda Sih Agung Prasetyo.
Lukisan yang dipamerkan Damtos, antara lain tentang fabel di Candi Mendut dengan judul "Whispers from Mendut Temple Walls" (4 karya), ekspresi wajah tokoh spiritual Tibet Dalai Lama (6), "Don't Cry Buddha (2), penari Gunung Merbabu dengan judul "The Mountain Gladiator", "Harmony Buddhist Kampong", dan "The Buddha's Face", masing-masing satu karya.
Candi Mendut yang menjadi inspirasi atas lukisan-lukisan Damtoz itu agaknya memberi bisikan halus tentang keteladanan tingkah laku manusia dan berbagai sifat kebaikan yang dalam perkembangan zaman ini cenderung terlupakan.
"Ada hal yang menyadarkan saya dari fabel itu dan itu 'menggeret' (menarik, red.) saya untuk menuangkan. Selama ini, sebagian kita hanya bicara-bicara, dan bicara, dan akhirnya sebuah pesawat jatuh di laut jahat," kata Damtoz yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbung, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.
Sutanto menyebut banyak nilai kehidupan manusia ditatah dalam relief di Candi Mendut, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur, dalam bentuk fabel. Salah satu cerita kerakyatan itu adalah tentang kura-kura dan angsa.
"Pesan cerita kura-kura itu adalah manusia jangan sombong, karena kalau sombong akan jatuh," katanya.
Secara detail Rosa mengisahkan fabel kura-kura dan angsa itu dalam prosa lirik yang dibacakannya di panggung terbuka Studio Mendut pada pembukaan pameran dengan diwarnai guyuran hujan deras, Selasa (14/5) sore.
"'Angsa bersedia membawa kura-kura terbang, dengan cara kura-kura menggigit tengah-tengah kayu, dan angsa yang akan memegang dua ujung kayu itu. Tetapi ada syarat, jangan lengah, jangan sekali-kali berbicara, jangan melihat ke bawah, jika ada yang bertanya, jangan menjawab'," demikian satu bagian prosa itu.
Bagian lain mengisahkan kura-kura itu tak tahan terhadap ocehan dan ejekan anak-anak gembala yang melihat peristiwa angsa menerbangkan kura-kura.
"'Ia berteriak pada mereka dan terlepaslah gigitan kayu di mulutnya. Ia melayang jatuh dan mati terbelah dua. Itulah cerita-cerita yang asalnya dari Kitab Pancatantra dari India. Sindiran untuk para pemimpin yang hanya bicara dan bicara. Tak pernah jagadnya dibalik. Mau mendengar suara dari orang-orang yang dipimpinnya'," demikian bagian lain dari prosa itu.
Melalui prosa tersebut, Rosa yang belum lama ini mengikuti dua festival internasional tentang sastra, di Afrika Selatan dan Harare, Zimbabwe, agaknya ingin membicarakan ihwal bisikan tentang makna kehidupan, melalui fabel kura-kura dan angsa.
Makna fabel itu, seperti dikatakan Sutanto Mendut sebagai peringatan bahwa manusia harus rendah hati, terutama tatkala perputaran roda kehidupan membawanya di posisi atas.
"Bisikan ini sekitar kura-kura yang luar biasa, menggendong rumahnya, kakinya melangkah perlahan, dia juga mampu melakukan perjalanan panjang melintasi benua. Dalam legenda China, kura-kura sebagai binatang dengan rasa segala daging, umurnya paling panjang. Tetapi tiba-tiba di Mendut, digambarkan tergoda oleh mulut. Jadi, jangan sombong sekarang ini, bahkan yang tinggal di Mendut dan Borobudur, jangan sok menjelaskan Borobudur dan Mendut, karena banyak orang di dunia mungkin lebih mengetahui," katanya.
Kemajuan dan perkembangan manusia dengan dunia ilmu pengetahuan serta teknologi, katanya, juga telah membuat orang lokal saat ini, menjadi seakan tidak berhak untuk tahu sendiri tentang kelokalannya.
Rosa seakan juga ingin menggambarkan tantangan dan godaan manusia oleh kemajuan serta perkembangan zaman saat ini, melalui bagian lain dari prosa liriknya.
Ia juga terkesan ingin mengajak siapa saja masuk dalam fabel di relief Candi Mendut.
"'Kini kita semua akan diajak terbang oleh si angsa. Ia akan membawa kita terbang jauh sampai hinggap ke pohon Boabab (Nama pohon di Afrika, nama latinnya Adansonia digitata, red.). Lalu lihatlah Sang Penyair dan Sang Buddha yang sedang bersila di bawahnya. Matanya meneteskan air kesedihan, mulutnya seperti terkunci. Namun dengarlah suara dari dalam hatinya yang berbisik, menembus dinding-dinding Candi Mendut'," demikian satu bait di bagian akhir prosa itu.