Tentunya, buku yang terdiri atas 11 cerita anak karya Wicahyanti Rejeki, guru SMP Kristen 1 Kota Magelang itu, bukan semata-mata ditujukan kepada siswanya sendiri, akan tetapi diharapkan menguatkan minat anak-anak lainnya untuk menikmati bacaan tersebut.
"Sasaran buku ini, untuk anak usia kelas IV sampai SMP," kata Wicah sebelum peluncuran buku Kumpulan Cerita Anak "Tepukan Tiga Kali" beberapa waktu lalu dalam pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP se-Kota Magelang, Jawa Tengah.
Dengan bahasa edukatifnya, Wicah menyebut cerita anak dalam buku yang diterbitkan Tribee Press Borobudur itu, membimbing anak-anak untuk mengetahui dirinya dan kehidupan sekitarnya.
Seakan-akan ia ingin membiarkan anak-anak menyerap berbagai nilai karakter yang disodorkan melalui buku dengan editor Nok Mujiati, desain Regina Redaning, ilustrasi sampul Sabina Kencana Arimanintan, dan ilustrasi isi Yoppi Hardiyan itu.
Kalimat-kalimat pendek dan sederhana dalam setiap cerita, terkesan memudahkan anak-anak untuk mengikuti alur setiap kisah dalam buku tersebut.
"Saya sudah membacanya," kata seorang siswi SMP Negeri 2 Kota Magelang Dewi Candra Agusta yang hadir pada peluncuran buku "Tepukan Tiga Kali" di aula Kantor Dinas Pendidikan Kota Magelang tersebut.
Ia menyatakan tertarik dengan satu cerita pendek berjudul "Guntur" dalam buku itu. Guntur, seorang siswa yang dikisahkan selalu berulah, akan tetapi sang guru baru untuk pelajaran Bahasa Indonesia telah mengubah sikapnya itu dengan pujian yang jitu, saat pelajaran menulis puisi.
"'Bagus, Guntur! Bagus sekali!' ujar Bu Indah sambil bertepuk tangan saat Guntur selesai membacakan puisi yang sudah ditulisnya. 'Kamu berbakat. Sangat berbakat!'," begitu salah satu alinea dalam cerita pendek berjudul "Guntur" ditorehkan Wicah yang juga penyair Kota Magelang itu.
Wicah kemudian melanjutkan dengan alinea berikutnya tentang Guntur yang tidak mengira bakal mendapatkan pujian atas karya puisinya berjudul "Ingin Menjadi" dalam cerita tersebut. Guntur pun kemudian dikisahkan berubah menjadi anak yang optimistis, pengagum guru itu, dan bersikap baik.
"'Guntur terkesima. Belum pernah seseorang memuji begitu tulusnya. Belum pernah ada orang rela bertepuk tangan untuk sesuatu yang dikerjakannya. Belum pernah ada'," demikian alinea berikutnya dalam cerita pendek itu.
Redaktur Majalah Sastra Horison Joni Ariadinata pada kesempatan peluncuran buku dan sekaligus lokakarya bertema "Sastra Sebagai Wahana Alternatif Berkreasi" itu, membacakan secara menarik satu cerita pendek dalam buku "Tepukan Tiga Kali" yang berjudul "Tuyul".
Cerita pendek "Tuyul" tentang upaya jitu dan masuk akal yang ditempuh Yoga untuk mengklarifikasi isu tuyul di kalangan kawan-kawannya di sekolah.
Judul buku karya Wicah yang juga pegiat Dewan Kesenian Kota Magelang itu, mengambil salah satu judul cerita pendek "Tepukan Tiga Kali" di halaman 93. Cerita itu tentang keluarga perajin cendera mata dari bahan tanduk di Desa Pucang, Kecamatan Secang, sekitar 10 kilometer utara Kota Magelang.
Ayah Totok dikisahkan meninggal dunia, karena produksi kerajinannya kesulitan pemasaran menyusul peristiwa Bom Bali. Malam itu, sebelum semua anggota keluarga tersebut tidur, Sang Ayah menepuk pundak Totok tiga kali.
Ternyata, hal itu kemudian disadari Totok sebagai penanda bahwa bapaknya akan pergi selama-lamanya dan dia melanjutkan tanggung jawab sebagai tulang punggung penghidupan keluarga itu sebagai perajin.
Joni menyebut berbagai cerita pendek dalam buku "Tepukan Tiga Kali" menggambarkan latar belakang yang jelas dan mengangkat berbagai persoalan di sekitar kehidupan anak-anak.
"Ide-ide dalam cerita itu ada di sekitar anak-anak," katanya.
Meskipun berangkat dari ide sederhana, berbagai cerita pendek dalam buku tersebut tetap menarik perhatian pembaca untuk tak berhenti membacanya hingga selesai.
Ia menyebut Wicah telah meramu dengan berhasil atas berbagai ide sederhana dalam cerita-cerita pendeknya sehingga memikat pembaca.
Namun, Wicah mengaku bahwa semula tidak bermimpi menjadikan kebiasaan menulis cerita pendek itu untuk membukukannya. Ia pun tidak hafal sejak kapan cerita-cerita itu ditulisnya.
"Kalau sedang berminat, saya tulis. Kalau saya lihat sesuatu yang menarik, saya lalu menuliskan menjadi cerita. Kalau mau dihitung intensif mungkin tiga bulan," katanya.
Bahkan Wicah yang sejak beberapa waktu terakhir juga aktif dalam gerakan kebudayaan yang dijalani seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang itu, menyebut penerbitan buku "Tepukan Tiga Kali" sebagai "proyek nekatnya".
Ia mengaku masih akan haus membuat cerita-cerita pendek, terutama untuk pembaca kalangan anak.
"Inspirasi tak pernah kering, apa saja ada di sekitar kita. Bisa menjadi ide cerita untuk pendidikan karakter. Makanya saya tak ingin berhenti sampai di sini," katanya.
Kumpulan cerita anak dalam buku "Tepukan Tiga Kali", menjadi satu upaya edukatif menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak-anak. Melalui buku itu, mereka diajaknya belajar, tanpa merasa diceramahi.