Duduk bersila di hadapan mereka, seorang sesepuh Padepokan Seni Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Bambang Tri Santoso, dan pemerhati seni budaya Kabupaten Magelang, Amat Sukandar.

Di tengah pendopo sanggar yang dikelola seniman muda Merapi, Untung Pribadi itu, telah diletakkan dua tandu masing-masing berisi gunungan sayuran dan hasil bumi, serta tumpeng Rasul berupa nasi megono dengan puluhan pincuk.

Ratusan anak mengenakan kaos dengan tulisan "Jagad Bocah Merapi Semangat Budaya Punya Harga Diri".

Mereka yang juga mengenakan berbagai properti, antara lain, anyaman dedaunan, caping, iket, bambu, dan tarian tradisional itu, kemudian beranjak dari sejumlah tempat bergerombol, untuk merapat mengelilingi pagar bambu pendopo sanggar seluas 144 meter persegi guna menyimak tabuhan gamelan dengan lantunan tembang Jawa tersebut.

"'Para siswa ing ereng Merapi. Nyuwun mring Hyang Manon. Paringana kalis ing sedyane. Pentas seni saking para dhasih. Mugi Sang Hyang Widi. Mbabaring rahayu'," demikian salah satu bait tembang Mijil Wigaringtyas karangan pemimpin Padepokan Seni Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Sitras Anjilin, yang dilantunkan berulang-ulang oleh anak-anak setempat itu.

Maksud kalimat tembang itu kira-kira, anak-anak kawasan Merapi berdoa kepada Tuhan agar terbebas dari berbagai bencana. Melalui pentas kesenian, mereka mengharapkan Tuhan menurunkan berkah dan kehidupan yang tenteram.

Setelah memimpin anak-anak berasal dari beberapa sekolah tingkat SD hingga SLTA di kawasan Merapi, meneriakkan yel-yel "Anak Merapi Semangat Budaya Punya Harga Diri", Sitras kemudian menjelaskan tentang tujuan prosesi Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi 2013 pada hari Minggu (10/2) itu.

"Sedekah Gunung ini kita lakukan supaya anak-anak makin mencintai Merapi. Kalau Merapi sedang erupsi memang menakutkan, tetapi kita hidup di tempat ini harus tetap ramah dengan Merapi," katanya.

Alam Merapi, katanya, juga memberikan air yang melimpah dan tanah yang subur untuk pertanian sehingga membuat masyarakat hidup tenteram.

"Supaya tenteram, kita bersinegi. Supaya anak juga menjaga dan melestarikan alam. Merapi kehidupan kita, kita minum dan makan dari bumi Merapi. Kita bersyukur dan menikmati Merapi," katanya.

Gagasan agenda budaya Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi terkait dengan letusan Gunung Merapi pada tanggal 11 Februari 2002. Pada pagi hari itu, keluar semburan awan panas dari puncak Merapi ke arah barat, atau kawasan setempat.

"Akan tetapi, kemudian berembus angin kencang sehingga luncuran awan panas yang telah mengarah ke barat berbelok ke arah selatan sehingga hujan abu jatuh lebih banyak di wilayah Klaten," kata Untung Pribadi yang juga Ketua Panitia Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi 2013.

Sehari sebelumnya, yakni pada tanggal 10 Februari 2002, para pemimpin berbagai agama, tokoh budaya, dan masyarakat berkumpul di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun untuk doa bersama lintas agama. Ketika itu, status aktivitas vulkanik Gunung Merapi di level tertinggi, "Awas Merapi".

Mereka yang turut dalam Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi 2013 pada hari Minggu (10/2) itu, antara lain, anak-anak SD Negeri Sumber, SD dan SMP Kanisius Sumber, MI Sumber, SD Negeri Keningar I dan II, MI Kalibening, SD Kanisius Prontakan, SD Negeri Ngargomulyo, SMA Kristen Indonesia di Kabupaten Magelang, dan SMA Negeri Kecamatan Dukun.

Di bawah langit cerah meskipun gumpalan-gumpalan mendung menghiasi langit kawasan Merapi, sekitar 500 anak kirab sejauh sekitar 3 kilometer dari Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber menuju ruas jalan Desa Kalibening dengan melewati cekdam Kali Lamat.

Para guru dan orang tua mereka, serta para relawan Gunung Merapi juga turut menyertai anak-anak dalam arak-arakan Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi 2013.

Tempat Sedekah Gunung di pinggir areal pertanian sayuran Desa Kalibening itu menjadi lokasi favorit masyarakat untuk memandang Gunung Merapi jika langit cerah. Akan tetapi, pagi hingga siang itu, tubuh gunung tertutup kabut.

Sitras mengajak anak-anak menjalani kirab Sedekah Gunung dalam suasana hening sebagai tanda perjalanan mereka sambil berdoa untuk keselamatan dan ketenteraman hidup masyarakat di kawasan Gunung Merapi.

Gunungan sayuran dan hasil bumi serta tumpeng Rasul diletakkan di tepi areal pertanian setempat. Sitras kemudian memimpin mereka melantunkan tembang Mijil Wigaringtyas yang syair-syairnya berupa ungkapan doa dan syukur atas bumi Merapi.

Sejumlah relawan Gunung Merapi mengalihkan pengendara kendaraan bermotor sementara waktu ke jalan lain, selama tempat tersebut digunakan anak-anak setempat untuk menggelar Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi.

Tiga geguritan yang diungkapkan oleh tiga anak, isinya seakan membawa peserta prosesi masuk dalam suasana refleksi tentang Gunung Merapi dengan kehidupan alam dan masyarakatnya.

Para pembaca geguritan dengan iringan seruling dan tembang dolanan serta sinar matahari yang semakin terik itu adalah Zulfa (Anak-Anak Merapi), Ira Irawan (Gunung Merapi Sumbering Kamulyan), dan Agnesia Maya (Anak Merapi).

Sejumlah kelompok anak juga mementaskan tarian tradisional "Campur" di tempat itu sebelum kemudian seluruh peserta prosesi mengikuti pemotongan tumpeng dan makan bersama di alur sungai, dekat cekdam Kali Lamat.

"'Gedhe dhuwur Gunung Merapi. Papane endah gawe tentreming ati. Kebak pangan lan banyu kang nguripi. Warga ereng Merapi wajib jaga kang permati'. (Tinggi dan besar Gunung Merapi. Tempat indah membuat hati tenteram. Penuh pangan dan air melimpah memberi hidup. Masyarakat wajib menjaga Merapi dengan seksama, red.)," begitu salah satu bait geguritan Anak-Anak Merapi yang dibacakan Zulfa yang juga siswi SMA Negeri Dukun itu.

Sedekah Gunung Jagad Bocah Merapi seakan menjadi ikhtiar mereka makin mendalam belajar dan memupuk sikap hidup terhadap alam sekitarnya secara arif dan bijaksana karena Merapi selain sebagai gunung berapi aktif itu juga menjadi penghidupan sehari-hari masyarakat setempat.

"Sedekah Gunung upaya kita menempuh jalan kebudayaan supaya menjadikan anak-anak akrab dengan lingkungan alamnya," kata Sitras Anjilin.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025