"Selama ini, pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan di daerah dirasa kurang maksimal," kata Kasubdit Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Wigati, di Semarang, Senin malam.

Hal itu diungkapkannya di sela Sosialisasi Peraturan Perundangan Tentang Kepercayaan, Adat, dan Tradisi di Hotel Novotel Semarang, diprakarsai Ditjen Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kemendikbud.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya telah melahirkan perundang-undangan yang mengatur kehidupan penghayat kepercayaan di Indonesia, antara lain UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

UU Administrasi Kependudukan itu, kata dia, diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 37/2007 tentang pelaksanaan regulasi itu, seperti untuk pengurusan kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP).

"Misalnya, pencantuman keterangan mengenai kolom agama pada KTP dan KK. Bagi penghayat kepercayaan murni ya tidak diisi atau dikosongi. Itu sudah tertuang dalam UU Administrasi Kependudukan," katanya.

Namun, kata dia, selama ini masih ada aparat pemerintah daerah yang tidak tahu sehingga takut memenuhi hak sipil penghayat kepercayaan, padahal pemenuhan hak sipil sudah diatur jelas dalam regulasi.

Ia mengatakan permasalahan yang paling sering dialami penghayat kepercayaan adalah menyangkut perkawinan dan pemakaman, padahal seharusnya pemenuhan hak sipil mereka dijamin pemda setempat.

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024