Tiga aliran sungai yang menjadi sasaran penelitian tim yang terdiri atas Helmy Murwanto, Sutarto, dan Sutanto itu yakni Sileng, Progo, dan Elo. Penelitian geologi itu terkait dengan temuan sebelumnya bahwa lokasi Candi Borobudur pada masa lampau berupa danau purba.

Danau purba Borobudur dengan pasokan air dari sungai-sungai sekitarnya itu diperkirakan mengering pada akhir abad XIII, antara lain karena endapan lahar dari Gunung Merapi, Merbabu, dan Sumbing, sebagai akibat letusan yang terjadi dalam kurun waktu antara abad X hingga XIII.

"Juga karena endapan piroklastik, hujan abu yang membawa batu-batu apung. Sisa endapan vulkanik itu, antara lain terlihat di Sungai Sileng, Sungai Progo, dan Sungai Elo," kata Helmy yang pengajar Fakultas Teknik Mineral UPN Yogyakarta ketika diwawancara ANTARA di rumahnya di Muntilan, Kabupaten Magelang pada awal Mei 2007.

Endapan secara terus menerus di danau purba Borobudur mengakibatkan sungai-sungai itu "mencari" aliran baru untuk airnya menuju Samudera Indonesia.

Kini, aliran baru sungai itu menjadi keprihatinan sebagian komunitas masyarakat terutama di sekitar Candi Borobudur karena kondisinya kotor oleh sampah rumah tangga dan industri rumahan di kawasan setempat.

Kalangan seniman terutama di kawasan Candi Borobudur mengungkapkan keprihatinan masyarakat atas sungai yang kotor itu melalui performa yang mereka beri nama "Seni untuk Sungai" di bawah Jembatan Sungai Sileng, Dusun Ngaran, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Minggu (11/11).

Ratusan mereka dipimpin dua seniman Borobudur Andretopo dan Aning Purwa berjalan kaki dari halaman "Watujowo Art Studio" Dusun Ngaran sejauh sekitar satu kilometer menuju tepi Sungai Sileng, di bawah jembatan kali itu.

Mereka antara lain mengenakan pakaian kesenian tradisional, mengecat aneka warna melalui lukisan tubuh, dan membawa berbagai properti seperti tumpeng serta jajanan pasar dalam prosesi itu.

Masyarakat setempat dan sejumlah wisatawan nusantara serta mancanegara menyaksikan prosesi dan performa tersebut.

Seorang tokoh masyarakat Magelang yang juga mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Magelang Kiai Haji Achmad Labib Ansori dan seniman musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Memet Chairul Slamet turut dalam prosesi tersebut.

Lokasi sungai di sejumlah tempat, di bawah jembatan menuju perkampungan warga di selatan Candi Borobudur atau di kawasan Pegunungan Menoreh itu telah dipasangi berbagai properti dengan bahan dari sampah terutama berasal dari plastik.

Pada kesempatan tersebut, Kiai Labib yang juga komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah itu membacakan puisi berjudul "Sungai Minta Mati".

"Aliran tersumbat berdarah-darah. Mengalir terseret aniaya. Hilir meranggas hulu luka bernanah. Menjalar tanpa arah, menarik yang tak berdaya. Oh! Mimpi buruk sungai sekarat hampir tenggelam. Bangunlah! Sungai berdarah-darah memohon mati. Tak tahan mendendam memikul kelam. Minta mati! Hingga terkubur tak berarti," demikian puisi itu yang dibacakan Sang Kiai muda itu di tepi Sungai Sileng dengan sampah plastik bertebaran di aliran airnya.

Seorang pemuka agama di Dusun Ngaran, Nur Hadi (70), memimpin semua yang hadir di tepian sungai itu dalam doa secara islami, sedangkan Memet melanjutkan dengan pementasan "Musik Sampah Plastik" yang dipimpinnya dengan melibatkan ratusan seniman muda.

Sebagian lainnya turun ke aliran sungai di sekitar jembatan itu untuk mulai memungut berbagai sampah dan mengumpulkan di tepian kali itu, untuk diangkut truk menuju tempat pembuangan sampah.

Tarian tradisional "Topeng Ireng" oleh Grup Cipto Kawedar Borobudur diiringi tabuhan beberapa alat musik gamelan dan tarian kontemporer desa "Kuda Lumping Grasak Plastik" oleh seniman Sanggar Warangan Merbabu pimpinan Handoko menyemarakkan performa "Seni untuk Sungai" tersebut.

Seorang seniman, Ridwan, menyuguhkan empat puisi pendek masing-masing berjudul "Surat dari Ketua Pemulung", "Sesi Pemotretan", "Tong Sampah Umum", dan "Tempat Sampah Baru", sedangkan seniman Kota Magelang Munir Syalala menyuguhkan musikalisasi puisi "Di Negeri Kaya Raya Kita Punya Apa" dan "Tembang Senja".

Berbagai performa disajikan oleh beberapa komunitas seniman lainnya seperti "Lagrangan", "Pribumi Punya Langit", "Banyu Wening", dan kolaborasi "Ngerek Sampah", dilanjutkan pelepasan ikan serta penaburan bunga di sungai yang memiliki catatan sebagai sungai purba Borobudur itu.

Dalam balutan kecamuk bunyi artistik pada sesi pentas "Musik Sampah Plastik", Aning Purwa yang juga pengelola "Watujowo Art Studio" seakan membacakan gugatan atas sungai Borobudur yang kotor itu dalam judul performa "Kabar dari Borobudur".

"Sungai-sungai masih asri dengan pohon bambu dan jati di sepanjang tepi. Tetapi kawan, limbah pabrik-pabrik tahu milik warga mengalir juga ke sana, kotor, dan bau, dan solusi tak kunjung tiba," demikian penggalan kalimat gugatan yang diucapkan.

Ia pun di tengah riuh rendah suara dari sampah plastik yang dibunyikan para seniman melanjutkan performa itu dengan kalimat gugatan atas polusi di Sungai Sileng.

"Sileng purba tak berdaya. Anak-anak kecil enggan lagi bermain dan berenang dengannya. Mata air pun mengalir bening menyejukkan. Sudah ditata batu bata dan semen pula. Hebatnya, sampah plastik bungkus sabun dan shampo, bungkus odol hingga pempers bekas, berserak di dekatnya. Mata air mata pun merembes keluar dari bumi marah dan pilu," begitu penggalan lain atas kalimat gugatan itu.

Ia juga menyatakan bahwa sampah plastik atau limbah pabrik juga menjadi satu tolok ukur terjadinya kemerosotan budaya dan sumber daya manusia.

Pada zaman modern dengan masyarakat menikmati pendidikan akademis yang tinggi, katanya, masih banyak orang dengan tega hati membuang sampah plastik di sungai.

"Itu berarti melonggarkan budaya membuang sampah di tempatnya dan tentunya ini pelajaran dasar yang bahkan bisa diterapkan oleh anak kecil. Sungguh ironi, tetapi nyata," katanya.

Labib juga mengemukakan bahwa sungai yang sesungguhnya sebagai ikon keindahan alam, ternyata saat ini tak lagi indah karena orang tak peduli terhadap lingkungan.

Padahal, kata pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Tullab, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang itu, kitab suci menuliskan tentang surga dengan antara lain bergambarkan sungai.

"Sungai adalah ikon keindahan. Tetapi di tempat ini, sungai tidak lagi jadi ikon keindahan itu, bau anyir, bau tak sedap. Maka kita harus peduli sungai. Jadikan sungai menjadi bagian hidup sehari-hari. Kita pungut sampah dari sungai, kita tegakkan lagi kepedulian kita kepada sungai, supaya terdengar lagi gemericiknya," katanya.

Andretopo menyebut performa "Seni untuk Sungai" bukan sekadar kerja bakti memungut sampah pengotor Sungai Sileng Borobudur, akan tetapi belajar menyatukan kehidupan manusia dengan alam.

Melalui performa itu, semua orang terkesan hendak dipanggil kepada kesadaran untuk membangun sungai-sungai yang bersih di kawasan Candi Borobudur.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025