Pada keranjang yang dipasang di kanan dan kiri jok sepeda motor Mujamil terdapat jeriken yang berisi air.

"Saya baru cari air di Desa Bojong," katanya.

Menurut dia, musim kemarau yang berkepanjangan ini mengakibatkan warga kesulitan mencari air bersih.

"Kami biasanya mencari air di Desa Kubangkangkung. Namun saat ini air telaga di Kubangkangkung sudah mengering sehingga kami harus mencari air hingga ke Bojong atau Kawunganten," katanya.

Mujamil hanyalah salah satu dari ratusan warga Desa Ujungmanik yang kesulitan air bersih saat musim kemarau sehingga harus mencari air bersih ke desa tetangga atau membuat sumur di tengah sawah yang mengering.

Kepala Desa Ujungmanik Supardan mengatakan, krisis air bersih di desa ini semakin parah karena seluruh sumur milik warga telah mengering.

"Kalaupun masih ada airnya, rasanya payau karena terintrusi air laut dan hanya digunakan untuk mandi atau mencuci," katanya di Ujungmanik, Sabtu (29/9).

Oleh karena itu, kata dia, warga desa ini banyak yang mencari air hingga desa tetangga.

"Ada juga yang membuat sumur di tengah sawah yang mengering. Setiap malam ramai sekali warga yang mengantre air di sumur tengah sawah, jika airnya habis mencari ke desa tetangga," katanya.

Menurut dia, bagi warga yang mampu dapat membeli air dengan harga Rp3.000 per jeriken.

"Ada juga warga yang membeli air dari PDAM dan menjualnya kembali dengan harga Rp5.000 per jeriken," katanya.

Ia mengatakan, beberapa hari lalu pihaknya sebenarnya telah mengusulkan agar jaringan pipa PDAM yang baru terpasang di Desa Ujungmanik dapat dialiri air sehingga bisa membantu warga dari krisis air bersih.

Akan tetapi berdasarkan informasi dari PDAM Cabang Kawunganten, kata dia, air dari Bendung Menganti di Sungai Citanduy yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tidak mampu dipompakan hingga Ujungmanik karena elevasi airnya menurun.

"Saya akhirnya usulkan agar PDAM cukup mengalirkan air ke tandon-tandon air di Desa Ujungmanik jika pompanya tidak mampu mendorong air hingga jaringan rumah tangga. Pihak PDAM akan mencobanya minggu depan," katanya.

Secara terpisah, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Lakhar BPBD) Cilacap Wasi Ariyadi mengatakan, wilayah yang mengalami krisis air bersih di kabupaten ini semakin meluas meskipun belum menjangkau seluruh daerah rawan krisis air bersih maupun kekeringan.

"Hingga saat ini, sebanyak 32 desa yang tersebar di 12 kecamatan mengalami krisis air bersih dan kekeringan dari sekitar 74 desa rawan krisis air bersih maupun kekeringan," katanya.

Menurut dia, pihaknya terus berupaya menyalurkan bantuan air bersih untuk membantu desa-desa yang mengalami krisis air bersih.

Bahkan, kata dia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga siap memberikan bantuan air bersih dan pipa untuk mengoneksikan jaringan air bersih ke masyarakat dengan sumber air baku.

"Berapa besar bantuan yang akan dikucurkan, kami belum tahu. Yang pasti Oktober mulai disalurkan," katanya.

Menurut dia, bantuan dari BNPB ini akan ditujukan kepada masyarakat yang mengalami krisis air bersih terutama di wilayah barat Cilacap seperti Kecamatan Patimuan dan Kedungreja.

"Kami akan membangun jaringan pipa agar bisa mengatasi krisis air bersih yang terjadi setiap musim kemarau. Ini akan dilakukan secara bertahap karena dibantu BNPB," katanya.

Selain menyulitkan warga untuk memenuhi kebutuhan air minum dan memasak, kemarau panjang ini mengakibatkan ribuan hektare sawah di Kabupaten Cilacap kekeringan.

Berdasarkan data Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman Dinas Pertanian Jawa Tengah Wilayah Banyumas, luas sawah di Kabupaten Cilacap mencapai 9.405 hektare.

Sementara berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Cilacap, areal persawahan yang mengalami kekeringan paling luas berada di wilayah barat kabupaten dan tersebar di beberapa kecamatan, yakni Majenang, Kedungreja, Kawunganten, Patimuan, dan Cimanggu.

Kendati mengalami kekeringan, petani di Desa Mulyadadi, Mulyasari, dan Pahonjean, Kecamatan Majenang, berupaya menyelamatkan sawah mereka agar bisa menikmati panen.

Dalam hal ini, mereka membuat bendung darurat secara swadaya di Sungai Cilopadang pada akhir Juni silam sehingga 600 hektare sawah di tiga desa ini dapat diairi dan petani bisa panen padi.

"Alhamdulillah, tanaman padi seluas 600 hektare dapat diselamatkan dan sama sekali tidak ada yang puso," kata Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Majenang Darimun.

Menurut dia, bendung darurat selebar 35 meter yang terbuat dari kayu, bambu, dan tanah itu dibangun dengan dana sekitar Rp80 juta yang bersumber dari iuran para petani yang jumlahnya sekitar 1.500 orang.

Kendati demikian, dia mengharapkan pemerintah segera merealisasikan rencana pembangunan bendung permanen di Sungai Cilopadang dan Sungai Cijalu agar ribuan hektare sawah di Kecamatan Majenang, Cimanggu, dan sekitarnya tidak kekeringan saat musim kemarau.

"Kami mendengar sudah ada rencana pembangunan bendung pada 2013 mendatang. Mudah-mudahan saja benar-benar direalisasikan, sehingga petani tidak perlu membuat bendung darurat saat musim kemarau," katanya.

Lain halnya dengan petani di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, karena mereka tidak bisa mengolah sawahnya akibat kemarau panjang ini.

"Seluruh petani di Desa Tinggarjaya sudah selesai panen dan saat ini kami menunggu hujan agar bisa segera mengolah sawah dan menanam padi. Semoga musim hujan bisa tepat waktu sesuai prakiraan BMKG," kata seorang petani, Martono (50).

Menurut dia, areal persawahan di desa ini sudah terlalu lama menganggur lantaran tidak ada hujan akibat musim kemarau.

Selain itu, kata dia, saluran irigasi yang melintas di areal persawahan Desa Tinggarjaya juga mengering.

Kedatangan musim hujan tepat waktu ini juga diharapkan oleh warga maupun petani di empat kabupaten se-eks Keresidenan Banyumas, yakni Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Harapan tersebut muncul karena kondisi cuaca pada akhir September ini tidak menentu meskipun berdasarkan prakiraan cuaca dari BMKG, sebagian wilayah Jateng bagian selatan telah memasuki masa pancaroba dan beberapa wilayah lainnya telah memasuki awal musim kemarau.

Seorang warga Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Cilacap, Kasdi (36) mengaku khawatir musim kemarau akan berkepanjangan karena hingga penghujung September belum turun hujan dan cuaca cenderung cerah dan suhu udara di siang hari terasa sangat panas.

"Beberapa waktu lalu memang sempat turun hujan meskipun hanya sebentar, namun sekarang tidak lagi walaupun kadang terlihat mendung, selanjutnya cerah. Bahkan, kalau malam terasa dingin kembali tidak seperti beberapa hari lalu yang sempat terasa hangat," katanya.

Menurut dia, kondisi cuaca saat ini sama seperti saat puncak musim kemarau Agustus silam.

Terkait kondisi cuaca yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, prakirawan cuaca Stasiun Meteorologi BMKG Cilacap Teguh Wardoyo mengatakan, awal musim hujan di sebagian wilayah Jawa Tengah bagian selatan berlangsung mundur.

"Wilayah yang awal musim hujannya mundur terutama Kabupaten Cilacap bagian selatan. Berdasarkan prakiraan sebelumnya, Cilacap bagian selatan seharusnya telah memasuki awal musim hujan pada dasarian (10 hari) ketiga September," kata prakirawan cuaca Stasiun Meteorologi Cilacap Teguh Wardoyo, Jumat (28/9).

Menurut dia, mundurnya awal musim hujan di wilayah ini akibat pengaruh dua badai yang terjadi di Samudera Pasifik utara Filipina dan Samudera Pasifik timur laut Filipina.

"Hingga saat ini, badai itu masih ada, yakni badai Selawat di Samudera Pasifik utara Filipina dan badai Efiniar di timur laut Filipina," katanya.

Dengan demikian, kata dia, angin di atas wilayah Jateng selatan khususnya Cilacap bagian selatan bertiup cukup kencang dengan kecepatan hingga 20 knots menuju ke arah pusat badai.

Oleh karena itu, lanjutnya, pertumbuhan awan-awan hujan yang sebenarnya sudah mulai muncul di wilayah Jateng selatan tersapu oleh angin.

"Kondisi ini akhirnya mengakibatkan awal musim hujan di wilayah selatan menjadi mundur, terutama Cilacap bagian selatan. Kalau wilayah lainnya diprakirakan masih tetap pada dasarian pertama dan kedua Oktober," kata dia menegaskan.

Kendati demikian, dia mengatakan, ciri-ciri yang menandakan kedatangan musim hujan sebenarnya sudah mulai tampak, di antaranya dengan kemunculan daerah pusat tekanan rendah di Australia yang tekanannya mencapai 1.013 milibar.

Selain itu, kata dia, pengaruh dua badai yang terjadi di Filipina juga mulai melemah.

"Itu dapat menjadi tanda-tanda musim hujan akan segera datang di wilayah Jateng selatan," katanya.

Oleh karena mengharapkan musim hujan segera datang, warga di berbagai daerah pun menggelar Salat Istiqa maupun ritual guna memohon hujan kepada Tuhan Yang Mahaesa seperti yang digelar warga Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Banjarnegara, Jumat (28/9).

Dalam hal ini, warga setempat menggelar tradisi "Ujungan" atau adu sabet menggunakan rotan.

"Tradisi 'Ujungan' digelar warga setiap kali terjadi kemarau panjang seperti yang terjadi saat ini," kata Kepala Desa Gumelem Wetan Budi Sulistyo.

Menurut dia, tradisi "Ujungan" atau adu sabet menggunakan rotan ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak 1830 di saat Desa Gumelem Wetan dan Desa Gumelem Kulon masih berbentuk Kademangan Gumelem.

Kendati demikian, tradisi "Ujungan" ini tidak diselenggarakan setiap tahun dan hanya digelar saat terjadi kemarau panjang.

Konon, tradisi "Ujungan" ini berawal dari perkelahian antarpetani di Kademangan Gumelem yang memperebutkan air saat musim kemarau sehingga sering kali menimbulkan perselisihan di antara petani dan memakan korban jiwa.

Oleh karena itu, para sesepuh Kademengan Gumelem menggelar upacara "Mujung" yang berarti memohon kepada Tuhan agar diberi hujan sehingga perselisihan antarkelompok petani dapat berakhir setelah hujan turun.

Upacara "Mujung" ini selanjutnya dikenal dengan sebutan "Ujungan".

Meskipun terjadi kemarau panjang, masyarakat tidak bisa sembarangan menggelar "Ujungan", harus melalui musyawarah para tetua adat lebih dulu.

Tradisi "Ujungan" pertarungan dua jago (pemain, red.) yang ditunjuk secara spontan oleh pemangku adat untuk saling memukul dengan sebatang rotan di tengah arena dan diiringi gending Banyumasan.

Warga yang ditunjuk secara spontan untuk bertarung, sebelumnya telah berpuasa "mutih" dengan tidak makan garam atau masakan lainnya yang berasa.

Para pemain "Ujungan" yang akan beradu sabet ini wajib menggunakan pelindung kepala yang terbuat dari kain tebal dan berisi sabut kelapa dengan hiasan ijuk.

Tangan kiri para pemain "Ujungan" juga memakai pelindung dari bahan yang sama dan berfungsi sebagai tameng untuk menahan sabetan rotan lawan maupun untuk menangkis pukulan, sedangkan tangan kanan memegang alat pemukul dari rotan sepanjang 75 centimeter.

Dalam pertarungan adu sabet ini, para pemain hanya diperbolehkan memukul lawan di bagian pinggang ke bawah serta tidak boleh memukul perut, dada, dan kepala.

Pertarungan dalam tradisi "Ujungan" hanya berlangsung satu babak, dan ketika salah seorang pemain terkena pukul atau kesakitan, pertandingan diakhiri.

Para peserta "Ujungan" tidak boleh dendam meskipun terjadi saling serang hingga ada yang terluka dan berlumuran darah.

Setelah Salat Istiqa maupun tradisi "Ujungan" itu digelar di penghujung kemarau, kini masyarakat tinggal menunggu datangnya musim hujan sesuai permohonan mereka kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025