Ratusan warga setempat dan dari beberapa dusun tetangga pun mulai bergerak berjalan kaki merapat ke dekat panggung di bawah tenda, di halaman satu rumah warga setempat. Udara sejuk sore itu menyertai mereka.

Puluhan pedagang aneka makanan dan mainan anak-anak telah lama sebelumnya menggelar dagangan mereka di tepi kanan dan kiri jalan beraspal tak lagi mulus di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.

"Sang abagus jokomudho, miwah tanding jroning yudo. Dhasar gedhe tan kuciwa, tan kendhat nggen nyo semedi. Nyenyadhong sihing Jawoto. Mangkono Sri Narendro," begitu tembang Jawa yang dibawakan wirasuara grup seniman petani Padepokan "Andong Jinawi" bernama Sudi.

Syair tembang itu, artinya kira-kira bahwa para pemuda memiliki keberanian untuk menuntut ilmu sebagai fondasi kehidupan yang baik mereka kelak di kemudian hari agar tidak kecewa. Mereka tidak henti berdoa, tidak lupa kepada Sang Pencipta, dan selalu memohon anugerah Tuhan. Itulah perilaku pemimpin yang baik masyarakat.

"Kami warga dusun ini menggelar 'Tutupan Kesenian'," kata Kepala Dusun Mantran Wetan Handoko.

Tradisi itu digelar secara turun temurun, empat atau lima hari menjelang Ramadhan. Warga setempat yang berkehidupan sebagai petani aneka sayuran di kawasan Gunung Andong itu berjumlah 491 jiwa atau 140 kepala keluarga terdiri atas tiga rukun tetangga.

Seorang sesepuh warga setempat Mujar Subur memulai pementasan dengan membakar kemenyan dan mengucapkan doa di depan meja yang telah penuh dengan aneka sesaji di rumah Pemimpin Padepokan "Andong Jinawi" Supadi Haryono, di samping panggung pementasan.

Berbagai kesenian tradisional mereka dipentaskan pada tradisi "Tutupan Kesenian", setelah wirasuara melantunkan tembang pembuka acara tersebut, antara lain tarian "Kuda Lumping", "Sendratari Sekar Agung", "Topeng Ireng", "Jalanthir", "Jaranan", sedangkan grup kesenian dari dusun tetangga juga menggelar tarian mereka di panggung itu seperti tarian "Cing Cirewe" dan "Krida Yuwono".

Jumlah warga yang merapat mengeliling panggung pementasan semakin banyak. Apalagi setelah Gianto, seorang anggota komunitas seniman petani setempat yang turut membawakan tarian perdana "Jaranan" kesurupan dan digotong masuk rumah Supadi. Ia diberi minum air putih yang diambil dari meja sesaji itu, dan kemudian sadarkan diri.

Beberapa dusun lainnya, sejak beberapa hari terakhir juga menggelar pementasan kesenian tradisional masing-masing menjelang Ramadhan.

"Selama Bulan Puasa kami tidak melakukan pementasan kesenian, baik di dusun kami maupun menerima 'tanggapan'. Ini sesuai dengan ketentuan dusun kami sejak turun temurun, untuk menghormati Ramadhan, supaya kami selama puasa hanya fokus kepada kegiatan keagamaan," katanya.

Dusun Mantran Wetan memiliki satu masjid dan dua mushalla dengan tiga imam yang juga warga setempat, masing-masing Slamet Khusaeni, Bolot Muhdi, dan Bejo.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, pada awal menjalani ibadah puasa Ramadhan, selalu mengikuti pengumuman yang dikeluarkan pemerintah, sedangkan tradisi pentas "Tutupan Kesenian" mereka, selalu setiap empat atau lima hari sebelum Bulan Suci bagi umat Islam itu.

Selama Ramadhan, katanya, masyarakat lebih banyak mengikuti berbagai agenda yang dipusatkan di masjid dan mushala setempat seperti tarawih, tadarus, dan kultum (kuliah tujuh menit). Pada malam tanggal 21 Ramadhan atau bertepatan dengan peringatan Nuzulul Quran, mereka kenduri berupa nasi "ambeng", "golong" ketan, pisang, apem, satai sapi, dan sayuran di rumah kadus setempat, di tepi dusun itu.

"Kalau untuk belanja-belanja baju baru, peci, baju koko, sarung, masih nanti, biasanya mulai pertengahan Bulan Puasa. Sekarang ini fokus untuk puasa dan tetap menggarap tanaman sayuran, sekarang juga sedang musim tanam tembakau," katanya.

Supadi mengatakan, selama satu tahun terakhir, sejak pascalebaran 1432 H (2011 M) hingga beberapa hari menjelang Bulan Puasa 1433 H (2012 M), cukup banyak kelompok seniman petani mendapatkan kesempatan mementaskan berbagai kesenian tradisionalnya.

Pementasan mereka baik di dusun setempat dalam berbagai agenda tradisi desa maupun permintaan masyarakat desa-desa lainnya yang memiliki hajat, yang mereka menyebut sebagai "ditanggap". Bahkan kelompok mereka juga diminta melatih kesenian tradisional beberapa komunitas dari desa-desa tetangga termasuk di wilayah Kabupaten Semarang yang tak jauh dari dusun itu.

Selama 2011, katanya, seniman petani yang dipimpinnya berkesempatan sekitar 25 kali mentas, sedangkan selama 2012 sekitar 40 kali dengan besaran bayaran untuk kas kelompok itu setiap kali pementasan di luar desa bervariasi antara dua juta hingga tiga juta rupiah. Anggota komunitas itu saat ini berjumlah sekitar 85 orang baik penari maupun penabuh gamelan.

"Satu bulan ada yang enam kali pentas, tetapi waktu Bulan Sapar (Kalender Jawa, red.) bisa 15 kali pentas. Selama Bulan Puasa kami istirahat dari pentas, kecuali nanti 'Agustusan' (Peringatan HUT Ke-67 Kemerdekaan RI, red.) kami tetap pentas sekitar satu jam," katanya.

Selama setahun terakhir, katanya, kas kelompok mereka telah dimanfaatkan untuk pengadaan dan pembaruan gamelan serta kostum penari dengan nilai sekitar Rp20 juta rupiah. Selama setahun terakhir ini mereka antara lain membeli saron, demung, gong kempul, kendang, dan organ. Selain itu, kostum tarian "Jalanthir" dan "Topeng Ireng".

Mereka juga sedang memesan kostum baru untuk penari kuda lumping seharga Rp20 juta yang akan mulai digunakan unutk pentas setelah Lebaran 2012.

Tujuh hari setelah Lebaran mendatang yang mereka sebut sebagai waktu halalbihalal, katanya, mereka membuka aktivitas berkesenian lagi untuk selama setahun ke depan. Namun, saat Hari "H" Lebaran, selama sekitar tiga hingga empat jam, mereka menggelar tradisi pementasan kesenian "Jaran Papat".

"Kami akan pakai kostum baru tarian kuda lumping itu untuk Lebaran besok," katanya.

Intensitas warga dusun setempat berkesenian selama setahun itu selalu mereka akhiri dengan tradisi pementasan "Tutupan Kesenian", menjelang Ramadhan.

Bulan Puasa, selain momentum mereka mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui pergulatan takzim persembahyangan selama sebulan penuh, agaknya juga dijadikan saat refleksi atas kiprah warga Mantran Wetan itu dalam menguatkan "mantra" berkeseniannya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025