Aksi unjuk rasa yang diikuti belasan aktivis tersebut dimulai pukul 10.00 WIB dengan menggelar orasi di depan pintu gerbang PT HIT di Jalan KHR Asnawi, Desa Bakalan Krapyak, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.
Menurut Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Pekerja Outsourcing Achmad Fikri, PT HIT atau Polytron merupakan yang terlama dalam menggunakan tenaga kontrak, karena ada yang bekerja selama lima hinga enam tahun statusnya belum berubah.
Selain itu, kata dia, perusahaan tersebut juga menggunakan tenaga alih daya dalam jumlah yang cukup besar karena hampir separuh dari jumlah pekerjanya merupakan alih daya.
Seharusnya, lanjut dia, setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian uji materi UU nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan perusahaan tersebut tidak menggunakan tenaga kontrak untuk pekerjaan inti.
Dengan adanya putusan MK perihal uji materi tersebut, tentunya menjadi napas baru bagi pengaturan hubungan kerja dengan sistem perjanian waktu tertentu maupun tenaga alih daya.
Ia berharap, semua pihak menghormati putusan MK tersebut, demikian halnya PT HIT dan perusahaan lain yang selama ini menggunakan tenaga kontrak.
Dampak penyalahgunaan "outsourcing", kata dia, tidak hanya berdampak pada pengesampingan peraturan perburuhan yang disahkan oleh pemerintah, tetapi membuat para buruh "outsourcing" menjadi tidak jelas masa depannya, karena setiap saat bisa dilakukan pemutusah hubungan kerja dan tidak adanya kejelasan hak pesangon buruh.
Dengan sistem kontrak, katanya, membuat pekerja kehilangan hak-hak jaminan yang bisa diperoleh pekerja tetap, serta fisilitas lain yang seharusnya diterima sesuai masa kerja.
Seharusnya, kata dia, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Kudus melakukan fungsi pengawasannya dengan benar, sehingga pelanggaran serupa tidak terjadi lagi.
Ia berharap, Dinsosnakertrans Kudus juga bertindak tegas terhadap perusahaan yang dinilai melanggar pemanfaatan tenaga "outsourcing", termasuk menindak oknum pengawas yang main mata dengan perusahaan yang diduga melanggar.
Sementara itu, Manajer Human Resource Development (HRD) PT Hartono Istana Teknologi Max Arif Pramono menegaskan, tuduhan adanya pelanggaran dalam pemanfaatan tenaga "outsourcing" tidak benar.
"Bahkan, kami memperlakukan tenaga 'outsourcing' melebihi ketentuan yang ada. Artinya, tingkat kesejahteraan mereka juga menjadi perhatian perusahaan, meskipun statusnya hanya tenaga 'outsourcing'," ujarnya.
Tenaga "outsourcing", katanya, juga mendapatkan jatah makan, seperti halnya pekerja yang berstatus sebagai pekerja tetap.
Beberapa tenaga "outsourcing" yang dinilai memenuhi kualifikasi yang ditentukan perusahaan dan memiliki kinerja yang baik, katanya, ada yang diangkat menjadi pegawai tetap, termasuk ada yang memiliki jabatan tertentu.
Ia mengakui, ada perbedaan persepsi dengan pihak luar, terkait bisnis inti.
Padahal, kata dia, selama ini bisnis inti dari PT HIT tidak ada yang menggunakan tenaga "outsourcing" yang jumlahnya saat ini diperkirakan mencapai 2.500 orang.
Sedangkan pegawai tetap jumlahnya berkisar antara 800 pekerja hingga 1.000 pekerja.
Meskipun sudah ada putusan MK, katanya, petunjuk pelaksanaannya juga belum ada.
"Jika memang ada kekurangan, kami siap melakukan evaluasi dan memperbaikinya, karena selama ini sudah melaksanakan ketentuan dalam pemanfaatan tenaga 'outsourcing'," ujarnya.