Pastor berambut gondrong itu merujuk kepada pembicaraan kalangan tertentu beberapa waktu lalu tentang pentingnya menyiapkan mental dan spiritual masyarakat kawasan barat Daerah Istimewa Yogyakarta terkait dengan rencana pemerintah mengembangkan infrastruktur seperti dermaga dan bandara di daerah itu.

"Bisa dipastikan bakal terjadi perubahan kehidupan masyarakat di Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta, red.) jika kelak bandara dan dermaga jadi dibangun di daerah itu," katanya.

Ia mengemukakan pentingnya menggali kearifan lokal dan memantapkan tradisi budaya setempat supaya kehidupan masyarakat tidak dilibas oleh perubahan hidup yang drastis sebagai dampak perubahan kawasan dari pedesaan dan pinggiran menjadi modern, jika pengembangan infrastruktur tersebut terealisasi.

"Memantapkan nilai-nilai kebudayaan mereka menjadi kebutuhan penting sejak sekarang," katanya.

Romo Agung agaknya ingin mengemukakan bahwa bakal terjadi gegar budaya dialami masyarakat kawasan itu kelak, jika mereka menghadapi perkembangan pesat modernisasi.

Barangkali memang ungkapan berbagi pikiran pastor praja Keuskupan Agung Semarang itu memang tepat dengan momentum malam peluncuran buku berjudul "Tapak Romo Kir, Semangat Budaya Punya Harga Diri" di halaman Gereja Paroki Roh Kudus Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten, sekitar 23 kilometer timur puncak Gunung Merapi.

Buku setebal 273 halaman itu digarap Penerbit Waktoe Magelang bekerja sama dengan Percetakan CV Liana Sanjaya Abadi Jogjakarta, dan Toko Buku Diskon Togamas yang berpusat di Malang, Jawa Timur.

Materi buku dengan gambar sampul Romo Vincentius Kirjito berjalan kaki melewati areal penambangan pasir Gunung Merapi itu, berupa kumpulan tulisan di berbagai media massa baik lokal, nasional, maupun internasional terkait dengan aktivitas kegembalaan selama 10 tahun Romo Kir di kawasan Gunung Merapi, di Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Berbagai tulisan di media massa itu dikumpulkan Romo Kir selama menjadi kepala gereja paroki di kawasan Merapi barat tersebut. Sekitar setahun terakhir, Kirjito menjalani tugas kegembalaan di tempat baru dari Keuskupan Agung Semarang yakni di Gereja Paroki Roh Kudus Kebonarum, Klaten, di kawasan Merapi timur.

Peluncuran buku itu dikemas dalam kegiatan budaya bertajuk "Regol Merapi Timur" yang berlangsung hingga menjelang tengah malam dan ditandai dengan sejumlah pementasan kesenian tradisional serta kontemporer masyarakat setempat, pameran foto "Sedulur Merapi" dan "Natal Sampah Plastik".

Berbagai kalangan hadir pada malam setelah hujan cukup deras mengguyur kawasan itu antara lain Kepala Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Magelang, Yatin, Pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Sitras Anjilin, para tokoh dan umat Katolik Paroki Sumber, belasan biarawati berasal dari tiga ordo yakni Carolus Boromeus, Ursulin, dan Abdi Kristus, para tokoh dan umat Katolik, serta masyarakat Kebonarum.

Selain itu, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Djoko Aswoyo, budayawan Romo Sindhunata, dan Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Mateus Purwatmo.

Mereka yang hadir pada peluncuran buku dengan perancang sampul Damtoz Andreas dilengkapi berbagai foto dokumen yang dikumpulkan Romo Kir baik karya fotografinya maupun relasi persnya itu, selain menikmati suguhan aneka makanan tradisional setempat juga menyaksikan pentas seni "sronthul" dan "wayang limbah".

Pada kesempatan itu pula sejumlah umat berasal dari Desa Ngargomulyo melantunkan tembang berbahasa Jawa karya Sibang, petani setempat, berjudul "Tuk Mancur". Syair lagu itu menggambarkan keelokan Gunung Merapi yang menjadi kekuatan spirit petani setempat untuk menggapai hidup sejahtera, makmur, tenteram, dan damai.

Buku "Tapak Romo Kir" boleh jadi sebagai catatan penting jalan kegembalaan sosok sederhana romo itu, melalui gerakan kebudayaan lokal dalam menyelami kehidupan umat dan masyarakat Merapi dengan berbagai suka, duka, keprihatinan, kegembiraan, optimisme, dan harapan kebaikan atas hidup mereka.

Romo Kir adalah penerima "Maarif Award 2010" karena kerja kemanusiaan melalui inisiatif kepemimpinan tingkat lokal yang berkontribusi terhadap proses pembentukan karakter bangsa.

Apa yang dikerjakan Romo Kir di Merapi barat sebagai pastor desa tak hanya untuk kepentingan umat kristiani setempat tetapi juga kemaslahatan masyarakat umum. Ia berdialog hidup secara luwes dengan berbagai kalangan termasuk lintas iman menggunakan model yang sering disebutnya sebagai "srawung" atau bergaul.

Karya buku yang berupa kumpulan sekitar 70 tulisan para wartawan itu terdiri atas tiga bagian yakni menyangkut masalah ekologi Merapi, gelar budaya, dan spiritualitas. Romo Kir menyebut buku itu dalam tulisan pengantarnya berjudul "Hitung Mundur Lereng Merapi".

"Bukan hanya nostalgia melainkan untuk belajar terus lagi agar menjadi inspirasi dalam hidup di tengah masyarakat," katanya.

Tanpa bermaksud abai terhadap lainnya, di buku itu pula secara khusus Romo Kir menyebut para tokoh yang dinilai penting dalam menyokong karya pastoralnya di Merapi barat.

Mereka antara lain pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, dan Sumbing) Magelang Sutanto Mendut, pengelola Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Sitras Anjilin, dan pimpinan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo K.H. Muhammad Yusuf Chudlori.

Selain itu, Kades Ngargomulyo Yatin dan para tokoh petani serta umat setempat antara lain Longgar, Sutar, Sibang, Suyud, Mbah Kahar, dan Mbah Delan.

Ia berharap, tulisan dalam buku tersebut menjadi pembelajaran siapa saja untuk mencintai alam di negeri yang menjadi zamrud katulistiwa ini.

Hidup, katanya, selalu ada tegangan bahkan terkadang suatu perlawanan. Namun, hal itu tidak dihadapi dengan otot melainkan nalar luhur dan hati damai untuk meraih martabat manusia di hadapan Sang Khalik.

Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang saat ini pengajar sosiologi di SMA Kolese Debrito Yogyakarta, Sumardiyanto, menyebut isi buku tersebut sebagai menarik.

Buku "Tapak Romo Kir" antara lain menyangkut gerakan masyarakat menyikapi penambangan pasir Merapi, eksplorasi tentang air, pergaulan Romo Kir, dan spiritualitas yang mendekatkan warga setempat terhadap gunung berapi di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Kalangan pers telah banyak memublikasikan inspirasi Romo Kir dalam mengelola kearifan lokal, spiritualitas petani, dan kekayaan alam Merapi untuk mengangkat martabat masyarakat setempat yang sebagian besar hidup dari pertanian.

Sumardiyanto yang juga penulis di berbagai media massa itu mengemukakan, Romo Kir telah menjaga berbagai mitos yang telah membuat masyarakat dekat dengan Merapi dan menjadikan gunung berapi aktif itu bagian kehidupan sehari-hari mereka.

Masyarakat Merapi menggunakan kearifannya dalam menyikapi aktivitas vulkanik dan lingkungan alam gunung itu dengan dinamika perkembangannya.

"Romo menjaga mitos mereka, menemukan kebenaran hidup masyarakat Merapi, mengembangkan spiritualitas melalui teologi eksplorasi budaya. Spiritualitas Romo Kir adalah menanam, dan buahnya berupa manfaat bagi masyarakat," katanya.

Pematung dari Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Ismanto, sekitar setahun lalu membuat patung dari batu Gunung Merapi berukuran cukup besar berjudul "Tapak", berupa proporsi kaki Romo Kir. Patung "Tapak" itu sebagai kenangan atas karya kegembalaan selama 10 tahun Kirjito di Merapi barat.

Patung tersebut menghias depan gedung bernama Gubug Selo Merapi, bangunan terbuka berarsitektur kultural Merapi, di kawasan Sungai Senowo yang aliran air berhulu di Gunung Merapi. Barangkali patung telapak kaki itu menjadi salah satu monumen inspirasi pastoral Romo Kir di daerah itu.

Dan kini, telah meluncur jejak-jejak tertulis yang terkumpul dalam buku "Tapak Romo Kir", memasuki tak hanya tempatnya berpastoral di Merapi timur, tetapi diharapkan juga menapakkan inspirasi kepada setiap orang yang berkehendak baik untuk mengangkat martabat kemanusiaan.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025