Kudus (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Kudus, Jawa Tengah, menemukan fakta baru dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi pembangunan Sentra Industri Hasil Tembakau (SIHT) pada paket pekerjaan tanah uruk di Kabupaten Kudus.
"Fakta baru tersebut setelah kami melakukan pemeriksaan saksi baru dari dinas terkait," kata Kepala Kejaksaan Negeri Kudus Henriyadi W. Putro di Kudus, Selasa.
Hal itu, kata dia, yang sedang dialami untuk perkuat bukti sebelumnya karena saksi yang sudah diperiksa sebanyak puluhan orang.
Selain memeriksa saksi baru, pihaknya juga melakukan pemeriksaan kembali terhadap pada tersangka.
Pada tahap penyidikan ini, Kejari Kudus masih berupaya melengkapi bukti. Setelah bukti-bukti dinyatakan lengkap, baru disiapkan ke tahap pertama dari jaksa penyidik kepada jaksa penuntut umum (JPU).
"Setelah dilakukan penelitian atas bukti-bukti yang ada, baru masuk ke tahap dua. Adapun rencana dakwaan juga mulai disiapkan agar pada bulan Februari 2025 bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang," ujarnya.
Diharapkan pula bahwa target tersebut bisa direalisasikan sehingga pada bulan Maret 2025 kasusnya bisa mulai disidangkan.
Sementara itu, dua tersangka kasus dugaan SIHT Kudus berinisial HY selaku konsultan perencana dan AAP pelaksana kegiatan. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka per tanggal 19 Desember 2024 dan dititipkan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Kudus.
Pengungkapan kasus dugaan korupsi tersebut berawal ketika dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan SIHT 2023 terhadap paket pekerjaan tanah padas (tanah uruk) yang memiliki volume 43.223 meter persegi pada Kantor Dinas Tenaga Kerja, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Kudus terdapat dugaan tindak pidana korupsi.
Paket kegiatan tersebut melalui mekanisme katalog elektronik (e-katalog) dengan pemenang yang melakukan kontrak sebesar Rp9,16 miliar dengan harga satuan Rp212.000,00.
Dalam proyek tersebut, pihak ketiga CV Karya Nadika yang mendapatkan pekerjaan dalam penyelesaiannya memborongkan kepada pihak lain berinisial SK dengan nilai proyek sebesar Rp4,04 miliar atau dengan harga satuan Rp93.500,00.
Selanjutnya SK menyerahkan pekerjaan tersebut kepada AK dengan nilai proyek sebesar Rp3,11 miliar dengan harga satuan tanah uruk Rp72.000,00.
Atas penyelesaian pekerjaan tersebut, ditemukan dugaan kerugian negara. Adapun nilai kerugian negara berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sekitar Rp5,25 miliar.
Atas perbuatan kedua tersangka tersebut, mereka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.