Purwokerto (ANTARA) - Pegiat Asosiasi Desa Hutan Gunung Slamet Barat yang juga Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Desa Kemutug Lor, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Akbar Bahaulloh menilai program perhutanan sosial merupakan salah satu upaya pengentasan kemiskinan dan melestarikan lingkungan.

Ditemui di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Ahad, Akbar mengatakan perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat.

Pelaksananya masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan,hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

"Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial," katanya.
 

Dalam program perhutanan sosial, kata dia, masyarakat diberi peluang untuk mengelola hutan dan memanfaatkan sumberdaya hutan dengan cara berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan hutan dan mengembangkan ekonomi masyarakat setempat.

Ia mengatakan melalui program perhutanan sosial, masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengelolaan hutan dan memperoleh penghasilan dari hasil hutan yang dikelola secara berkelanjutan.

Selain itu, kata dia, program perhutanan sosial penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan ekosistem serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, perhutanan sosial juga menjadi Program Strategis Nasional dalam rangka ekonomi pemerataan (ekonomi keadilan) untuk kesenjangan distribusi pemanfaatan sumber daya hutan, yang ditujukan untuk berkontribusi dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

"Oleh karena itu, pemberian akses kelola perhutanan sosial harus aman dan tepat sasaran, di mana masyarakat penerima program ini memiliki kriteria di antaranya masyarakat miskin, berlahan sempit atau tidak memiliki lahan, dan tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan," katanya.

Ia pun mencontohkan beberapa praktik baik oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan, antara lain masyarakat di lereng selatan Gunung Slamet masih menghormati kearifan tradisional dalam pemanfaatan hutan, seperti tidak menebang pohon di dekat mata air, menjaga gotong royong dalam mengatasi kebakaran hutan, memanfaatkan kayu dan nonkayu sebatas untuk memenuhi kebutuhan sendiri, serta memaknai hutan sebagai "rumah" bagi kehidupan.

"Untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Gempita, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, telah merintis wisata alam Curug Jenggala pada tahun 2018, disusul Curug Bayan. Hingga kini, usaha tersebut telah berkontribusi terhadap pemasukan negara melalui bagi hasil kepada Perhutani tidak kurang dari Rp1,5 miliar," katanya.

Dari wisata yang dikembangkan, kata dia, tidak kurang 100 orang rumah tangga petani dan generasi muda telah meningkat ekonominya, bahkan LMDH Gempita juga telah membagikan dana pertanggungjawaban sosial bagi RT, RW, dan Pemerintah Desa Ketenger sebesar Rp1.200.000 per bulan.

Kendati demikian, dia mengakui adanya permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh lembaga/kelompok masyarakat dan pemerintah desa di Kawasan Gunung Slamet khususnya dan Jawa pada umumnya.

"Misalnya, akses permodalan yang belum memadai dari program kementerian atau lembaga maupun perbankan, kapasitas sumber daya manusia kelompok perhutanan sosial yang masih perlu ditingkatkan, dan belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur dana konservasi dan rehabilitasi sebagai mandat dari Pasal 5A ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa," kata Akbar.*
 



Baca juga: Satlantas: Jalur utama di Banyumas siap dilalui pemudik saat Nataru

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Heru Suyitno
Copyright © ANTARA 2024