Purwokerto (ANTARA) - Popularitas tidak selalu berkorelasi positif dengan keberlanjutan. Inilah ironi yang kini dihadapi pariwisata Indonesia, khususnya Bali, setelah masuk dalam FODOR's No List 2025.
Daftar yang dirilis oleh salah satu otoritas panduan perjalanan paling berpengaruh di dunia ini bukan sekadar peringatan sederhana, melainkan cermin dari kompleksitas tantangan yang dihadapi destinasi wisata populer dalam menyeimbangkan pertumbuhan dengan keberlanjutan.
FODOR's menyoroti masalah krusial di Bali: pembangunan yang tidak terkendali akibat overtourism telah menggerus habitat alami, mengikis warisan lingkungan dan budaya, serta menciptakan "bencana plastik" yang mengkhawatirkan. Peringatan ini seharusnya menjadi momentum introspeksi mendalam bagi pengelolaan pariwisata Indonesia yang selama ini lebih berfokus pada pencapaian target kuantitatif ketimbang aspek kualitatif dan keberlanjutan.
Ironinya, Bali justru mengalami lonjakan kunjungan wisatawan pasca-pandemi, seolah mengabaikan peringatan tentang daya dukung lingkungan yang semakin tertekan. Fenomena ini mencerminkan dilema klasik dalam industri pariwisata: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan ekonomi dengan imperatif keberlanjutan lingkungan dan sosial-budaya.
Situasi ini menuntut perubahan paradigma fundamental dalam pengelolaan pariwisata Indonesia. Kita perlu bergeser dari model pariwisata massal yang berorientasi volume menuju pariwisata berkualitas yang memprioritaskan nilai tambah, pengalaman otentik, dan keberlanjutan. Transformasi ini bukan pilihan, melainkan keharusan jika Indonesia ingin mempertahankan daya tarik destinasi wisatanya dalam jangka panjang sekaligus melindungi aset alam dan budaya yang menjadi magnet utama wisatawan.
Realitas yang mengkhawatirkan
Angka-angka statistik terkini memperlihatkan paradoks yang mengkhawatirkan dalam industri pariwisata Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan lonjakan drastis kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali, mencapai 5,3 juta pengunjung pada 2023 dan terus meningkat 22% dalam tujuh bulan pertama 2024. Pertumbuhan ini, yang seringkali dirayakan sebagai indikator kesuksesan, justru menyembunyikan realitas yang mengkhawatirkan tentang daya dukung lingkungan.
Temuan The Bali Partnership mengungkap fakta mencengangkan: dari 1,6 juta ton limbah yang dihasilkan setiap tahun di Bali, hanya 48% yang terkelola dengan baik. Lebih mengkhawatirkan lagi, dari 303.000 ton sampah plastik, hanya 7% yang terdaur ulang. Artinya, sekitar 33.000 ton sampah plastik setiap tahun berakhir mencemari sungai, pantai, dan lingkungan laut Bali. Kristin Winkaffe, pakar pariwisata berkelanjutan untuk Asia Tenggara, yang dikutip oleh FODOR’s No List menegaskan bahwa sistem pengelolaan limbah Bali nyaris tidak mampu mengimbangi volume sampah yang dihasilkan.
Situasi ini diperparah dengan masalah infrastruktur yang tidak memadai. Laporan Bank Pembangunan Asia mengindikasikan bahwa kualitas air pesisir Indonesia mengalami tekanan serius akibat polutan. Hanya 59% populasi yang memiliki akses ke sanitasi yang layak, menciptakan tekanan antropogenik yang signifikan pada sistem air alami lokal. World Wildlife Fund (WWF) telah lama mengkritisi boom pariwisata Bali yang berkembang tanpa perencanaan matang dan mengabaikan kaidah pembangunan berkelanjutan. Akibatnya, ekosistem Bali kini berada dalam posisi sangat rentan. Tanpa intervensi signifikan, kita berisiko kehilangan area-area alami Bali yang paling berharga secara permanen.
Urgensi transformasi menuju pariwisata berkelanjutan
Memasuki era pasca-pandemi, urgensi transformasi menuju pariwisata berkelanjutan menjadi semakin mendesak. Mengacu pada konsep pariwisata berkelanjutan yang dikembangkan oleh UNWTO, setidaknya ada tiga pilar fundamental yang harus menjadi fokus transformasi pariwisata Indonesia.
Pertama, keberlanjutan lingkungan yang menjamin pelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Kedua, keberlanjutan sosial-budaya yang menghormati nilai-nilai lokal dan melibatkan masyarakat setempat. Ketiga, keberlanjutan ekonomi yang memastikan distribusi manfaat ekonomi secara adil.
Tantangan terbesar dalam mewujudkan pariwisata berkualitas di Indonesia adalah mengubah paradigma dari sekadar mengejar kuantitas wisatawan menjadi fokus pada kualitas pengalaman wisata dan dampak positif bagi masyarakat lokal. Marta Soligo, asisten profesor dari University of Nevada, Las Vegas, menggarisbawahi bahwa kritik terhadap "imperatif pertumbuhan ekonomi" yang didorong oleh korporasi dan operator tur dari negara-negara Barat sering mengabaikan keberlanjutan jangka panjang dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Praktik pariwisata yang tidak berkelanjutan telah menimbulkan dampak serius pada sistem irigasi tradisional subak di Bali, yang telah mendukung persawahan selama berabad-abad. Kristin Winkaffe menekankan bahwa overtourism tidak hanya mengancam pemandangan alam yang indah, tetapi juga berisiko menghilangkan identitas budaya itu sendiri. Tanpa perubahan fundamental, kita tidak hanya kehilangan daya tarik wisata, tetapi juga warisan budaya tak tergantikan.
Transformasi ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah, pelaku industri, masyarakat lokal, dan wisatawan harus bergerak bersama dalam kerangka keberlanjutan yang jelas. Tanpa komitmen bersama ini, upaya transformasi hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi nyata.
Langkah strategis menuju solusi
Mengatasi kompleksitas tantangan pariwisata Indonesia membutuhkan serangkaian langkah strategis yang komprehensif dan terukur.
Pertama, penguatan regulasi dan implementasi menjadi fondasi penting. Indonesia perlu mengembangkan kerangka regulasi yang lebih ketat mengenai carrying capacity destinasi wisata. Pembatasan jumlah kunjungan wisatawan pada lokasi-lokasi tertentu harus diterapkan secara konsisten, didukung dengan sistem monitoring real-time dan penegakan aturan yang tegas. Sistem perizinan pembangunan fasilitas wisata juga harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, termasuk kajian dampak lingkungan yang lebih ketat.
Kedua, inovasi pengelolaan limbah harus menjadi prioritas mendesak. Pengembangan sistem pengelolaan limbah terintegrasi yang mengadopsi teknologi modern perlu segera direalisasikan. Kolaborasi dengan startup teknologi lingkungan dan pemberdayaan komunitas lokal dalam pengelolaan sampah dapat menjadi solusi efektif. Program seperti Sungai Watch yang telah membuktikan efektivitasnya perlu diperluas dan didukung penuh oleh pemerintah dengan pendanaan yang memadai.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi inti dari setiap inisiatif pengembangan pariwisata. Program pelatihan keterampilan, akses permodalan, dan pemberdayaan UMKM pariwisata perlu diperkuat untuk memastikan manfaat ekonomi tersebar merata. Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam setiap tahap pengambilan keputusan, dari perencanaan hingga implementasi.
Keempat, diversifikasi destinasi wisata harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan sejak awal. Pengembangan destinasi alternatif di luar Bali perlu dipercepat untuk mengurangi tekanan overtourism, namun dengan pembelajaran dari kesalahan masa lalu.
Terakhir, edukasi wisatawan melalui program yang sistematis dan terstruktur tentang praktik wisata ramah lingkungan dan penghormatan terhadap budaya lokal harus menjadi bagian integral dari pengalaman wisata di Indonesia.
Peran Multipihak dalam Transformasi
Transformasi menuju pariwisata berkualitas membutuhkan kolaborasi aktif berbagai pemangku kepentingan dalam kerangka yang terstruktur dan terkoordinasi. Pemerintah pusat dan daerah harus menyelaraskan kebijakan dan implementasi di lapangan, menghindari tumpang tindih kewenangan yang selama ini sering menghambat efektivitas program. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu memperkuat koordinasi dengan kementerian terkait lainnya, terutama dalam aspek lingkungan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat.
Sektor swasta dituntut mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan yang melampaui sekadar kepatuhan regulasi. Pelaku industri pariwisata, dari hotel hingga operator tur, harus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam model bisnis mereka. Ini termasuk investasi dalam teknologi ramah lingkungan, pengembangan program pemberdayaan masyarakat lokal, dan komitmen pada praktik bisnis yang etis.
Masyarakat lokal harus diberdayakan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan destinasi wisata. Pengetahuan tradisional dan kearifan lokal perlu diintegrasikan dengan pendekatan modern dalam pengelolaan pariwisata. Program-program pemberdayaan harus dirancang untuk menciptakan kemandirian ekonomi jangka panjang, bukan ketergantungan pada bantuan.
Peran akademisi dan lembaga penelitian sangat vital dalam menyediakan basis ilmiah untuk pengambilan kebijakan. Riset-riset terapan tentang daya dukung lingkungan, dampak sosial-ekonomi, dan model pengelolaan berkelanjutan harus diperkuat.
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil berperan penting dalam advokasi kebijakan dan menjembatani kepentingan berbagai pihak.
Sementara itu media massa memiliki tanggung jawab strategis dalam membangun kesadaran publik tentang pariwisata berkelanjutan. Pemberitaan yang berimbang dan mendalam tentang isu-isu keberlanjutan dapat membantu membentuk opini publik dan mendorong perubahan perilaku, baik di kalangan pelaku industri maupun wisatawan.
Peluang di balik tantangan
Masuknya Bali dalam FODOR's No List 2025 seharusnya tidak dilihat semata sebagai vonis, melainkan momentum berharga untuk melakukan transformasi fundamental. Pengalaman berbagai destinasi wisata dunia menunjukkan bahwa transformasi menuju pariwisata berkelanjutan, meski menantang, justru dapat menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi dalam jangka panjang. Bhutan misalnya, dengan kebijakan "High Value, Low Impact Tourism" telah berhasil memposisikan diri sebagai destinasi premium yang tetap menjaga kelestarian alam dan budayanya.
Beberapa praktik baik di tingkat lokal telah menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan lebih luas. Inisiatif desa wisata berkelanjutan seperti yang dikembangkan di Desa Penglipuran, Bali, membuktikan bahwa pariwisata berbasis komunitas dapat memberikan manfaat ekonomi signifikan sekaligus melestarikan budaya lokal. Program konservasi berbasis masyarakat di Taman Nasional Komodo juga mendemonstrasikan bagaimana keseimbangan antara konservasi dan pariwisata dapat dicapai.
Kemampuan Indonesia mengembangkan destinasi wisata premium seperti Labuan Bajo menunjukkan bahwa fokus pada kualitas bukan hal mustahil. Strategi pembatasan jumlah pengunjung dan penerapan tarif tinggi justru menciptakan nilai tambah lebih besar bagi ekonomi lokal. Model serupa dapat diadaptasi untuk destinasi wisata lain dengan mempertimbangkan karakteristik dan daya dukung masing-masing wilayah.
Krisis ini juga membuka peluang untuk akselerasi adopsi teknologi hijau dalam industri pariwisata. Dari sistem pengelolaan limbah pintar hingga platform digital untuk monitoring dampak lingkungan, inovasi teknologi dapat menjadi katalis transformasi menuju pariwisata berkelanjutan. Kolaborasi dengan startup teknologi lingkungan dan lembaga riset dapat membuka perspektif baru dalam mengatasi tantangan keberlanjutan pariwisata.
Momentum untuk perubahan
FODOR's No List 2025 harus menjadi titik balik bagi transformasi pariwisata Indonesia menuju model yang lebih berkelanjutan dan berkualitas. Momentum ini tidak boleh disia-siakan, mengingat konsekuensi dari kelambanan bertindak akan jauh lebih berat - tidak hanya bagi industri pariwisata tetapi juga bagi kelestarian alam dan warisan budaya Indonesia.
Pandemi COVID-19 telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya membangun ketahanan dalam industri pariwisata. Saat ini, ketika pariwisata global mulai pulih, Indonesia memiliki kesempatan unik untuk "membangun kembali dengan lebih baik" (build back better). Ketimbang kembali ke model pariwisata massal pra-pandemi yang telah terbukti tidak berkelanjutan, kita bisa mengarahkan pemulihan menuju pariwisata yang lebih bertanggung jawab dan berkualitas.
Yang dipertaruhkan bukan sekadar nilai ekonomi jangka pendek, tetapi keberlanjutan industri pariwisata itu sendiri. Tanpa perubahan fundamental, destinasi wisata populer seperti Bali berisiko kehilangan daya tariknya secara permanen. World Wildlife Fund memperingatkan bahwa tanpa intervensi signifikan, beberapa area paling berharga di Bali terancam hilang selamanya akibat degradasi lingkungan yang berkelanjutan.
Transformasi ini membutuhkan komitmen politik yang kuat dan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang mungkin tidak populer dalam jangka pendek namun krusial untuk keberlanjutan jangka panjang. Pelaku industri perlu mengadopsi model bisnis yang lebih bertanggung jawab, sementara wisatawan harus mulai mempertimbangkan dampak kunjungan mereka terhadap destinasi wisata.
Masa depan pariwisata Indonesia akan ditentukan oleh keberanian kita mengambil langkah-langkah transformatif hari ini. Peringatan dari FODOR's harus menjadi katalis perubahan, bukan sekadar headline yang berlalu tanpa makna.
*) Dr. Muhammad Yamin. M.Si, Dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Jenderal Soedirman sekaligus Pemerhati Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dalam Perspektif Ekonomi Politik Internasional.