Magelang (ANTARA) - Seniman berasal dari lokasi Festival Lima Gunung XXIII/2024 Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kabupaten Magelang, Anton Prabowo, performa gerak seni dari tempatnya bekerja di Pretoria, Afrika Selatan untuk mendukung agenda seni budaya di kampung halamannya itu.
"Saya membuat performa gerak tarian untuk konten video, untuk mendukung kegiatan festival yang sedang berlangsung di kampung halaman saya di Keron, konten saya 'upload' di akun Instagram saya," katanya dalam kontak dengan ANTARA di Magelang, Jawa Tengah, Minggu pagi.
Dia melakukan performa gerak tarian dengan judul "Obah Kowal-Kawil" di area Vortrekker Monument Museum di Pretoria, Afrika Selatan, sedangkan konten video karya itu lalu diunggah di akunnya, @Anton Paskawongso.
Sejak 2021, beberapa waktu setelah lulus dari kuliah jurusan tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ia bekerja sebagai Technical Staff untuk Promosi Budaya dan Pariwisata Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pretoria untuk Afrika Selatan.
Selama masih berada di kampung halaman dan kuliah di ISI Yogyakarta, ia aktif berkesenian bersama grup seniman dusunnya "Sanggar Saujana Keron", termasuk dalam Festival Lima Gunung yang diselenggarakan setiap tahun secara mandiri atau tanpa sponsor, oleh Komunitas Lima Gunung. Komunitas itu berbasis grup-grup seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang.
Puncak rangkaian Festival Lima Gunung XXIII selama 25-29 September 2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Dusun itu telah tiga kali menjadi lokasi festival, yakni pada 2011, 2016, dan 2024. Komunitas seniman petani didirikan budayawan Magelang Sutanto Mendut (77) itu, menggelar acara festival setiap tahun, termasuk saat pandemi COVID-19, dengan lokasi berpindah-pindah di dusun-dusun basis KLG.
Pada festival tahun ini dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", tercatat sedikitnya 120-an kelompok seniman dengan total sekitar 2.000 personel menggelar pementasan di tempat bernama "Panggung Semut Ireng" di tengah dusun tersebut. Mereka berasal dari grup-grup di KLG, desa-desa sekitar Keron dan Magelang, sejumlah kota di Indonesia dan beberapa negara. Berbagai agenda pementasan pada puncak festival, antara lain tarian, musik, wayang, performa seni, pameran foto, melukis "on the spot", pembacaan puisi, teater, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.
Anton mengaku meskipun tidak dapat hadir secara langsung pada puncak Festival Lima Gunung, tetap ingin menjadi bagian dari hajatan rutin Komunitas Lima Gunung tersebut.
"Sejak zaman dulu saya selalu terlibat dalam pementasan Festival Lima Gunung, entah itu jadi pengisi acara ataupun panitia pelaksana, jadi tahun ini pun tetap harus berpartisipasi,” ujar dia.
Para ibu Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Kabupaten Magelang, Jateng mementaskan tarian "Topeng Ireng" di "Panggung Semut Ireng" Festival Lima Gunung di Magelang, Sabtu (28/9/2024) sore. ANTARA/Hari Atmoko
Performa seni dilakukan dia di Pretoria dalam konten video berdurasi 02.26 menit itu, dimulai dengan sepenggal syair tembang Pangkur yang sering menjadi suluk tentang pentingnya manusia menyepi untuk mendapat ilham, dibawakan dalang saat mementaskan wayang.
Selain itu, ia yang mengenakan pakaian berupa surjan hitam, berkain motif batik, bertopi dan kacamata hitam melakukan performa gerak tari dengan gaya Jawa. Perekaman performa di area museum itu dilakukan pada Sabtu (28/9).
Ia berharap, Festival Lima Gunung dapat terus menjadi kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk selalu tanggap dengan kondisi perubahan zaman yang semakin tidak terprediksi.
Ia juga mengaku peranan kuat Komunitas Lima Gunung bagi pembentukan dirinya sebagai seniman yang menjadi jalan kehidupannya saat ini di luar negeri.
Ketua Komunitas Lima Gunung yang juga Ketua Sanggar Saujana Keron, Sujono, mengatakan dari tempatnya bekerja, Anton juga turut mendukung warga setempat dalam menyiapkan berbagai keperluan dusun untuk lokasi festival tersebut.
Para warga dari dusun-dusun tetangga Keron di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu itu, katanya, juga terlibat menyukseskan festival tersebut.
Ia menyebut Festival Lima Gunung menjadi daya tarik masyarakat sekitar lokasi acara dan jejaring KLG dari berbagai tempat terlibat untuk kesuksesan acara tersebut.
"Ini membuktikan nilai-nilai budaya desa yang terus dijaga" ujar dia.
Baca juga: KLG mengkirab Penghargaan Akademi Jakarta pada Festival Lima Gunung
"Saya membuat performa gerak tarian untuk konten video, untuk mendukung kegiatan festival yang sedang berlangsung di kampung halaman saya di Keron, konten saya 'upload' di akun Instagram saya," katanya dalam kontak dengan ANTARA di Magelang, Jawa Tengah, Minggu pagi.
Dia melakukan performa gerak tarian dengan judul "Obah Kowal-Kawil" di area Vortrekker Monument Museum di Pretoria, Afrika Selatan, sedangkan konten video karya itu lalu diunggah di akunnya, @Anton Paskawongso.
Sejak 2021, beberapa waktu setelah lulus dari kuliah jurusan tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ia bekerja sebagai Technical Staff untuk Promosi Budaya dan Pariwisata Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pretoria untuk Afrika Selatan.
Selama masih berada di kampung halaman dan kuliah di ISI Yogyakarta, ia aktif berkesenian bersama grup seniman dusunnya "Sanggar Saujana Keron", termasuk dalam Festival Lima Gunung yang diselenggarakan setiap tahun secara mandiri atau tanpa sponsor, oleh Komunitas Lima Gunung. Komunitas itu berbasis grup-grup seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang.
Puncak rangkaian Festival Lima Gunung XXIII selama 25-29 September 2024 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Dusun itu telah tiga kali menjadi lokasi festival, yakni pada 2011, 2016, dan 2024. Komunitas seniman petani didirikan budayawan Magelang Sutanto Mendut (77) itu, menggelar acara festival setiap tahun, termasuk saat pandemi COVID-19, dengan lokasi berpindah-pindah di dusun-dusun basis KLG.
Pada festival tahun ini dengan tema "Wolak-Waliking Jaman Kelakone", tercatat sedikitnya 120-an kelompok seniman dengan total sekitar 2.000 personel menggelar pementasan di tempat bernama "Panggung Semut Ireng" di tengah dusun tersebut. Mereka berasal dari grup-grup di KLG, desa-desa sekitar Keron dan Magelang, sejumlah kota di Indonesia dan beberapa negara. Berbagai agenda pementasan pada puncak festival, antara lain tarian, musik, wayang, performa seni, pameran foto, melukis "on the spot", pembacaan puisi, teater, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.
Anton mengaku meskipun tidak dapat hadir secara langsung pada puncak Festival Lima Gunung, tetap ingin menjadi bagian dari hajatan rutin Komunitas Lima Gunung tersebut.
"Sejak zaman dulu saya selalu terlibat dalam pementasan Festival Lima Gunung, entah itu jadi pengisi acara ataupun panitia pelaksana, jadi tahun ini pun tetap harus berpartisipasi,” ujar dia.
Performa seni dilakukan dia di Pretoria dalam konten video berdurasi 02.26 menit itu, dimulai dengan sepenggal syair tembang Pangkur yang sering menjadi suluk tentang pentingnya manusia menyepi untuk mendapat ilham, dibawakan dalang saat mementaskan wayang.
Selain itu, ia yang mengenakan pakaian berupa surjan hitam, berkain motif batik, bertopi dan kacamata hitam melakukan performa gerak tari dengan gaya Jawa. Perekaman performa di area museum itu dilakukan pada Sabtu (28/9).
Ia berharap, Festival Lima Gunung dapat terus menjadi kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk selalu tanggap dengan kondisi perubahan zaman yang semakin tidak terprediksi.
Ia juga mengaku peranan kuat Komunitas Lima Gunung bagi pembentukan dirinya sebagai seniman yang menjadi jalan kehidupannya saat ini di luar negeri.
Ketua Komunitas Lima Gunung yang juga Ketua Sanggar Saujana Keron, Sujono, mengatakan dari tempatnya bekerja, Anton juga turut mendukung warga setempat dalam menyiapkan berbagai keperluan dusun untuk lokasi festival tersebut.
Para warga dari dusun-dusun tetangga Keron di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu itu, katanya, juga terlibat menyukseskan festival tersebut.
Ia menyebut Festival Lima Gunung menjadi daya tarik masyarakat sekitar lokasi acara dan jejaring KLG dari berbagai tempat terlibat untuk kesuksesan acara tersebut.
"Ini membuktikan nilai-nilai budaya desa yang terus dijaga" ujar dia.
Baca juga: KLG mengkirab Penghargaan Akademi Jakarta pada Festival Lima Gunung