Purwokerto (ANTARA) - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq mengatakan pemilihan kepala daerah (pilkada) ulang menjadi pilihan terbaik jika kotak kosong menang pada Pilkada 2024.
"Memang harus diulang kalau kemudian kotak kosongnya yang menang, agar terpilih kepala daerah yang definitif, yang memang hasil pemilihan langsung masyarakat melalui pilkada, bukan orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penjabat kepala daerah," kata Ahmad Sabiq di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Kendati demikian, dia mengakui ketika pilkada diulang kemungkinan akan banyak persoalan yang muncul, misalnya terkait dengan anggaran pilkada yang harus dianggarkan lagi.
Selain itu, kata dia, antusiasme masyarakat dalam pilkada tidak menutup kemungkinan akan mengalami penurunan jika prosesnya berlarut-larut.
"Masyarakat itu menjadi jenuh dengan proses itu. Ya, artinya pada saat proses itu harus diulang dengan pilkada lagi, itu membuat sumber daya yang terkuras ke situ," kata Ketua Laboratorium Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Menurut dia, pilkada ulang juga menjadi satu kesempatan bagi partai-partai politik untuk memunculkan pasangan calon (paslon) agar ketika pelaksanaan pilkada ulang tidak lagi hanya diikuti satu paslon yang melawan kotak kosong.
Ia mengatakan ketika pilkada diulang berarti seperti dimulai dari awal, sehingga hal itu melecut partai-partai politik agar kemudian tidak hanya membebek di satu paslon saja.
Dengan demikian, kata dia, parpol bisa memunculkan opsi yang cukup bervariasi bagi masyarakat, sehingga ketika pilkada diulang tidak lagi melawan kotak kosong.
"Kalau diulang hanya melawan kotak kosong, ya sama saja seperti keledai jatuh dua kali di lubang yang sama. Nanti kalau kotak kosongnya yang menang lagi, bagaimana," kata pengampu mata kuliah Teori Parpol dan Sistem Pemilu itu.
Terkait dengan masa jabatan kepala daerah yang terpilih dalam pilkada ulang, dia mengatakan jika konsisten dengan pilkada serentak, yang bersangkutan harus mau memaklumi masa jabatannya tidak genap lima tahun seperti halnya kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020.
Menurut dia, hal itu merupakan kondisi khusus sehingga harus dimaklumi sebagai konsekuensi politik bagi siapa pun yang kemudian mencalonkan diri pada pilkada ulang.
"Kalau masa jabatannya dipenuhi lima tahun, nanti mengganggu siklus pilkada serentak," katanya.
Baca juga: Akademisi Unsoed ini masuk daftar Top 2% World Ranking Scientist
Lebih lanjut, dia mengatakan jika pilkada sampai diulang, berarti kesalahan utama ada di partai-partai politik karena tidak bisa menunjukkan marwah dari partai politiknya.
Jika berani membuat partai politik, kata dia, berarti harus berani untuk mengusung kader-kadernya dalam pilkada agar bisa menempatkan mereka pada jabatan publik dan tidak memberi opsi yang sangat terbatas dengan adanya calon tunggal.
"Jadi, jika kotak kosong menang, memang harus diulang, masak dipimpin terus sama penjabat kepala daerah selama lima tahun itu ya tidak sehat juga, ya tidak aspiratif kalau pemimpin tidak dipilih oleh rakyat," kata Sabiq.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9), disepakati penyelenggaraan pilkada ulang jika kotak kosong menang di Pilkada 2024 dilaksanakan pada September 2025.
Dalam hal ini, syarat pilkada ulang adalah daerah dengan satu pasangan calon kepala dan wakil daerah tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen.
Salah satu daerah yang pelaksanaan Pilkada 2024 pada 27 November mendatang hanya diikuti satu pasangan calon adalah Kabupaten Banyumas.
Baca juga: Rektor Unsoed: Pencegahan kekerasan seksual harus libatkan semua pihak
Baca juga: Anggota DPD RI ajak Unsoed tingkatkan peran dalam pembangunan
"Memang harus diulang kalau kemudian kotak kosongnya yang menang, agar terpilih kepala daerah yang definitif, yang memang hasil pemilihan langsung masyarakat melalui pilkada, bukan orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penjabat kepala daerah," kata Ahmad Sabiq di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Kendati demikian, dia mengakui ketika pilkada diulang kemungkinan akan banyak persoalan yang muncul, misalnya terkait dengan anggaran pilkada yang harus dianggarkan lagi.
Selain itu, kata dia, antusiasme masyarakat dalam pilkada tidak menutup kemungkinan akan mengalami penurunan jika prosesnya berlarut-larut.
"Masyarakat itu menjadi jenuh dengan proses itu. Ya, artinya pada saat proses itu harus diulang dengan pilkada lagi, itu membuat sumber daya yang terkuras ke situ," kata Ketua Laboratorium Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Menurut dia, pilkada ulang juga menjadi satu kesempatan bagi partai-partai politik untuk memunculkan pasangan calon (paslon) agar ketika pelaksanaan pilkada ulang tidak lagi hanya diikuti satu paslon yang melawan kotak kosong.
Ia mengatakan ketika pilkada diulang berarti seperti dimulai dari awal, sehingga hal itu melecut partai-partai politik agar kemudian tidak hanya membebek di satu paslon saja.
Dengan demikian, kata dia, parpol bisa memunculkan opsi yang cukup bervariasi bagi masyarakat, sehingga ketika pilkada diulang tidak lagi melawan kotak kosong.
"Kalau diulang hanya melawan kotak kosong, ya sama saja seperti keledai jatuh dua kali di lubang yang sama. Nanti kalau kotak kosongnya yang menang lagi, bagaimana," kata pengampu mata kuliah Teori Parpol dan Sistem Pemilu itu.
Terkait dengan masa jabatan kepala daerah yang terpilih dalam pilkada ulang, dia mengatakan jika konsisten dengan pilkada serentak, yang bersangkutan harus mau memaklumi masa jabatannya tidak genap lima tahun seperti halnya kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020.
Menurut dia, hal itu merupakan kondisi khusus sehingga harus dimaklumi sebagai konsekuensi politik bagi siapa pun yang kemudian mencalonkan diri pada pilkada ulang.
"Kalau masa jabatannya dipenuhi lima tahun, nanti mengganggu siklus pilkada serentak," katanya.
Baca juga: Akademisi Unsoed ini masuk daftar Top 2% World Ranking Scientist
Lebih lanjut, dia mengatakan jika pilkada sampai diulang, berarti kesalahan utama ada di partai-partai politik karena tidak bisa menunjukkan marwah dari partai politiknya.
Jika berani membuat partai politik, kata dia, berarti harus berani untuk mengusung kader-kadernya dalam pilkada agar bisa menempatkan mereka pada jabatan publik dan tidak memberi opsi yang sangat terbatas dengan adanya calon tunggal.
"Jadi, jika kotak kosong menang, memang harus diulang, masak dipimpin terus sama penjabat kepala daerah selama lima tahun itu ya tidak sehat juga, ya tidak aspiratif kalau pemimpin tidak dipilih oleh rakyat," kata Sabiq.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9), disepakati penyelenggaraan pilkada ulang jika kotak kosong menang di Pilkada 2024 dilaksanakan pada September 2025.
Dalam hal ini, syarat pilkada ulang adalah daerah dengan satu pasangan calon kepala dan wakil daerah tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen.
Salah satu daerah yang pelaksanaan Pilkada 2024 pada 27 November mendatang hanya diikuti satu pasangan calon adalah Kabupaten Banyumas.
Baca juga: Rektor Unsoed: Pencegahan kekerasan seksual harus libatkan semua pihak
Baca juga: Anggota DPD RI ajak Unsoed tingkatkan peran dalam pembangunan