Banda Aceh (ANTARA) - Setiap daerah tentu memiliki makanan, camilan, atau jajanan khas, termasuk Aceh sebagai daerah di Indonesia yang sarat dengan keanekaragaman budaya warisan leluhur.
Kebetulan, Aceh menjadi tuan rumah pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 bersama dengan provinsi tetangga, Sumatra Utara, yang membuat banyak orang berdatangan dari berbagai daerah.
ANTARA yang meliput ajang multicabang olahraga bergengsi tingkat nasional itu, mencoba menyempatkan waktu berkeliling di pusat Kota Banda Aceh yang terdapat Masjid Raya Baiturrahman.
Persis di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, ternyata tampak deretan lapak pedagang kaki lima yang masing-masing menggantungkan tandan buah pinang sehingga terlihat sangat mencolok.
Ternyata, mereka adalah penjual ranub atau ada juga yang menyebut ranup. Ranup adalah lintingan daun sirih yang berisi pinang, baik pinang tua maupun pinang yang sudah diolah.
Ada dua jenis ranub, yakni ranub manis yang berisi olahan pinang masak, dicampur kencur, kacang tanah, dan sejumlah rempah dan gula pasir.
Satu lagi, ranub pahit yang hanya berisi potongan pinang tua diberi gambir dan kapur sirih, kemudian dibungkus daun sirih yang diikat dengan cengkeh.
Perbedaan bentuk ranub pahit (kiri) dan ranub manis, yang jadi camilan unik khas Aceh. ANTARA/Zuhdiar Laeis
Sebagai camilan khas, jangan dibayangkan jika ranub seperti jajanan atau makanan biasanya yang memiliki cita rasa yang cocok di lidah sebagian besar atau umumnya orang.
Ranub memang unik, hampir seperti pinang yang juga menjadi camilan khas masyarakat Papua, yang biasanya langsung dikunyah dicampur kapur sirih yang membuat lidah dan air liur menjadi merah.
Cara mengonsumsi ranub pun juga nyaris sama karena memang berisi buah pinang, yakni dikunyah seperti biasa, kemudian disesap di dalam mulut seperti permen, dan jika sudah lunak bisa ditelan.
Yang tak terbiasa, rasanya memang agak getir. Bagi pemula, tak salah kalau mencoba dulu ranub manis yang rasanya masih cukup bersahabat di lidah meski masih menyisakan rasa pahit.
Bagi yang cukup berani, boleh saja langsung mencoba ranub pahit. Memang rasanya lebih pahit dan getir, namun bagi yang tidak kuat dan tidak tahan terkadang bisa membuat sakit kepala.
"Kalau yang ini (ranub pahit, red.), yang tak biasa bisa buat pening kepala. Coba ini saja yang ranup manis," kata Sakdiah (34), salah seorang penjual ranub di Banda Aceh, menyarankan.
Sakdiah yang akrab disapa Cut Ranub, adalah generasi kedua yang meneruskan usaha sang ibunda berjualan ranub di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Kebetulan, ibundanya pulang kampung ke Aceh Utara sehingga dirinya meneruskan usaha keluarganya setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) pada 2010 lalu.
Sarana memuliakan tamu
Kalau ranub pahit tak perlu banyak diolah, namun ranub manis memerlukan waktu lama dan proses panjang untuk mengolahnya, mulai menumbuk pinang, menyangrai, merebus, dan mencampurnya dengan berbagai rempah plus gula pasir.
"Ada kalau (waktu, red.) 3--4 jam membuatnya. Diolahnya dari pinang masak, dipotong, kemudian ditumbuk, disangrai, dicampur gula pasir sama kencur, kacang tanah. Direbus juga," jelas perempuan ramah itu, sembari sesekali melayani pembeli.
Dijelaskan ibu dua anak itu, ranub sebenarnya camilan yang wajib disajikan untuk kegiatan di kalangan masyarakat Aceh, seperti lamaran, pernikahan, atau menyambut tamu.
Ranub akan dihidangkan dalam wadah-wadah yang sudah dihias, dan beberapa ornamen hias untuk keperluan acara juga dibuat dari daun sirih yang dibentuk berbagai model.
Baik ranub manis maupun pahit, seolah menjadi makanan atau hantaran wajib yang harus ada dalam setiap hajatan, seperti perkawinan, hajatan sunat, hingga ketika ada kedukaan atau kematian.
Sebagaimana ditulis Agung Suryo Setyantoro dalam bukunya berjudul "Ranup pada Masyarakat Aceh" yang diterbitkan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh tahun 2009, tradisi makan ranub dalam tradisi masyarakat Aceh merupakan warisan budaya silam lebih dari 300 tahun lalu.
Pada masa kesultanan Aceh, ranub memainkan peranan penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi semata, melainkan juga dipergunakan dalam upacara-upacara kebesaran sultan.
Ternyata, ranub memiliki berbagai makna bagi masyarakat Aceh, yakni simbol pemuliaan tamu yang terlihat jelas dari kesenian tari ranub lam puan maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukkan kepada tamu, besan, dan juga orang-orang yang dihormati.
Pada upacara pernikahan, tepatnya saat kedua belah pihak keluarga mempelai menyepakati tanggal pernikahan, maka pihak calon pengantin laki-laki akan mendatangi rumah pihak calon pengantin perempuan dengan membawa ranub kong haba (sirih penguat kata) sebagai lambang perjanjian kawin atau pertunangan.
Ranub juga menjadi simbol perdamaian dan kehangatan sosial yang tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuk, meu-uroh, dan upacara lainnya.
"Ranub melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, seia sekata, hidup rukun dan damai, 'sapeu kheun ngon buet' (satu kata dengan perbuatan)," tulisnya dalam buku setebal 141 halaman itu.
Kemudian, ranub sebagai media komunikasi sosial sehingga banyak orang mengistilahkan dengan ranub sigapu yang berarti sebagai pembuka komunikasi.
Makna ranub secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan dan lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh.
Meski sudah berlangsung ratusan tahun lalu, ranub ternyata masih bertahan menjadi tradisi masyarakat Aceh yang sampai sekarang bisa dijumpai dan dipergunakan dalam berbagai kegiatan maupun untuk dikonsumsi pribadi.
Namun, penjual ranub di Banda Aceh hanya terpusat di satu titik, yakni samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh berbaur dengan para pedagang kaki lima (PKL) lainnya.
Berkhasiat untuk kesehatan
Bakhtiar bin Jalil (57), penjual ranub di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh mengakui bahwa penjual ranub memang terpusat di lokasi tersebut.
Dulu, ada banyak sekali penjual ranub di kawasan tersebut, tetapi sekarang ini mungkin tinggal tersisa 12--13 orang yang masih setia menjual jajanan khas warisan nenek moyang itu.
Harganya pun murah, rata-rata penjual melepas setiap tiga ranub, baik manis maupun pahit dengan harga Rp2.000.
Setiap hari, Bakhtiar yang tinggal di Gampong Jawa, Banda Aceh itu, berjualan ranub dari pagi, bergantian dengan sang istri yang meneruskan mulai sore hingga malam.
Tak hanya ranub, Bakhtiar dan para penjual di kawasan itu juga menyediakan daun sirih segar yang dijualnya dengan harga sekitar Rp10.000 berisi 50 lembar daun.
Ada pula buah pinang, baik segar maupun kering yang dipercaya memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan.
Di berbagai artikel kesehatan, buah pinang memang disebutkan memiliki segudang manfaat, antara lain menjaga kesehatan gigi dan mulut, menyehatkan pencernaan, jantung, kulit, hingga meningkatkan vitalitas.
Namun, beberapa referensi juga menyampaikan bahwa mengonsumsi buah pinang secara berlebihan juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan.
Bapak tiga anak yang telah berjualan ranub sejak 2005 itu pun menjelaskan berbagai manfaat kesehatan dari mengonsumsi ranub maupun buah pinang secara langsung.
"Kebetulan, saya juga menyediakan yang sudah berbentuk bubuk. Kalau yang bubuk ini bisa langsung diseduh dengan air untuk 5--6 kali minum," kata Mukhlis yang kebetulan jadi sekretaris kelompok pedagang ranub itu.
Selama ini, banyak orang Aceh yang mengonsumsi ranub, baik laki-laki maupun perempuan karena sudah menjadi tradisi sekaligus untuk menjaga kesehatan.
"Buah pinang ini baik untuk kesehatan lambung dan vitalitas. Selain orang Aceh, yang sering beli pinang ini orang Papua. Kebetulan kan ada yang berkuliah di sini (Aceh, red.)," ujarnya.
Boyaki (33), warga Merduati, Banda Aceh yang kebetulan tengah membeli ranub di kios Bakhtiar, mengaku selama ini rutin mengonsumsi camilan khas Aceh itu.
Bahkan, ayah satu anak itu bisa dipastikan seminggu sekali datang untuk membeli ranub di samping masjid yang jadi ikon kebanggaan masyarakat Aceh tersebut.
Ranub adalah warisan budaya nenek moyang yang sampai saat ini masih cukup mengakar kuat di kalangan masyarakat Aceh sehingga menjadi tugas generasi muda untuk melestarikan camilan ikonik itu agar tak lekang terhempas perkembangan zaman.
Editor: Achmad Zaenal M
Kebetulan, Aceh menjadi tuan rumah pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 bersama dengan provinsi tetangga, Sumatra Utara, yang membuat banyak orang berdatangan dari berbagai daerah.
ANTARA yang meliput ajang multicabang olahraga bergengsi tingkat nasional itu, mencoba menyempatkan waktu berkeliling di pusat Kota Banda Aceh yang terdapat Masjid Raya Baiturrahman.
Persis di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, ternyata tampak deretan lapak pedagang kaki lima yang masing-masing menggantungkan tandan buah pinang sehingga terlihat sangat mencolok.
Ternyata, mereka adalah penjual ranub atau ada juga yang menyebut ranup. Ranup adalah lintingan daun sirih yang berisi pinang, baik pinang tua maupun pinang yang sudah diolah.
Ada dua jenis ranub, yakni ranub manis yang berisi olahan pinang masak, dicampur kencur, kacang tanah, dan sejumlah rempah dan gula pasir.
Satu lagi, ranub pahit yang hanya berisi potongan pinang tua diberi gambir dan kapur sirih, kemudian dibungkus daun sirih yang diikat dengan cengkeh.
Sebagai camilan khas, jangan dibayangkan jika ranub seperti jajanan atau makanan biasanya yang memiliki cita rasa yang cocok di lidah sebagian besar atau umumnya orang.
Ranub memang unik, hampir seperti pinang yang juga menjadi camilan khas masyarakat Papua, yang biasanya langsung dikunyah dicampur kapur sirih yang membuat lidah dan air liur menjadi merah.
Cara mengonsumsi ranub pun juga nyaris sama karena memang berisi buah pinang, yakni dikunyah seperti biasa, kemudian disesap di dalam mulut seperti permen, dan jika sudah lunak bisa ditelan.
Yang tak terbiasa, rasanya memang agak getir. Bagi pemula, tak salah kalau mencoba dulu ranub manis yang rasanya masih cukup bersahabat di lidah meski masih menyisakan rasa pahit.
Bagi yang cukup berani, boleh saja langsung mencoba ranub pahit. Memang rasanya lebih pahit dan getir, namun bagi yang tidak kuat dan tidak tahan terkadang bisa membuat sakit kepala.
"Kalau yang ini (ranub pahit, red.), yang tak biasa bisa buat pening kepala. Coba ini saja yang ranup manis," kata Sakdiah (34), salah seorang penjual ranub di Banda Aceh, menyarankan.
Sakdiah yang akrab disapa Cut Ranub, adalah generasi kedua yang meneruskan usaha sang ibunda berjualan ranub di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Kebetulan, ibundanya pulang kampung ke Aceh Utara sehingga dirinya meneruskan usaha keluarganya setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) pada 2010 lalu.
Sarana memuliakan tamu
Kalau ranub pahit tak perlu banyak diolah, namun ranub manis memerlukan waktu lama dan proses panjang untuk mengolahnya, mulai menumbuk pinang, menyangrai, merebus, dan mencampurnya dengan berbagai rempah plus gula pasir.
"Ada kalau (waktu, red.) 3--4 jam membuatnya. Diolahnya dari pinang masak, dipotong, kemudian ditumbuk, disangrai, dicampur gula pasir sama kencur, kacang tanah. Direbus juga," jelas perempuan ramah itu, sembari sesekali melayani pembeli.
Dijelaskan ibu dua anak itu, ranub sebenarnya camilan yang wajib disajikan untuk kegiatan di kalangan masyarakat Aceh, seperti lamaran, pernikahan, atau menyambut tamu.
Ranub akan dihidangkan dalam wadah-wadah yang sudah dihias, dan beberapa ornamen hias untuk keperluan acara juga dibuat dari daun sirih yang dibentuk berbagai model.
Baik ranub manis maupun pahit, seolah menjadi makanan atau hantaran wajib yang harus ada dalam setiap hajatan, seperti perkawinan, hajatan sunat, hingga ketika ada kedukaan atau kematian.
Sebagaimana ditulis Agung Suryo Setyantoro dalam bukunya berjudul "Ranup pada Masyarakat Aceh" yang diterbitkan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh tahun 2009, tradisi makan ranub dalam tradisi masyarakat Aceh merupakan warisan budaya silam lebih dari 300 tahun lalu.
Pada masa kesultanan Aceh, ranub memainkan peranan penting bukan hanya sebagai bahan konsumsi semata, melainkan juga dipergunakan dalam upacara-upacara kebesaran sultan.
Ternyata, ranub memiliki berbagai makna bagi masyarakat Aceh, yakni simbol pemuliaan tamu yang terlihat jelas dari kesenian tari ranub lam puan maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukkan kepada tamu, besan, dan juga orang-orang yang dihormati.
Pada upacara pernikahan, tepatnya saat kedua belah pihak keluarga mempelai menyepakati tanggal pernikahan, maka pihak calon pengantin laki-laki akan mendatangi rumah pihak calon pengantin perempuan dengan membawa ranub kong haba (sirih penguat kata) sebagai lambang perjanjian kawin atau pertunangan.
Ranub juga menjadi simbol perdamaian dan kehangatan sosial yang tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuk, meu-uroh, dan upacara lainnya.
"Ranub melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, seia sekata, hidup rukun dan damai, 'sapeu kheun ngon buet' (satu kata dengan perbuatan)," tulisnya dalam buku setebal 141 halaman itu.
Kemudian, ranub sebagai media komunikasi sosial sehingga banyak orang mengistilahkan dengan ranub sigapu yang berarti sebagai pembuka komunikasi.
Makna ranub secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan dan lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh.
Meski sudah berlangsung ratusan tahun lalu, ranub ternyata masih bertahan menjadi tradisi masyarakat Aceh yang sampai sekarang bisa dijumpai dan dipergunakan dalam berbagai kegiatan maupun untuk dikonsumsi pribadi.
Namun, penjual ranub di Banda Aceh hanya terpusat di satu titik, yakni samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh berbaur dengan para pedagang kaki lima (PKL) lainnya.
Berkhasiat untuk kesehatan
Bakhtiar bin Jalil (57), penjual ranub di samping Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh mengakui bahwa penjual ranub memang terpusat di lokasi tersebut.
Dulu, ada banyak sekali penjual ranub di kawasan tersebut, tetapi sekarang ini mungkin tinggal tersisa 12--13 orang yang masih setia menjual jajanan khas warisan nenek moyang itu.
Harganya pun murah, rata-rata penjual melepas setiap tiga ranub, baik manis maupun pahit dengan harga Rp2.000.
Setiap hari, Bakhtiar yang tinggal di Gampong Jawa, Banda Aceh itu, berjualan ranub dari pagi, bergantian dengan sang istri yang meneruskan mulai sore hingga malam.
Tak hanya ranub, Bakhtiar dan para penjual di kawasan itu juga menyediakan daun sirih segar yang dijualnya dengan harga sekitar Rp10.000 berisi 50 lembar daun.
Ada pula buah pinang, baik segar maupun kering yang dipercaya memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan.
Di berbagai artikel kesehatan, buah pinang memang disebutkan memiliki segudang manfaat, antara lain menjaga kesehatan gigi dan mulut, menyehatkan pencernaan, jantung, kulit, hingga meningkatkan vitalitas.
Namun, beberapa referensi juga menyampaikan bahwa mengonsumsi buah pinang secara berlebihan juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan.
Bapak tiga anak yang telah berjualan ranub sejak 2005 itu pun menjelaskan berbagai manfaat kesehatan dari mengonsumsi ranub maupun buah pinang secara langsung.
"Kebetulan, saya juga menyediakan yang sudah berbentuk bubuk. Kalau yang bubuk ini bisa langsung diseduh dengan air untuk 5--6 kali minum," kata Mukhlis yang kebetulan jadi sekretaris kelompok pedagang ranub itu.
Selama ini, banyak orang Aceh yang mengonsumsi ranub, baik laki-laki maupun perempuan karena sudah menjadi tradisi sekaligus untuk menjaga kesehatan.
"Buah pinang ini baik untuk kesehatan lambung dan vitalitas. Selain orang Aceh, yang sering beli pinang ini orang Papua. Kebetulan kan ada yang berkuliah di sini (Aceh, red.)," ujarnya.
Boyaki (33), warga Merduati, Banda Aceh yang kebetulan tengah membeli ranub di kios Bakhtiar, mengaku selama ini rutin mengonsumsi camilan khas Aceh itu.
Bahkan, ayah satu anak itu bisa dipastikan seminggu sekali datang untuk membeli ranub di samping masjid yang jadi ikon kebanggaan masyarakat Aceh tersebut.
Ranub adalah warisan budaya nenek moyang yang sampai saat ini masih cukup mengakar kuat di kalangan masyarakat Aceh sehingga menjadi tugas generasi muda untuk melestarikan camilan ikonik itu agar tak lekang terhempas perkembangan zaman.
Editor: Achmad Zaenal M