Semarang (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk membuat "food station lab" sebagai upaya penguatan produksi pertanian di wilayah tersebut.
"Kami memang kerja sama dengan BRIN bagaimana bisa menyiapkan atau menyediakan bahan-bahan makanan dan produk (pertanian, Red.) dari Kota Semarang," kata Wali Kota Semarang Hevearita Guanryanti Rahayu, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat.
Dengan "food station lab" yang menempati Balai Benih Perikanan dan Pertanian, kata dia, nantinya akan dilakukan riset-riset mengenai pengembangan komoditas pertanian di Kota Semarang.
Ita, sapaan akrab Hevearita mengatakan, ketersediaan lahan pertanian di Kota Semarang memang terbatas, tetapi jika dimaksimalkan maka hasilnya akan membantu mencukupi kebutuhan pangan.
"Kalau dimaksimalkan kan lumayan. Ada 30 ribu hektare lahan yang bisa dimanfaatkan. BRIN ini punya 150 periset. Kenapa tidak dimanfaatkan?" kata perempuan pertama yang jadi Wali Kota Semarang itu pula.
Melalui riset itu, ia berharap bisa membantu pengembangan pertanian, misalnya varietas sayuran, seperti bawang merah, cabai, tomat yang tahan hama dan cocok ditanam di Kota Semarang.
Ia mencontohkan lahan produktif di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang yang dikembangkan untuk uji coba budi daya bawang merah yang hasilnya mencapai 16,5 ton per hektare.
"Bawang merah yang ditanam petani di MAJT hasilnya 16,5 ton per ha untuk bawang basah, kemudian 9,3 ton per ha untuk (kondisi, red.) kering. Sedangkan di Brebes saja hanya 12 ton per ha," katanya lagi.
Demikian pula cabai merah saat dilakukan panen di Gedawang, kata dia, ternyata hasilnya tidak kalah dengan cabai merah yang selama ini dipasok dari petani di Bandungan, Kabupaten Semarang.
"Jadi, 'food station lab' ini nanti misalnya bagaimana kalau Gedawang bagus (ditanam, Red.) cabai, ya sudah cabai. Gunungpati yang petani milenial misalnya selada, ya selada saja. Jangan di-'gebyah uyah' semua ditanam," katanya pula.
Artinya, kata dia, setiap wilayah tentunya memiliki potensi komoditas tersendiri yang bisa dikembangkan disesuaikan dengan kontur tanah dan kondisi geografis masing-masing.
Ita mengatakan bahwa pondok-pondok pesantren di Kota Semarang juga banyak dan memiliki lahan yang cukup luas untuk pengembangan pertanian, misalnya bawang merah, cabai, dan tomat.
"Ponpes di Semarang ini kan banyak sekali dan tanahnya luas. Bagaimana ini bisa ditanami (pertanian, Red.). Ini akan dilakukan untuk menggerakkan santri atau petani milenial," katanya lagi.
Baca juga: Wali Kota Semarang: Ruang kerja bersama BRIN fasilitasi riset daerah
"Kami memang kerja sama dengan BRIN bagaimana bisa menyiapkan atau menyediakan bahan-bahan makanan dan produk (pertanian, Red.) dari Kota Semarang," kata Wali Kota Semarang Hevearita Guanryanti Rahayu, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat.
Dengan "food station lab" yang menempati Balai Benih Perikanan dan Pertanian, kata dia, nantinya akan dilakukan riset-riset mengenai pengembangan komoditas pertanian di Kota Semarang.
Ita, sapaan akrab Hevearita mengatakan, ketersediaan lahan pertanian di Kota Semarang memang terbatas, tetapi jika dimaksimalkan maka hasilnya akan membantu mencukupi kebutuhan pangan.
"Kalau dimaksimalkan kan lumayan. Ada 30 ribu hektare lahan yang bisa dimanfaatkan. BRIN ini punya 150 periset. Kenapa tidak dimanfaatkan?" kata perempuan pertama yang jadi Wali Kota Semarang itu pula.
Melalui riset itu, ia berharap bisa membantu pengembangan pertanian, misalnya varietas sayuran, seperti bawang merah, cabai, tomat yang tahan hama dan cocok ditanam di Kota Semarang.
Ia mencontohkan lahan produktif di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang yang dikembangkan untuk uji coba budi daya bawang merah yang hasilnya mencapai 16,5 ton per hektare.
"Bawang merah yang ditanam petani di MAJT hasilnya 16,5 ton per ha untuk bawang basah, kemudian 9,3 ton per ha untuk (kondisi, red.) kering. Sedangkan di Brebes saja hanya 12 ton per ha," katanya lagi.
Demikian pula cabai merah saat dilakukan panen di Gedawang, kata dia, ternyata hasilnya tidak kalah dengan cabai merah yang selama ini dipasok dari petani di Bandungan, Kabupaten Semarang.
"Jadi, 'food station lab' ini nanti misalnya bagaimana kalau Gedawang bagus (ditanam, Red.) cabai, ya sudah cabai. Gunungpati yang petani milenial misalnya selada, ya selada saja. Jangan di-'gebyah uyah' semua ditanam," katanya pula.
Artinya, kata dia, setiap wilayah tentunya memiliki potensi komoditas tersendiri yang bisa dikembangkan disesuaikan dengan kontur tanah dan kondisi geografis masing-masing.
Ita mengatakan bahwa pondok-pondok pesantren di Kota Semarang juga banyak dan memiliki lahan yang cukup luas untuk pengembangan pertanian, misalnya bawang merah, cabai, dan tomat.
"Ponpes di Semarang ini kan banyak sekali dan tanahnya luas. Bagaimana ini bisa ditanami (pertanian, Red.). Ini akan dilakukan untuk menggerakkan santri atau petani milenial," katanya lagi.
Baca juga: Wali Kota Semarang: Ruang kerja bersama BRIN fasilitasi riset daerah