Semarang (ANTARA) - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah berpartisipasi langsung pada Festival Merek Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di Kompleks Kementerian Hukum dan HAM, sejak hari Senin hingga Rabu, 23-25 Oktober 2023.
Dalam festival ini, DJKI menampilkan berbagai rangkaian acara, di antaranya pameran produk indikasi geografis terdaftar, pameran produk merek lokal, talk show kekayaan intelektual, pameran waralaba dan temu bisnis, musik, hiburan, serta layanan konsultasi dan fasilitasi kekayaan intelektual untuk permohonan.
Festival Merek Indonesia yang digelar di Lapangan Kementerian Hukum dan HAM bertujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan merek lokal serta layanan konsultasi merek bagi peserta dan masyarakat umum.
Pada event itu, Kanwil Kemenkumham Jateng memperkenalkan produk lokal batik tulis Lasem. Batik ini merupakan perpaduan budaya Jawa, Tionghoa, Arab, dan Eropa, yang saat ini sudah diajukan permohonan Indikasi Geografis ke DJKI, dan sudah pada tahap pemeriksaan substantif.
Berdasarkan pantauan selama 2 hari berjalan, animo masyarakat terhadap batik Lasem sangat tinggi. Hal ini, dibuktikan dengan terjualnya batik tulis Lasem sebanyak 50 batik dari 100 batik yang di bawa oleh Tim Kanwil Jawa Tengah.
Pelaku usaha batik tulis Lasem mengucapkan banyak terima kasih kepada DJKI karena dengan adanya kegiatan yang di selenggarakan DJKI mampu memberi ruang dan wadah para pengusaha batik tulis Lasem untuk terus berkembang dan melestarikan budaya Indonesia.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang kaya akan budaya terus berupaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk lokal sehingga dapat pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan hukum tersebut.
Dengan dilaksanakannya Festival Merek 2023 ini diharapkan semakin meningkatkan kesadaran para pelaku usaha untuk memanfaatkan perlindungan merek.
Merek kolektif yang telah diajukan pada tahun ini secara nyata telah melibatkan lebih dari 2.000 pelaku usaha. Hal ini memiliki potensi untuk menggerakkan perekonomian nasional.
Sebagai informasi, dilansir dari The Asian Parents, sejarah mencatat bahwa munculnya batik Lasem melekat dengan Laksamana Cheng Ho. Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Laksamana Cheng Ho juga masyarakat Tionghoa pada masanya.
Dalam Babad Lasem (Kisah Lasem) yang ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah pada tahun 1858, dikisahkan bahwa Bi Nang Un selaku anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Tionghoa bersama istrinya Na Li Ni memutuskan untuk tinggal di Bonang, Jawa Tengah.
Dari babad tersebut diyakini bahwa Na Li Ni atau Si Putri Campa adalah orang pertama yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an.
Produksi batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya.
Na Li Ni terus membatik hingga hasil batiknya dikirim ke seluruh wilayah Nusantara oleh para pedagang menggunakan kapal. Berkat keunikan motifnya, pada awal abad ke-19 batik Lasem mengalami masa jaya sampai berhasil diekspor hingga ke Thailand dan Suriname.
Jelang 1970-an, batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Merujuk laman National Geographic, terungkap fakta bahwa industri batik pada tahun 1970-an mencapai titik tertinggi hingga mencapai 144 perusahaan batik dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan batik tulis Lasem di seluruh Kabupaten Rembang. ***
Dalam festival ini, DJKI menampilkan berbagai rangkaian acara, di antaranya pameran produk indikasi geografis terdaftar, pameran produk merek lokal, talk show kekayaan intelektual, pameran waralaba dan temu bisnis, musik, hiburan, serta layanan konsultasi dan fasilitasi kekayaan intelektual untuk permohonan.
Festival Merek Indonesia yang digelar di Lapangan Kementerian Hukum dan HAM bertujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan merek lokal serta layanan konsultasi merek bagi peserta dan masyarakat umum.
Pada event itu, Kanwil Kemenkumham Jateng memperkenalkan produk lokal batik tulis Lasem. Batik ini merupakan perpaduan budaya Jawa, Tionghoa, Arab, dan Eropa, yang saat ini sudah diajukan permohonan Indikasi Geografis ke DJKI, dan sudah pada tahap pemeriksaan substantif.
Berdasarkan pantauan selama 2 hari berjalan, animo masyarakat terhadap batik Lasem sangat tinggi. Hal ini, dibuktikan dengan terjualnya batik tulis Lasem sebanyak 50 batik dari 100 batik yang di bawa oleh Tim Kanwil Jawa Tengah.
Pelaku usaha batik tulis Lasem mengucapkan banyak terima kasih kepada DJKI karena dengan adanya kegiatan yang di selenggarakan DJKI mampu memberi ruang dan wadah para pengusaha batik tulis Lasem untuk terus berkembang dan melestarikan budaya Indonesia.
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi yang kaya akan budaya terus berupaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk lokal sehingga dapat pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perlindungan hukum tersebut.
Dengan dilaksanakannya Festival Merek 2023 ini diharapkan semakin meningkatkan kesadaran para pelaku usaha untuk memanfaatkan perlindungan merek.
Merek kolektif yang telah diajukan pada tahun ini secara nyata telah melibatkan lebih dari 2.000 pelaku usaha. Hal ini memiliki potensi untuk menggerakkan perekonomian nasional.
Sebagai informasi, dilansir dari The Asian Parents, sejarah mencatat bahwa munculnya batik Lasem melekat dengan Laksamana Cheng Ho. Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Laksamana Cheng Ho juga masyarakat Tionghoa pada masanya.
Dalam Babad Lasem (Kisah Lasem) yang ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah pada tahun 1858, dikisahkan bahwa Bi Nang Un selaku anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Tionghoa bersama istrinya Na Li Ni memutuskan untuk tinggal di Bonang, Jawa Tengah.
Dari babad tersebut diyakini bahwa Na Li Ni atau Si Putri Campa adalah orang pertama yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an.
Produksi batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya.
Na Li Ni terus membatik hingga hasil batiknya dikirim ke seluruh wilayah Nusantara oleh para pedagang menggunakan kapal. Berkat keunikan motifnya, pada awal abad ke-19 batik Lasem mengalami masa jaya sampai berhasil diekspor hingga ke Thailand dan Suriname.
Jelang 1970-an, batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Merujuk laman National Geographic, terungkap fakta bahwa industri batik pada tahun 1970-an mencapai titik tertinggi hingga mencapai 144 perusahaan batik dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan batik tulis Lasem di seluruh Kabupaten Rembang. ***