Semarang (ANTARA) - Pakar lingkungan Universitas Diponegoro Semarang Prof Sudharto P Hadi menilai bahwa penanganan banjir di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kota Semarang masih sebatas menanggulangi pada sisi gejala.
"Banjir ini kan tidak hanya Semarang ya, hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Ada di Jakarta, Bandung juga. Umumnya, baru ditanggulangi dari sisi gejalanya atau fenomena di hilir," katanya di Semarang, Sabtu.
Penanganan gejala yang dimaksudkannya, antara lain normalisasi sungai dan penguatan tanggul sungai yang sebenarnya merupakan upaya untuk menambah kapasitas atau daya tampung air di hilir.
Ia menganalogikan dengan penanganan kemacetan lalu lintas melalui penambahan dan perluasan lebar jalan yang tujuannya untuk meningkatkan daya tampung jalan, tetapi sumber kemacetannya belum tersentuh.
"Padahal, perkara banjir ini ya. Sumbernya kan alih fungsi lahan. Itu ada di hulu dan tengah, mesti pengendalian tata ruang," kata penerima tanda kehormatan Bintang Tanda Jasa Pratama tersebut.
Diakui mantan Rektor Undip tersebut, pengendalian tata ruang belum dilakukan secara tegas, padahal lingkungan perlu ditata, dan jika ada kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan bisa dihentikan.
Menurut dia, pengendalian tata ruang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjaga kelestarian lingkungan.
"Di dalam Pasal 17 UU 32/2009 disebutkan bahwa kegiatan yang menimbulkan terlampaunya daya dukung lingkungan harus dihentikan. Kegiatan apapun, termasuk investasi sekalipun," katanya.
Selain itu, Sudharto mengingatkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan pemerintah daerah sendirian, sebab pengelolaan lingkungan berbasis ekosistem yang memerlukan koordinasi antardaerah.
"Kota Semarang tidak bisa menyelesaikan sendiri. Makanya, harus bersama-sama dengan Ungaran (Kabupaten Semarang). Selama ini langkahnya (penanganan) kan menukik ke fenomena banjir," katanya.
Akibatnya, kata Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip tersebut, fenomena banjir yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, baik dari intensitas maupun luasan wilayah yang terdampak.
"Perlu dilakukan 're-mapping'. Mana untuk ruang terbuka, mana yang tidak boleh dibangun. Jadi, pembangunan dilakukan menyesuaikan dengan alam, bukan memaksa alam," kata Sudharto.
"Banjir ini kan tidak hanya Semarang ya, hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Ada di Jakarta, Bandung juga. Umumnya, baru ditanggulangi dari sisi gejalanya atau fenomena di hilir," katanya di Semarang, Sabtu.
Penanganan gejala yang dimaksudkannya, antara lain normalisasi sungai dan penguatan tanggul sungai yang sebenarnya merupakan upaya untuk menambah kapasitas atau daya tampung air di hilir.
Ia menganalogikan dengan penanganan kemacetan lalu lintas melalui penambahan dan perluasan lebar jalan yang tujuannya untuk meningkatkan daya tampung jalan, tetapi sumber kemacetannya belum tersentuh.
"Padahal, perkara banjir ini ya. Sumbernya kan alih fungsi lahan. Itu ada di hulu dan tengah, mesti pengendalian tata ruang," kata penerima tanda kehormatan Bintang Tanda Jasa Pratama tersebut.
Diakui mantan Rektor Undip tersebut, pengendalian tata ruang belum dilakukan secara tegas, padahal lingkungan perlu ditata, dan jika ada kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan bisa dihentikan.
Menurut dia, pengendalian tata ruang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjaga kelestarian lingkungan.
"Di dalam Pasal 17 UU 32/2009 disebutkan bahwa kegiatan yang menimbulkan terlampaunya daya dukung lingkungan harus dihentikan. Kegiatan apapun, termasuk investasi sekalipun," katanya.
Selain itu, Sudharto mengingatkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan pemerintah daerah sendirian, sebab pengelolaan lingkungan berbasis ekosistem yang memerlukan koordinasi antardaerah.
"Kota Semarang tidak bisa menyelesaikan sendiri. Makanya, harus bersama-sama dengan Ungaran (Kabupaten Semarang). Selama ini langkahnya (penanganan) kan menukik ke fenomena banjir," katanya.
Akibatnya, kata Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip tersebut, fenomena banjir yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, baik dari intensitas maupun luasan wilayah yang terdampak.
"Perlu dilakukan 're-mapping'. Mana untuk ruang terbuka, mana yang tidak boleh dibangun. Jadi, pembangunan dilakukan menyesuaikan dengan alam, bukan memaksa alam," kata Sudharto.