Semarang (ANTARA) - Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) adalah instrumen yang bisa digunakan publik untuk mengecek dan memantau akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu.

"Laporan awal dana kampanye (LADK) ataupun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) tidak bisa menjadi pertimbangan bagi pemilih dalam memilih peserta pemilu pada hari-H," kata Titi Anggraini, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Selasa petang.

Hal itu mengingat, lanjut dia, durasi penyampaian LPPDK itu kebanyakan setelah hari pemungutan suara. Dengan demikian, tidak bisa memberikan informasi kepada pemilih sebagai pertimbangan ketika akan mencoblos pada hari Rabu, 14 Februari 2024.

Titi mempertanyakan kenapa praktik baik yang merupakan terobosan hukum KPU dan penerapannya sejak lama, bahkan para peserta pemilu mampu mematuhinya, KPU malah menghapus-nya karena alasan yang sangat pragmatis, tidak diatur dalam UU.

Sikap KPU itu, menurut Titi, sangat mengecewakan bagi upaya mewujudkan integritas pemilu, bahkan makin menunjukkan rendahnya komitmen dan konsistensi mereka dalam berdemokrasi dan gerakan antikorupsi.

Padahal, lanjut dia, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia merosot tajam, dari 38 poin menjadi 34 poin. Bahkan, sampai-sampai membuat Presiden gelisah dan menerbitkan RUU Perampasan Aset sebagai upaya mengatasinya.

"Sayang spirit yang sama tidak dimiliki KPU," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.

Ia menilai penghapusan LPSDK suatu kemunduran bagi transparansi dan akuntabilitas dana kampanye. Meski tidak diatur dalam UU, LPSDK sudah diatur KPU sejak Pemilu 2014, kemudian dilanjutkan terus hingga pilkada serentak dan Pemilu 2019.

KPU saat ini, kata Titi, minim komitmen untuk melakukan terobosan bagi penyelenggaraan pemilu yang antikorupsi, bersih, dan berintegritas.

Anggota Dewan Pembina Perludem ini mengungkapkan bahwa seluruh kontroversi yang melemahkan kerangka hukum pemilu demokratis berangkat dari pengaturan KPU. Padahal, UU Pemilu tidak berubah.

Titi lantas mencontohkan pengaturan keterwakilan perempuan, pengurangan masa jeda pencalonan mantan terpidana yang mendapat hukuman pencabutan hak politik, penghapusan persyaratan LHKPN dalam PKPU pencalonan, dan sekarang penghapusan pengaturan LPSDK.
 

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024