Solo (ANTARA) - Pakar Lingkungan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof Prabang Setyono menyoroti penyebab banjir di Kota Solo yang terjadi pada pekan lalu.
"Ada tiga penyebab banjir, salah satunya ketika pintu air di Waduk Gajah Mungkur dibuka ya wajar ketika debit air di Bengawan Solo meluap," katanya di Solo, Jumat.
Apalagi, katanya, sedimentasi di Bengawan Solo sudah dalam klasifikasi sangat berat, sehingga kapasitas air menjadi lebih sedikit. Dengan demikian, ketika digelontor air dari hulu berdampak pada meluapnya sungai.
"Apalagi, Solo kan daerah cekungan," katanya.
Penyebab yang kedua, yakni intensitas hujan yang tinggi dengan durasi lama juga berdampak pada kejadian banjir tersebut. Ia mengatakan resapan air di Solo belum optimal, karena ruang terbuka hijau tinggal kurang lebih 10 persen.
"Harusnya RTH (ruang terbuka hijau) 30 persen. Sedangkan penyebab ketiga adalah ada anak sungai yang mengalir dari Bengawan Solo, ada Kali Pepe dan Premulung. Hulunya dari Boyolali dan saat itu kan hujannya merata," katanya.
Sementara itu, lanjutnya, mengenai keberadaan bangunan di bantaran sungai. Solo merupakan kota yang sudah berusia tua, sehingga rencana tata ruang wilayah (RTRW) tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya (saat ini).
"Kalau RTRW yang sekarang itu kan bagaimana bantaran sungai 10 meter nggak boleh ada bangunan. Ini kalah, lebih dulu bangunannya," katanya.
Selain itu, ego sektoral juga masih begitu terasa dalam menyikapi permasalahan banjir kemarin.
Mengenai pemeliharaan sungai dan bantaran yang tidak diperbolehkan dibangun, menurut dia, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) punya peran penting sebagai leading sektor.
"Namun harus tetap kolaboratif, duduk bersama. BBWS itu untuk urusan sungainya, kalau RTRW dengan DPUPR," katanya.
Baca juga: Gibran gunakan dana belanja tak terduga untuk korban banjir Solo
"Ada tiga penyebab banjir, salah satunya ketika pintu air di Waduk Gajah Mungkur dibuka ya wajar ketika debit air di Bengawan Solo meluap," katanya di Solo, Jumat.
Apalagi, katanya, sedimentasi di Bengawan Solo sudah dalam klasifikasi sangat berat, sehingga kapasitas air menjadi lebih sedikit. Dengan demikian, ketika digelontor air dari hulu berdampak pada meluapnya sungai.
"Apalagi, Solo kan daerah cekungan," katanya.
Penyebab yang kedua, yakni intensitas hujan yang tinggi dengan durasi lama juga berdampak pada kejadian banjir tersebut. Ia mengatakan resapan air di Solo belum optimal, karena ruang terbuka hijau tinggal kurang lebih 10 persen.
"Harusnya RTH (ruang terbuka hijau) 30 persen. Sedangkan penyebab ketiga adalah ada anak sungai yang mengalir dari Bengawan Solo, ada Kali Pepe dan Premulung. Hulunya dari Boyolali dan saat itu kan hujannya merata," katanya.
Sementara itu, lanjutnya, mengenai keberadaan bangunan di bantaran sungai. Solo merupakan kota yang sudah berusia tua, sehingga rencana tata ruang wilayah (RTRW) tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya (saat ini).
"Kalau RTRW yang sekarang itu kan bagaimana bantaran sungai 10 meter nggak boleh ada bangunan. Ini kalah, lebih dulu bangunannya," katanya.
Selain itu, ego sektoral juga masih begitu terasa dalam menyikapi permasalahan banjir kemarin.
Mengenai pemeliharaan sungai dan bantaran yang tidak diperbolehkan dibangun, menurut dia, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) punya peran penting sebagai leading sektor.
"Namun harus tetap kolaboratif, duduk bersama. BBWS itu untuk urusan sungainya, kalau RTRW dengan DPUPR," katanya.
Kota Solo diterjang banjir pada Kamis (16/2) atau tepat sepekan yang lalu. Sebanyak 21.846 jiwa terdampak dan 4.440 jiwa mengungsi.
Baca juga: Gibran gunakan dana belanja tak terduga untuk korban banjir Solo