Kudus (ANTARA) - Arus informasi di era digital seperti sekarang begitu deras, sehingga sosialisasi dan edukasi untuk membiasakan pola hidup sehat hampir bisa didengar masyarakat luas dengan cepat.
Kabar penyakit virus corona atau dikenal COVID-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, langsung tersebar luas ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, tanpa hitungan hari.
Hal itu, tidak terlepas dari informasi yang sudah ada dalam genggaman karena setiap penduduk di Tanah Air hampir dipastikan memiliki gawai atau dikenal dengan sebutan gadget. Demikian halnya, anjuran pemerintah agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan (prokes) juga dengan cepat tersebar dan dipatuhi oleh masyarakat.
Pandemi COVID-19 yang hampir berlangsung selama dua tahun, ternyata memunculkan kebiasaan baik di masyarakat.
Masyarakat sudah terbiasa menerapkan protokol kesehatan disertai kebiasaan pemenuhan makan yang sehat dan bergizi seimbang.
Hal itu, tidak terlepas dari upaya masyarakat agar tidak mudah terpapar virus corona maupun penyakit lain, seperti tengkes atau stunting yang menjadi perhatian pemerintah.
Kasus tengkes lebih banyak dialami keluarga kurang mampu yang dimungkinkan karena faktor masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang pola hidup sehat dan identifikasi dini saat anak masih balita.
Munculnya pandemi, sehingga muncul kebijakan mematuhi protokol kesehatan, mulai dari memakai masker, membiasakan diri mencuci tangan memakai sabun hingga menghindari kerumunan, diyakini semakin memudahkan upaya pemerintah memberantas berbagai penyakit lain.
Pemerintah dalam penanganan permasalahan kesehatan, juga terus melakukan kebijakan sesuai dengan perkembangan terbaru terhadap beberapa isu kesehatan prioritas, seperti penanganan COVID-19 hingga tengkes.
Tengkes sendiri salah satu faktornya disebabkan karena kekurangan asupan gizi. Sementara kebiasaan baik yang tercipta selama pandemi tentunya harus dipertahankan sekaligus untuk menekan kasus tengkes.
Pakar kesehatanmengingatkan masyarakat, khususnya orang tua yang tengah mengandung atau memiliki anak balita, untuk mewaspadai kasus tengkes karena bisa berdampak pada penurunan kecerdasan otak anak akibat kekurangan gizi.
Otak tumbuh puluhan kali lebih cepat sebagai modal seumur hidup, sehingga otak merupakan organ yang sangat sensitif. Pembentukan otak dimulai pada dua tahun pertama tumbuh sekitar 80 persen, kemudian saat mencapai 95 persen berhenti berkembang sampai usia balita, sehingga disebut periode emas.
Selama periode tersebut otak membutuhkan zat gizi komplit. Ketika periode itu tidak mendapat asupan gizi yang cukup, maka tubuh tidak mendapatkan kalori, sehingga diambil dari deposit. Ketika masukan gizi dari luar tidak ada dan deposit juga tidak cukup, akhirnya otak menjadi korban.
Untuk itulah, senyampang masyarakat masih memiliki kesadaran tinggi membiasakan pola hidup sehat harus dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan edukasi betapa pentingnya hal itu untuk mencegah berbagai penyakit, termasuk tengkes.
Tengkes merupakan kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Penyebab utama akibat gangguan pertumbuhan karena kurang gizi menahun atau malnutrisi kronis.
Selain itu, penyakit yang satu itu juga dinilai sebagai masalah yang kompleks dan faktor risiko serta potensi sumber penyebabnya juga cukup banyak, mulai dari status gizi ibu, faktor kelahiran prematur, anemia, hingga periode pemberian air susu ibu (ASI) yang tidak tepat.
Padahal, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama berdasarkan studi literatur, clinical trial dan meta analisis membuktikan bahwa dampak ASI eksklusif terhadap pencegahan tengkes sangat efektif.
Manfaat ASI, sudah tidak perlu diragukan lagi karena mengandung lemak dan protein yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf bayi.
Selain itu, juga mengandung berbagai antibodi yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta kandungan gizinya yang sangat padat juga dapat mencegah terjadinya tengkes.
Kesuksesan pemberian ASI eksklusif juga harus didukung oleh konseling berkelanjutan.
Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya, kemudian diteruskan sampai usia dua tahun atau lebih. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, setiap bayi harus mendapatkan makanan pendamping ASI (Mpasi) yang cukup serta aman.
Terdapat tiga poin utama penyebab terjadinya tengkes, yakni terkait pola makan, pola asuh dan sanitasi.
Pola makan terkait kekurangan gizi kronis atau kurangnya asupan protein dan sumber energi dalam waktu yang cukup lama, sedangkan pola asuh yang kurang baik, terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak, juga menjadi penyebab tengkes.
Sementara faktor ketiga, yakni soal sanitasi yang baik juga berperan penting dalam pencegahan tengkes, sehingga anak terbebas dari penyakit infeksi.
Pemerintah juga menargetkan kasus tengkes secara nasional pada tahun 2024 bisa turun menjadi 14 persen, yang pada lima tahun lalu kasusnya masih mencapai 37 persen. Berkat hasil kerja keras pemerintah, akhirnya angkanya bisa turun menjadi 27,6 persen di tahun 2019.
Berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam rangka pencapaian target tahun 2024 turun jadi 14 persen, dijelaskan bahwa pemerintah sudah mendesain konsolidasi anggarannya, programnya, semuanya. Mulai saat ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memegang kendali pencegahan tengkes.
Mayoritas penderita tengkes selama ini memang dari keluarga tidak mampu. Namun, dengan banyaknya program bantuan yang diluncurkan pemerintah, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, BLT BBM, BLT pekerja rokok, hingga program BLT sembako, serta program program keluarga harapan (PKH), kita optimistis kasus tengkes di semua daerah bakal teratasi.
Belum lagi, masing-masing daerah juga menganggarkan kegiatan khusus penanganan tengkes, termasuk pemerintah desa juga ada kewajiban penganggaran penanganan tengkes dari Dana Desa yang bersifat wajib. Tentunya, dengan jalinan komunikasi dan koordinasi yang baik antarpihak, tak ada lagi kasus ibu mengandung maupun anak balita yang kekurangan asupan gizi seimbang yang berakibat tengkes.
Kabar penyakit virus corona atau dikenal COVID-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, langsung tersebar luas ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, tanpa hitungan hari.
Hal itu, tidak terlepas dari informasi yang sudah ada dalam genggaman karena setiap penduduk di Tanah Air hampir dipastikan memiliki gawai atau dikenal dengan sebutan gadget. Demikian halnya, anjuran pemerintah agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan (prokes) juga dengan cepat tersebar dan dipatuhi oleh masyarakat.
Pandemi COVID-19 yang hampir berlangsung selama dua tahun, ternyata memunculkan kebiasaan baik di masyarakat.
Masyarakat sudah terbiasa menerapkan protokol kesehatan disertai kebiasaan pemenuhan makan yang sehat dan bergizi seimbang.
Hal itu, tidak terlepas dari upaya masyarakat agar tidak mudah terpapar virus corona maupun penyakit lain, seperti tengkes atau stunting yang menjadi perhatian pemerintah.
Kasus tengkes lebih banyak dialami keluarga kurang mampu yang dimungkinkan karena faktor masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang pola hidup sehat dan identifikasi dini saat anak masih balita.
Munculnya pandemi, sehingga muncul kebijakan mematuhi protokol kesehatan, mulai dari memakai masker, membiasakan diri mencuci tangan memakai sabun hingga menghindari kerumunan, diyakini semakin memudahkan upaya pemerintah memberantas berbagai penyakit lain.
Pemerintah dalam penanganan permasalahan kesehatan, juga terus melakukan kebijakan sesuai dengan perkembangan terbaru terhadap beberapa isu kesehatan prioritas, seperti penanganan COVID-19 hingga tengkes.
Tengkes sendiri salah satu faktornya disebabkan karena kekurangan asupan gizi. Sementara kebiasaan baik yang tercipta selama pandemi tentunya harus dipertahankan sekaligus untuk menekan kasus tengkes.
Pakar kesehatanmengingatkan masyarakat, khususnya orang tua yang tengah mengandung atau memiliki anak balita, untuk mewaspadai kasus tengkes karena bisa berdampak pada penurunan kecerdasan otak anak akibat kekurangan gizi.
Otak tumbuh puluhan kali lebih cepat sebagai modal seumur hidup, sehingga otak merupakan organ yang sangat sensitif. Pembentukan otak dimulai pada dua tahun pertama tumbuh sekitar 80 persen, kemudian saat mencapai 95 persen berhenti berkembang sampai usia balita, sehingga disebut periode emas.
Selama periode tersebut otak membutuhkan zat gizi komplit. Ketika periode itu tidak mendapat asupan gizi yang cukup, maka tubuh tidak mendapatkan kalori, sehingga diambil dari deposit. Ketika masukan gizi dari luar tidak ada dan deposit juga tidak cukup, akhirnya otak menjadi korban.
Untuk itulah, senyampang masyarakat masih memiliki kesadaran tinggi membiasakan pola hidup sehat harus dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan edukasi betapa pentingnya hal itu untuk mencegah berbagai penyakit, termasuk tengkes.
Tengkes merupakan kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Penyebab utama akibat gangguan pertumbuhan karena kurang gizi menahun atau malnutrisi kronis.
Selain itu, penyakit yang satu itu juga dinilai sebagai masalah yang kompleks dan faktor risiko serta potensi sumber penyebabnya juga cukup banyak, mulai dari status gizi ibu, faktor kelahiran prematur, anemia, hingga periode pemberian air susu ibu (ASI) yang tidak tepat.
Padahal, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama berdasarkan studi literatur, clinical trial dan meta analisis membuktikan bahwa dampak ASI eksklusif terhadap pencegahan tengkes sangat efektif.
Manfaat ASI, sudah tidak perlu diragukan lagi karena mengandung lemak dan protein yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf bayi.
Selain itu, juga mengandung berbagai antibodi yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta kandungan gizinya yang sangat padat juga dapat mencegah terjadinya tengkes.
Kesuksesan pemberian ASI eksklusif juga harus didukung oleh konseling berkelanjutan.
Berdasarkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya, kemudian diteruskan sampai usia dua tahun atau lebih. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, setiap bayi harus mendapatkan makanan pendamping ASI (Mpasi) yang cukup serta aman.
Terdapat tiga poin utama penyebab terjadinya tengkes, yakni terkait pola makan, pola asuh dan sanitasi.
Pola makan terkait kekurangan gizi kronis atau kurangnya asupan protein dan sumber energi dalam waktu yang cukup lama, sedangkan pola asuh yang kurang baik, terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak, juga menjadi penyebab tengkes.
Sementara faktor ketiga, yakni soal sanitasi yang baik juga berperan penting dalam pencegahan tengkes, sehingga anak terbebas dari penyakit infeksi.
Pemerintah juga menargetkan kasus tengkes secara nasional pada tahun 2024 bisa turun menjadi 14 persen, yang pada lima tahun lalu kasusnya masih mencapai 37 persen. Berkat hasil kerja keras pemerintah, akhirnya angkanya bisa turun menjadi 27,6 persen di tahun 2019.
Berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam rangka pencapaian target tahun 2024 turun jadi 14 persen, dijelaskan bahwa pemerintah sudah mendesain konsolidasi anggarannya, programnya, semuanya. Mulai saat ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memegang kendali pencegahan tengkes.
Mayoritas penderita tengkes selama ini memang dari keluarga tidak mampu. Namun, dengan banyaknya program bantuan yang diluncurkan pemerintah, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, BLT BBM, BLT pekerja rokok, hingga program BLT sembako, serta program program keluarga harapan (PKH), kita optimistis kasus tengkes di semua daerah bakal teratasi.
Belum lagi, masing-masing daerah juga menganggarkan kegiatan khusus penanganan tengkes, termasuk pemerintah desa juga ada kewajiban penganggaran penanganan tengkes dari Dana Desa yang bersifat wajib. Tentunya, dengan jalinan komunikasi dan koordinasi yang baik antarpihak, tak ada lagi kasus ibu mengandung maupun anak balita yang kekurangan asupan gizi seimbang yang berakibat tengkes.