Magelang (ANTARA) - Puncak acara Festival Lima Gunung XXI/2022 berlangsung selama 30 September-2 Oktober 2022, di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian puncak acara seni budaya digelar Komunitas Lima Gunung itu, dikuti 63 kelompok kesenian dengan lebih dari 1.000 seniman dan pelaku seni, antara lain kirab budaya, pameran seni rupa, pentas tari, musik, performa seni, pentas kolaborasi, dan pidato kebudayaan.
Mereka yang menggelar pementasan itu, dari kalangan warga seniman petani Komunitas Lima Gunung beserta jejaringnya dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.
Tema festival mereka tahun ke-21 itu, "Wahyu Rumagang", bisa dimaknai sebagai terjadi alih ide dan pengembangan gagasan di kalangan generasi seniman muda komunitas tersebut dalam berkarya seni dan menghidupi kebudayaan dusun serta gunung.
In Meta, salah satu karya dalam pementasan itu. Karya berdurasi 10 menit, kolaborasi antara Nabila Rifani sebagai koreografer dan Purwoko Ryan Ajayanto penata musik, dipentaskan pada Minggu (2/10) sore. Mereka, bagian dari generasi muda Komunitas Lima Gunung.
Karya seni pertunjukan In Meta menjadi salah satu pembuktian bahwa Komunitas Lima Gunung sudah melangkah lebih maju dalam menyiapkan generasi dalam penciptaan karya-karya baru sesuai eranya.
Baca juga: Yenny Wahid terima Lima Gunung Award 2022
Revolusi 4.0 di bidang industri telekomunikasi dan teknologi digital membuat kita harus berhadapan dan menyesuaikan diri untuk memanfaatkan kemajuan itu secara langsung.
Digitalisasi di era sekarang sudah menjadi bagian penting dalam penciptaan karya seni karena dalam konteks tertentu, kesenian juga sebagai pedoman perilaku manusia berkaitan dengan interaksi sosial.
Pencapaian kreasi artistik pelaku dan pencipta patut diapresiasi, sedangkan bagi penikmat bisa mencerap sistem nilai dan makna karya seni.
Ryan, penata musik In Meta, menyampaikan bahwa karyanya itu lebih ke arah seni modern atau kontemporer, walaupun unsur-unsur tradisi masih melekat.
Karya In Meta upaya merawat sekaligus menginterpretasi kembali seni tari dan musik pada Tarian Topeng Ireng. Tarian rakyat tersebut tumbuh subur di Magelang dan sekitarnya.
Pengembangan tarian tersebut, diakui dia, terletak pada ide, konsep garapan, struktur, komposisi, pengolahan melodi, dan ornamentasi, baik menyangkut gerakan tarian maupun musik pengiring.
Melalui karya In Meta, mereka tampak mempertanyakan dan menginterpretasi kembali seni tradisi dengan menghadirkan keindahan baru pada ragam gerak serta berbagai ritmik tarian Topeng Ireng, baik pada komposisi musik latar maupun koreografi yang dimainkan.
Dengan menghadirkan tarian Topeng Ireng dalam karya In Meta, mereka hendak menyatakan bahwa nilai-nilai lokal dengan kearifannya sebagai fondasi berkarya, termasuk menciptakan karya seni menjadi berwajahkan kebaruan ataupun kontemporer.
Pertunjukan dimulai dengan alunan orkestrasi musik gaya abad 21 dan potongan-potongan rekaman yang dimainkan melalui alat digital, synthesizer, dan laptop membawa kita seakan-akan sedang menyaksikan sebuah prolog musik dalam film-film epik.
Baca juga: Festival Lima Gunung mengunduh "Wahyu Rumagang" di Kali Wangsit
Variasi kunci, melodi, ritme, dan dinamika alunan orkestrasi menjadi lebih kontras dan jelas ketika potongan-potongan ritmik musik Topeng Ireng dimasukkan. Lengkingan suara melodi gitar elektrik pun menambah suasana pertunjukan lebih mengentak dan membuat penonton khidmat menikmatinya.
Di panggung, para penari memulai dengan komposisi berjajar, mengangkat lengan, mengentakkan kaki secara ritmis meningkahi komposisi musik. Sorot cahaya sore membuat wajah-wajah penari terlihat tegas dan gagah. Komposisi musik latar menjadi stimulan tersendiri bagi para penari untuk melanjutkan gerakan penuh ekspresi.
Ide, unsur, pola, motif gerak, dan kostum Topeng Ireng diolah sedemikian rupa menjadi pertanda dan koreografi baru. Namun, dalam hal ini tidak mengabaikan karya seniman-seniman Topeng Ireng terdahulu yang menjadi sumber inspirasi.
Berbagai macam unsur motif dan ragam gerak lugas Topeng Ireng dirangkai menjadi karya baru, baik keaslian gerak tersebut maupun yang sudah mengalami distilisasi. Teknik gerak tubuh penari yang bagus mendukung pengulangan, pengurangan, dan penambahan, peniruan gerak, serta penggabungan dengan teknik yang dikembangkan.
Secara isi dan penampilan, In Meta tampak sengaja disusun dalam tangga dramatik baru, sedangkan kostum yang dikenakan juga melahirkan ilusi-ilusi baru, yang secara metafora menampilkan apa yang ada dalam batin mereka.
Baca juga: 36 seniman pameran seni rupa di arena Festival Lima Gunung
Koreografer yang juga sarjana pendidikan tari Universitas Negeri Yogyakarta Nabila Rifani menyatakan cukup lama berinteraksi, baik dengan tarian Topeng Ireng maupun para penari. Ia pun hadir di panggung menarikan In Meta, selain seniman muda lainnya, yakni Dwi Widyastuti, Amanda Dwi Septiani, Isti Nuryuliani, Eva Yuniati, Siti Nurrochmah, Iffah Khairunnisa, Syifa Salsabila Salma, Karina Ratna Sari, sedangkan kru panggung Ahmad Khadafy.
Interaksi setiap hari dan waktu, juga menjadi bagian dari proses penciptaan In Meta, yang kemungkinan menyangkut unsur pembaruan Topeng Ireng, kehendak menyajikan dengan perspektif berbeda dengan umumnya tarian tersebut serta keinginan menghadirkan penegasan atas kekuatan menonjol lainnya dari tarian rakyat itu.
Fase saat penari memainkan ritmik gerak kaki dengan bahu terangkat dan lengan terlampir gagah, terlihat sangat menarik dan perlu terus dikembangkan dalam karya-karya selanjutnya.
Refleksi dan penafsiran baru atas tradisi menjadi penting dalam pengembangan ke depan, terutama bagi para penari karya tersebut.
Lahirnya In Meta, diakui dia pada awalnya berupa apresiasi terhadap tarian Topeng Ireng yang kemudian menghadirkan kegelisahan dan berlanjut menjadi proses eksplorasi kesenian itu disertai berbagai improvisasi di sana-sini untuk menghadirkan kesan munculnya gaya baru.
Para pemain beroleh pemahaman sama tentang makna In Meta yang terkait dengan ruang di balik realitas menjadi ruang mengejawantah proses berpikir, berimajinasi, dan berefleksi. Karya itu menjadi sajian mereka atas proses menemukan realitas-realitas baru dalam dunia seni pertunjukan.
Dalam konteks tema Festival Lima Gunung XXI/2022 "Wahyu Rumagang", pementasan In Meta salah satu ejawantah dari semangat bangkit untuk melahirkan karya-karya baru generasi muda komunitas itu.
*) Muhammad Nafi, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang
Baca juga: Pengamat seni budaya: Festival Lima Gunung tumbuh dari kekuatan budaya warga desa
Baca juga: Bupati Magelang: Festival Lima Gunung implementasikan gotong royong warga
Baca juga: Topeng meditasi Festival Lima Gunung siratan jalan kebudayaan berkelanjutan
Rangkaian puncak acara seni budaya digelar Komunitas Lima Gunung itu, dikuti 63 kelompok kesenian dengan lebih dari 1.000 seniman dan pelaku seni, antara lain kirab budaya, pameran seni rupa, pentas tari, musik, performa seni, pentas kolaborasi, dan pidato kebudayaan.
Mereka yang menggelar pementasan itu, dari kalangan warga seniman petani Komunitas Lima Gunung beserta jejaringnya dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.
Tema festival mereka tahun ke-21 itu, "Wahyu Rumagang", bisa dimaknai sebagai terjadi alih ide dan pengembangan gagasan di kalangan generasi seniman muda komunitas tersebut dalam berkarya seni dan menghidupi kebudayaan dusun serta gunung.
In Meta, salah satu karya dalam pementasan itu. Karya berdurasi 10 menit, kolaborasi antara Nabila Rifani sebagai koreografer dan Purwoko Ryan Ajayanto penata musik, dipentaskan pada Minggu (2/10) sore. Mereka, bagian dari generasi muda Komunitas Lima Gunung.
Karya seni pertunjukan In Meta menjadi salah satu pembuktian bahwa Komunitas Lima Gunung sudah melangkah lebih maju dalam menyiapkan generasi dalam penciptaan karya-karya baru sesuai eranya.
Baca juga: Yenny Wahid terima Lima Gunung Award 2022
Revolusi 4.0 di bidang industri telekomunikasi dan teknologi digital membuat kita harus berhadapan dan menyesuaikan diri untuk memanfaatkan kemajuan itu secara langsung.
Digitalisasi di era sekarang sudah menjadi bagian penting dalam penciptaan karya seni karena dalam konteks tertentu, kesenian juga sebagai pedoman perilaku manusia berkaitan dengan interaksi sosial.
Pencapaian kreasi artistik pelaku dan pencipta patut diapresiasi, sedangkan bagi penikmat bisa mencerap sistem nilai dan makna karya seni.
Ryan, penata musik In Meta, menyampaikan bahwa karyanya itu lebih ke arah seni modern atau kontemporer, walaupun unsur-unsur tradisi masih melekat.
Karya In Meta upaya merawat sekaligus menginterpretasi kembali seni tari dan musik pada Tarian Topeng Ireng. Tarian rakyat tersebut tumbuh subur di Magelang dan sekitarnya.
Pengembangan tarian tersebut, diakui dia, terletak pada ide, konsep garapan, struktur, komposisi, pengolahan melodi, dan ornamentasi, baik menyangkut gerakan tarian maupun musik pengiring.
Melalui karya In Meta, mereka tampak mempertanyakan dan menginterpretasi kembali seni tradisi dengan menghadirkan keindahan baru pada ragam gerak serta berbagai ritmik tarian Topeng Ireng, baik pada komposisi musik latar maupun koreografi yang dimainkan.
Dengan menghadirkan tarian Topeng Ireng dalam karya In Meta, mereka hendak menyatakan bahwa nilai-nilai lokal dengan kearifannya sebagai fondasi berkarya, termasuk menciptakan karya seni menjadi berwajahkan kebaruan ataupun kontemporer.
Pertunjukan dimulai dengan alunan orkestrasi musik gaya abad 21 dan potongan-potongan rekaman yang dimainkan melalui alat digital, synthesizer, dan laptop membawa kita seakan-akan sedang menyaksikan sebuah prolog musik dalam film-film epik.
Baca juga: Festival Lima Gunung mengunduh "Wahyu Rumagang" di Kali Wangsit
Variasi kunci, melodi, ritme, dan dinamika alunan orkestrasi menjadi lebih kontras dan jelas ketika potongan-potongan ritmik musik Topeng Ireng dimasukkan. Lengkingan suara melodi gitar elektrik pun menambah suasana pertunjukan lebih mengentak dan membuat penonton khidmat menikmatinya.
Di panggung, para penari memulai dengan komposisi berjajar, mengangkat lengan, mengentakkan kaki secara ritmis meningkahi komposisi musik. Sorot cahaya sore membuat wajah-wajah penari terlihat tegas dan gagah. Komposisi musik latar menjadi stimulan tersendiri bagi para penari untuk melanjutkan gerakan penuh ekspresi.
Ide, unsur, pola, motif gerak, dan kostum Topeng Ireng diolah sedemikian rupa menjadi pertanda dan koreografi baru. Namun, dalam hal ini tidak mengabaikan karya seniman-seniman Topeng Ireng terdahulu yang menjadi sumber inspirasi.
Berbagai macam unsur motif dan ragam gerak lugas Topeng Ireng dirangkai menjadi karya baru, baik keaslian gerak tersebut maupun yang sudah mengalami distilisasi. Teknik gerak tubuh penari yang bagus mendukung pengulangan, pengurangan, dan penambahan, peniruan gerak, serta penggabungan dengan teknik yang dikembangkan.
Secara isi dan penampilan, In Meta tampak sengaja disusun dalam tangga dramatik baru, sedangkan kostum yang dikenakan juga melahirkan ilusi-ilusi baru, yang secara metafora menampilkan apa yang ada dalam batin mereka.
Baca juga: 36 seniman pameran seni rupa di arena Festival Lima Gunung
Koreografer yang juga sarjana pendidikan tari Universitas Negeri Yogyakarta Nabila Rifani menyatakan cukup lama berinteraksi, baik dengan tarian Topeng Ireng maupun para penari. Ia pun hadir di panggung menarikan In Meta, selain seniman muda lainnya, yakni Dwi Widyastuti, Amanda Dwi Septiani, Isti Nuryuliani, Eva Yuniati, Siti Nurrochmah, Iffah Khairunnisa, Syifa Salsabila Salma, Karina Ratna Sari, sedangkan kru panggung Ahmad Khadafy.
Interaksi setiap hari dan waktu, juga menjadi bagian dari proses penciptaan In Meta, yang kemungkinan menyangkut unsur pembaruan Topeng Ireng, kehendak menyajikan dengan perspektif berbeda dengan umumnya tarian tersebut serta keinginan menghadirkan penegasan atas kekuatan menonjol lainnya dari tarian rakyat itu.
Fase saat penari memainkan ritmik gerak kaki dengan bahu terangkat dan lengan terlampir gagah, terlihat sangat menarik dan perlu terus dikembangkan dalam karya-karya selanjutnya.
Refleksi dan penafsiran baru atas tradisi menjadi penting dalam pengembangan ke depan, terutama bagi para penari karya tersebut.
Lahirnya In Meta, diakui dia pada awalnya berupa apresiasi terhadap tarian Topeng Ireng yang kemudian menghadirkan kegelisahan dan berlanjut menjadi proses eksplorasi kesenian itu disertai berbagai improvisasi di sana-sini untuk menghadirkan kesan munculnya gaya baru.
Para pemain beroleh pemahaman sama tentang makna In Meta yang terkait dengan ruang di balik realitas menjadi ruang mengejawantah proses berpikir, berimajinasi, dan berefleksi. Karya itu menjadi sajian mereka atas proses menemukan realitas-realitas baru dalam dunia seni pertunjukan.
Dalam konteks tema Festival Lima Gunung XXI/2022 "Wahyu Rumagang", pementasan In Meta salah satu ejawantah dari semangat bangkit untuk melahirkan karya-karya baru generasi muda komunitas itu.
*) Muhammad Nafi, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang
Baca juga: Pengamat seni budaya: Festival Lima Gunung tumbuh dari kekuatan budaya warga desa
Baca juga: Bupati Magelang: Festival Lima Gunung implementasikan gotong royong warga
Baca juga: Topeng meditasi Festival Lima Gunung siratan jalan kebudayaan berkelanjutan