Magelang (ANTARA) - Tidak seperti dua tahun berturut-turut. Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggelar festival seakan sembunyi-sembunyi karena berkelindan dengan pandemi COVID-19. Tahun ini mereka menghadirkan agenda tahunan mandiri tersebut secara terang-terangan.
Selama 18 tahun berturut-turut, Festival Lima Gunung identik dengan massa penonton berjubel di sekitar panggung, pementasan kesenian berbagai kelompok seniman petani, melibatkan getaran kerinduan hadir jejaring komunitas serta relasi personal pegiatnya di daerah setempat maupun luar kota dan luar negeri.
Melalui festival berelan vital spiritual warga dusun dan tata kelola kearifan lokal, komunitas yang dihidupi budayawan Magelang Sutanto Mendut selama 21 tahun terakhir tersebut, seakan mengajak siapa saja mereguk energi dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh.
Pandemi selama 2020-2021 memang membuat mereka tak bisa menggelar festival sebagaimana kekhasan hajatan seni budaya Komunitas Lima Gunung itu. Namun, pandemi pula membuat mereka memetik hikmah bahwa Festival Lima Gunung telah menjadi tradisi, sebagaimana masyarakat dusun dalam situasi apa pun tetap melaksanakan tradisi budayanya yang turun-temurun.
Dalam masyarakat dusun dan gunung setempat, kebiasaan menjalani tradisi budaya berdasarkan kalender desa itu, sebagai "naluri", tidak bisa dihentikan. Mereka menggunakan kecerdasan dan kearifan lokal, bersiasat untuk tetap menjalani tradisinya jika memang waktunya tiba. Boleh dikatakan setiap warga dusun beroleh hati lega jika sudah menjalani merti dusun ataupun wujud tradisi lainnya.
Selama pandemi pun, Festival Lima Gunung tetap diselenggarakan. Komunitas bersiasat, antara lain melalui festival tanpa penonton, lokasi berpindah-pindah, tidak ada publikasi sebelum acara berlangsung, bahkan warga dusun lokasi pementasan tak boleh mendekat, tanpa pementasan kesenian dari luar komunitas, dan tidak semua grup di komunitas dihadirkan di setiap putaran acara festival.
Komunitas mengemas sejumlah putaran acara seni budaya dalam Festival Lima Gunung di tengah pandemi pada 2020 dan 2021. Mereka terlebih dahulu mencermati dan mematuhi anjuran pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi global COVID-19 itu.
Seiring dengan kebijakan pemerintah melonggarkan aktivitas publik setelah data menunjukkan penularan virus corona berhasil dikendalikan, Festival Lima Gunung tahun ini diselenggarakan secara terbuka.
Festival Lima Gunung XXI/2022 dengan tema "Wahyu Rumagang" dibuka dengan prosesi ritual kontemporer seniman komunitas di Kali Pabelan Mati, Kelurahan Mendut, dan pementasan beberapa kesenian serta pidato kebudayaan sejumlah tokoh di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, pada 8 Agustus 2022.
Sekitar 63 grup kesenian dengan total 1.300-an personel dijadwalkan menggelar pementasan pada puncak Festival Lima Gunung XXI di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong, selama 30 September-2 Oktober 2022.
Baca juga: Festival Lima Gunung mengunduh "Wahyu Rumagang" di Kali Wangsit
Berbagai acara tercatat, antara lain kirab budaya, pergelaran tarian tradisional dan kontempor, performa seni, kolaborasi pementasan, teater, pembacaan puisi, pentas musik, pidato kebudayaan serta pameran seni rupa.
Hampir boleh dikatakan kalangan pegiat muda Komunitas Lima Gunung mengerjakan berbagai persiapan, koordinasi dan segala kebutuhan hari festival. Pengarusutamaan penggarapan festival oleh generasi muda itu bagian penting hendak disasar para tokoh utama komunitas atas pemaknaan "Wahyu Rumagang". Tema tersebut, antara lain terkait dengan kekuatan spirit kebangkitan dan peradaban baru kehidupan manusia, pascapandemi.
Peranan utama mereka dalam menggarap festival tahunan itu nampaknya seiring dengan pandangan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid tentang pentingnya menjaga jalan kebudayaan secara berkelanjutan. Terlebih, Nusantara ini kaya raya dengan tradisi, kesenian, budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas turun-temurun bangsa Indonesia.
Topeng meditasi
Untuk membangun panggung Festival Lima Gunung dengan instalasi seni dusun berupa topeng berkarakter meditasi pun, perupa Ismanto menyadari harus menjalani pewarisan proses kebudayaan melalui diskusi intensif dengan para pegiat muda komunitas.
Topeng berdiameter sekitar satu meter itu ditempatkan di atas panggung seluas 7x12 meter, terbuat dari berbagai bahan di lingkungan alam pertanian gunung setempat. Selama sekitar 15 hari, panggung dikerjakan bersama-sama para seniman muda dan warga setempat.
Mereka kemudian mereka-reka karya seni topeng dari gedebok kering dan kelobot. Wujudnya sosok berkumis tebal dengan mata tertutup selaput, sedangkan kesannya gagah dan kharismatis, namun sedang bertafakur dalam meditasi.
Oleh Ismanto yang juga salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung, karya topeng kontemporer itu dihadirkan untuk menyampaikan pesan bahwa topeng dengan wajah meditasi menjadi simbol proses turunnya wahyu. Wahyu menjadi kekuatan kedalaman rohani manusia untuk menjalani kehidupan secara berkelanjutan.
Pada wajah yang disimbolkan dengan topeng, semua catatan proses kehidupan setiap manusia terukir, sebagaimana tarian kerakyatan "Jaran Papat" terukir menjadi sajian wajib warga Mantran Wetan dalam tradisi merti dusun. Warga setempat menjalani tradisi merti dusun bernama "Tumpeng Jangka", setiap Rabu Pahing Bulan Sapar, dalam kalender Jawa.
Pementasan "Jaran Papat" oleh empat seniman petani setempat, yakni Suroso, Sudiman, Sawali dan Naryo, bagaikan memancarkan aura meditasi atas karya topeng di panggung "Wahyu Rumagang". Pementasan tarian itu menjadi pembuka hari pertama puncak pergelaran Festival Lima Gunung XXI/2022, Jumat (30/9). Pada hari itu, total 20 pementasan sejak bakda waktu Shalat Jumat hingga menjelang tengah malam.
Komunitas Lima Gunung seolah hendak menghadirkan energi dan inspirasi kebangkitan hidup berkelanjutan melalui festival mereka tahun ini yang digarap generasi mudanya dengan tema diragakan sebagai topeng meditasi.
Pentingnya kalangan muda merefleksikan diri di tengah hiruk-pikuk tantangan kehidupan baru pascapandemi juga diakui seorang tokoh muda komunitas tersebut, Gianto.
Bahwa manusia, termasuk kalangan muda, menyadari kepentingan menjalani kehidupan dan mengambil suatu keputusan dengan pikiran dan batin yang jernih. Meditasi, berefleksi atau merenung dipercaya menjadi bagian jalan penting manusia mencapai pikiran dan batin yang bening.
Panggung "Wahyu Rumagang" memang menghadirkan kemeriahan rangkaian pementasan Festival Lima Gunung. Namun, di panggung itu pula mereka berkumpul untuk bermeditasi, meraih keseimbangan diri dengan semesta.
Mungkin kesannya paradoks, panggung yang ingar bingar berbagai pementasan hiburan, di kedalaman maknanya ternyata mengajak siapa saja untuk merenungkan hidup manusia di alam raya.
Hal itu supaya kehidupan baik manusia terjaga dan kebudayaan terus dijalani berkelanjutan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Topeng meditasi FLG siratan jalan kebudayaan berkelanjutan
Selama 18 tahun berturut-turut, Festival Lima Gunung identik dengan massa penonton berjubel di sekitar panggung, pementasan kesenian berbagai kelompok seniman petani, melibatkan getaran kerinduan hadir jejaring komunitas serta relasi personal pegiatnya di daerah setempat maupun luar kota dan luar negeri.
Melalui festival berelan vital spiritual warga dusun dan tata kelola kearifan lokal, komunitas yang dihidupi budayawan Magelang Sutanto Mendut selama 21 tahun terakhir tersebut, seakan mengajak siapa saja mereguk energi dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh.
Pandemi selama 2020-2021 memang membuat mereka tak bisa menggelar festival sebagaimana kekhasan hajatan seni budaya Komunitas Lima Gunung itu. Namun, pandemi pula membuat mereka memetik hikmah bahwa Festival Lima Gunung telah menjadi tradisi, sebagaimana masyarakat dusun dalam situasi apa pun tetap melaksanakan tradisi budayanya yang turun-temurun.
Dalam masyarakat dusun dan gunung setempat, kebiasaan menjalani tradisi budaya berdasarkan kalender desa itu, sebagai "naluri", tidak bisa dihentikan. Mereka menggunakan kecerdasan dan kearifan lokal, bersiasat untuk tetap menjalani tradisinya jika memang waktunya tiba. Boleh dikatakan setiap warga dusun beroleh hati lega jika sudah menjalani merti dusun ataupun wujud tradisi lainnya.
Selama pandemi pun, Festival Lima Gunung tetap diselenggarakan. Komunitas bersiasat, antara lain melalui festival tanpa penonton, lokasi berpindah-pindah, tidak ada publikasi sebelum acara berlangsung, bahkan warga dusun lokasi pementasan tak boleh mendekat, tanpa pementasan kesenian dari luar komunitas, dan tidak semua grup di komunitas dihadirkan di setiap putaran acara festival.
Komunitas mengemas sejumlah putaran acara seni budaya dalam Festival Lima Gunung di tengah pandemi pada 2020 dan 2021. Mereka terlebih dahulu mencermati dan mematuhi anjuran pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi global COVID-19 itu.
Seiring dengan kebijakan pemerintah melonggarkan aktivitas publik setelah data menunjukkan penularan virus corona berhasil dikendalikan, Festival Lima Gunung tahun ini diselenggarakan secara terbuka.
Festival Lima Gunung XXI/2022 dengan tema "Wahyu Rumagang" dibuka dengan prosesi ritual kontemporer seniman komunitas di Kali Pabelan Mati, Kelurahan Mendut, dan pementasan beberapa kesenian serta pidato kebudayaan sejumlah tokoh di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, pada 8 Agustus 2022.
Sekitar 63 grup kesenian dengan total 1.300-an personel dijadwalkan menggelar pementasan pada puncak Festival Lima Gunung XXI di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong, selama 30 September-2 Oktober 2022.
Baca juga: Festival Lima Gunung mengunduh "Wahyu Rumagang" di Kali Wangsit
Berbagai acara tercatat, antara lain kirab budaya, pergelaran tarian tradisional dan kontempor, performa seni, kolaborasi pementasan, teater, pembacaan puisi, pentas musik, pidato kebudayaan serta pameran seni rupa.
Hampir boleh dikatakan kalangan pegiat muda Komunitas Lima Gunung mengerjakan berbagai persiapan, koordinasi dan segala kebutuhan hari festival. Pengarusutamaan penggarapan festival oleh generasi muda itu bagian penting hendak disasar para tokoh utama komunitas atas pemaknaan "Wahyu Rumagang". Tema tersebut, antara lain terkait dengan kekuatan spirit kebangkitan dan peradaban baru kehidupan manusia, pascapandemi.
Peranan utama mereka dalam menggarap festival tahunan itu nampaknya seiring dengan pandangan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid tentang pentingnya menjaga jalan kebudayaan secara berkelanjutan. Terlebih, Nusantara ini kaya raya dengan tradisi, kesenian, budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas turun-temurun bangsa Indonesia.
Topeng meditasi
Untuk membangun panggung Festival Lima Gunung dengan instalasi seni dusun berupa topeng berkarakter meditasi pun, perupa Ismanto menyadari harus menjalani pewarisan proses kebudayaan melalui diskusi intensif dengan para pegiat muda komunitas.
Topeng berdiameter sekitar satu meter itu ditempatkan di atas panggung seluas 7x12 meter, terbuat dari berbagai bahan di lingkungan alam pertanian gunung setempat. Selama sekitar 15 hari, panggung dikerjakan bersama-sama para seniman muda dan warga setempat.
Mereka kemudian mereka-reka karya seni topeng dari gedebok kering dan kelobot. Wujudnya sosok berkumis tebal dengan mata tertutup selaput, sedangkan kesannya gagah dan kharismatis, namun sedang bertafakur dalam meditasi.
Oleh Ismanto yang juga salah satu tokoh Komunitas Lima Gunung, karya topeng kontemporer itu dihadirkan untuk menyampaikan pesan bahwa topeng dengan wajah meditasi menjadi simbol proses turunnya wahyu. Wahyu menjadi kekuatan kedalaman rohani manusia untuk menjalani kehidupan secara berkelanjutan.
Pada wajah yang disimbolkan dengan topeng, semua catatan proses kehidupan setiap manusia terukir, sebagaimana tarian kerakyatan "Jaran Papat" terukir menjadi sajian wajib warga Mantran Wetan dalam tradisi merti dusun. Warga setempat menjalani tradisi merti dusun bernama "Tumpeng Jangka", setiap Rabu Pahing Bulan Sapar, dalam kalender Jawa.
Pementasan "Jaran Papat" oleh empat seniman petani setempat, yakni Suroso, Sudiman, Sawali dan Naryo, bagaikan memancarkan aura meditasi atas karya topeng di panggung "Wahyu Rumagang". Pementasan tarian itu menjadi pembuka hari pertama puncak pergelaran Festival Lima Gunung XXI/2022, Jumat (30/9). Pada hari itu, total 20 pementasan sejak bakda waktu Shalat Jumat hingga menjelang tengah malam.
Komunitas Lima Gunung seolah hendak menghadirkan energi dan inspirasi kebangkitan hidup berkelanjutan melalui festival mereka tahun ini yang digarap generasi mudanya dengan tema diragakan sebagai topeng meditasi.
Pentingnya kalangan muda merefleksikan diri di tengah hiruk-pikuk tantangan kehidupan baru pascapandemi juga diakui seorang tokoh muda komunitas tersebut, Gianto.
Bahwa manusia, termasuk kalangan muda, menyadari kepentingan menjalani kehidupan dan mengambil suatu keputusan dengan pikiran dan batin yang jernih. Meditasi, berefleksi atau merenung dipercaya menjadi bagian jalan penting manusia mencapai pikiran dan batin yang bening.
Panggung "Wahyu Rumagang" memang menghadirkan kemeriahan rangkaian pementasan Festival Lima Gunung. Namun, di panggung itu pula mereka berkumpul untuk bermeditasi, meraih keseimbangan diri dengan semesta.
Mungkin kesannya paradoks, panggung yang ingar bingar berbagai pementasan hiburan, di kedalaman maknanya ternyata mengajak siapa saja untuk merenungkan hidup manusia di alam raya.
Hal itu supaya kehidupan baik manusia terjaga dan kebudayaan terus dijalani berkelanjutan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Topeng meditasi FLG siratan jalan kebudayaan berkelanjutan