Semarang (ANTARA) - Memberikan kuliah umum di Universitas Negeri Semarang, Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Prof Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan urgensi dan latar belakang lahirnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sudah masuk tahap akhir pembahasan.

"Berbicara hukum pidana, berarti kita berbicara mengenai draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kalau bicara hukum pidana berarti kita bicara tentang asas-asas hukum. Kalau kita bicara mengenai asas-asas hukum pidana itu, biasanya kita bicara mengenai apa yang terdapat pada buku 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbicara mengenai ketentuan-ketentuan umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang di dalam RKUHP dia juga masuk dalam buku 1," kata Prof Eddy, sapaan akrabnya, di Semarang, Jumat (5/8/2022).

Ketentuan hukum umum pidana yang ada di dalam RKUHP, lanjut Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini, tidak hanya memperbaharui yang ada di dalam buku 1 KUHP sekarang yang berlaku tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan ilmu hukum pidana. Prof Eddy menerangkan dunia internasional sejak tahun 1990-an, sejak 30 tahun yang lalu mengalami perubahan paradigma dalam hukum pidana.

"Dari paradigma hukum pidana yang berdasarkan keadilan retributif, di mana hukum pidana digunakan sebagai Lex Talionis atau hukum balas dendam, sudah berubah ke dalam paradigma hukum pidana modern yang bersifat universal, yang tidak lagi berbicara mengenai keadilan retributif tetapi berbicara mengenai keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif.

Baca juga: Wamenkumham apresiasi pemenuhan standar layanan UPT

Lebih rinci, pria yang mendapatkan gelar Profesor di usia 37 itu menjelaskan makna dari masing-masing keadilan tersebut. Dimana hal itulah yang menjadi salah satu latar belakang munculnya rencana perubahan terhadap KUHP yang saat ini berlaku. 

Keadilan korektif ini adalah punyanya pelaku kejahatan. Artinya ada sanksi yang yang tegas, kalau dia melanggar sanksi itu akan dijatuhi pidana. Tetapi di sisi lain, ada juga keadilan restoratif. Kalau keadilan kolektif itu punya pelaku, maka keadilan restoratif itu miliknya korban. Artinya bahwa di dalam konsep keadilan restoratif itu bukan pembalasan tapi pemulihan," katanya.

Ia mengatakan keadilan rehabilitatif adalah milik kedua belah pihak, pelaku dan korban. Kalau keadilan korektif punyanya pelaku, keadilan restoratif itu punyanya korban, maka keadilan rehabilitatif punya pelaku dan punya korban.

"Artinya dia tidak hanya dikoreksi, tidak hanya dihukum, tetapi dia juga direhabilitasi. Demikian juga bagi korban, dia tidak hanya dipulihkan tetapi juga direhabilitasi," kata pria 49 tahun ini.

Baca juga: Dukung pemanfaatan e-katalog sektoral, Kemenkumham Jateng buka layanan pendaftaran

Masuk bagian inti pembahasan, Wamenkumham menyampaikan empat misi yang dari lahirnya RKUHP atau pengembangan hukum pidana Indonesia di masa depan misi yang pertama adalah nasionalisme, yang kedua adalah demokratisasi, yang ketiga, dan yang keempat adalah konsolidasi.

Misi nasionalisme merujuk kepada paham-paham kebangsaan, di mana Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, menjiwai pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sementara, demokratisasi bicara tentang keseimbangan yang tidak lepas dari fungsi hukum pidana, dimana hukum pidana memiliki fungsi melindungi dan yang dilindungi itu adalah kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

Baca juga: Kakanwil Kemenkumham Jateng kukuhkan 10 Guru Kekayaan Intelektual

Sedangkan, dekolonisasi merupakan misi untuk merubah KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial yang merujuk dan berorientasi pada suatu negara yang menjajah negara lain. Dimana konsep-konsep mendirikan dan menundukkan masih berlaku.

"Oleh karena itu, kita melihat konsep-konsep di dalam buku 1 KUHP yang sekarang masih berlaku itu adalah konsep-konsep yang memang ingin mendudukkan atau menundukkan kita. Wilayah Indonesia yang dikenal sebagai wilayah Hindia Belanda pada saat itu untuk tunduk dan patuh kepada pemerintah jajahan. Kita lihat di dalam pidana pokok yang diatur dalam KUHP yang sekarang itu amat sangat terbatas yaitu mulai dari pidana mati, pidana penjara, pidana pidana denda dan pemberian pidana kurungan," katanya.

Prof Eddy menambahkan tentang misi konsolidasi yang menekankan pada penghimpunan dan penyatuan kembali berbagai macam bentuk kejahatan di luar lingkup KUHP untuk masuk ke dalam RKUHP.  Kuliah umum yang berlangsung di aula Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang diikuti hadiri oleh Kepala Kanwil Kemenkumham Jateng A Yuspahruddin, Pimpinan Tinggi Pratama Kanwil Kemenkumham Jateng dan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Pewarta : KSM
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2024